top of page
Cari
Bandung Mawardi

Teguh Esha dan Ali Topan, Jadilah Sejarah

BUKU memiliki stempel: “Persewaan Buku Orglas, Cemani 47/5”. Buku pernah dipinjam sekian orang. Buku terbaca dengan uang sewa. Buku itu berkumpul bersama buku-buku Marga T, Mira W, Maria A Sardjono, Ashadi Siregar, dan lain-lain. Pada masa lalu, persewaan buku memanjakan pembaca dengan koleksi ratusan atau ribuan novel (populer) ditambah beragam majalah. Di situ, ada juga buku-buku garapan Teguh Esha. Buku berstempel berjudul Penembak Bintang. Buku produksi dari Penerbit Ali Topan. Ingatlah kita, Ali Topan itu mula-mula tokoh dan novel gubahan Teguh Esha! Novel laris, digarap menjadi film. Teguh Esha membuat penerbitan menggunakan nama si tokoh: Ali Topan. Penembak Bintang dijual dengan harga Rp 2.250,00.






Puluhan tahun, orang pasti mengingat Teguh Esha (1947-2021) tentu Ali Topan. Buku-buku digarap Teguh Esha pernah digemari tapi pelan-pelan tertinggal di masa lalu saja. Pembaca berkurang, berbarengan keramaian penerbitan novel-novel di Indonesia. Ia tetap teringat tapi tak langgeng dengan ketenaran. Kaum muda abad XX plonga-plongo bila diajukan nama dan novel dari masa 1970-an. Teguh Esha mungkin masuk daftar tak diketahui atau tak memicu penasaran. Kita agak membuktikan “keengganan” koran-koran memuat obitorium atau esai mengenai Teguh Esha. Kompas, 18 Mei 2021, cuma memuat berita kecil. Abad XXI terlalu “meremehkan” masa lalu setelah orang-orang memilih tak bermasa lalu. Dulu, buku-buku Teguh Esha memang berkibar dan berkobar di kalangan muda, mencipta “revolusi” dalam imajinasi bersuasana Orde Baru. Di pembuka Penembak Bintang, Teguh Esha menaruh kutipan beratasnama Beatles: You say you want a revolution/ Well you know/ We all want to change the world. Kamu muda mengerti situasi dunia sedang terhibur dan membara melalui musik, bacaan, dan ideologi.





Kehadiran novel-novel gubahan Teguh Esha menjadi pembeda dari kelimpahan novel-novel gubahan kalangan perempuan: bermula atau bersekutu dengan majalah-majalah cap wanita dan keluarga. Jakob Sumardjo selaku penikmat dan pengulas novel-novel populer mendapati pesona novel-novel gubahan kaum perempuan “menguasai” pasar di Indonesia. Jakob Sumardjo (1999) mencatat: “Novel-novel ini banyak diterbitkan oleh majalah-majalah wanita dan penerbit swasta, dan rata-rata mengalami cetak ulang. Ini menunjukkan bahwa jumlah pembaca novel kelompok wanita sudah cukup mapan, yang dalam studi sejarah biasanya menjadi tumpuan hidupnya genre novel ini.” Teguh Esha muncul dengan selera dan seruan mengajak para lelaki mengerti dunia mutakhir. Ia bergerak dari klise-klise terdahulu. Kita tentu wajib membandingkan dengan novel-novel gubahan Motinggo Busye, Nasjah Djamin, Remy Sylado, Eddy D Iskandar, Ali Shahab, atau Ashadi Siregar.


Kita mengenang ribuan atau jutaan orang di Indonesia keranjingan membaca novel. Pidato-pidato bertema minat baca anggaplah omong kosong atau bualan murahan. Ingat, novel-novel itu laris. Sekian novel dikerjakan menjadi film pun memikat jutaan penonton. Masa lalu mengabarkan pesta cerita di Indonesia. Kita bergirang saja ketimbang mendengarkan ocehan pejabat, pengamat sastra, atau kaum moralis. Masa demi masa, Indonesia tak pernah kekurangan jemaah membaca novel. Pasar masih ramai. Teguh Esha tercatat di album masa lalu. Pada saat kita menerima berita kematian, sedikit koran dan sedikit orang mengajukan obituarium. Tokoh terasa berlalu tanpa doa dan selebrasi kenangan.


Kita mengunjungi masa lalu lagi. Di sampul novel berjudul Ali Topan, Kesandung Cinta (1977) dipasang sikap: “Novel perdana Teguh Esha yang telah difilemkan. Filem tersebut sangat mengecewakan penulisnya. Buku ini untuk mengusap rasa kecewa di hari ribuan penggemar Ali Topan!” Dulu, orang-orang meramaikan industri novel dan film. Kecewa itu konsekuensi. Kita tak melupa posisi dan novel gubahan Teguh Esha juga berkaitan majalah-majalah. Sekian hal saling menopang makin membesarkan Ali Topan. Ketenaran menjadi milik Teguh Esha dan tokoh dalam novel.


Novel-novel Teguh Esha diterbitkan Cypress (Jakarta). Sederhana tapi idaman. Orang-orang terhibur sambil mengungkap marah-marah, kecewa, dendam, dan tuntutan. Di lembaran “Maklumat”, kita membaca canda: “Boss gue Teguh Esha membikin buku ini buat dibaca, bukan buat dipajang doang. Jadi, kalo ada di antara ente yang masih buta hurup di jaman Orde Baru ini, harap pergi ke dokter hurup, minta dimelekin. Gimana caranya deh, terserah situ aje. Itu bukan urusan gue.” Kita membaca seruan dari si tokoh, Ali Topan.


Kita lanjutkan sikap mengejek dan meralat atas pembuatan film dianggap jelek. Ali Topan berpidato: “Jadi begini nih. Ali Topan yang bener ada di buku ini, bukan di filem onoh. Kalu kurang yaqin, lu pada liatin deh tampang gue yang patent di sampul buku ini. style kan? Pokonya, gitu deh. Boss gue Teguh Esha udah siap dengan kisah-kisah gue lainnya untuk dinovelken.” Di situ, kita membaca pula keberanian menaruh Ali Topan dibandingkan Sherlock Holmes dan James Bond. Kenekatan mencipta mitos!


Industri novel, majalah, dan film mengikutkan bisnis penampilan kaum muda, berpusat ke sosok Ali Topan. Pengumuman kecil di buku: “Kaos Ali Topan untuk kalian. Helo! Buat kalian, anak-anak jalanan dan gadis-gadis kesepian yang doyan pakai kaos oblong mutakhir dan tidak norak, hubungi segera Sekretariat Penggemar Ali Topan dengan alamat majalah Le Laki, Jl Kramat, Kwitang II/39 B, Jakarta Pusat.” Zaman bertokoh Ali Topan. Apa-apa selalu Ali Topan.


Teguh Esha, sosok kondang tapi rawan mendapat “kritik” publik. Kemeriahan di pasar novel berdampak peristiwa-peristiwa mengejutkan. Pada suatu masa, Teguh Esha menulis cerita bersambung di majalah Panji Masyarakat, tetap bertokoh Ali Topan tapi berlatar pesantren. Ia bercerita santri berarti mengungkap masalah-masalah keagamaan. Para pembaca majalah Tempo juga ingat Teguh Esha pernah bermasalah dalam paham agama. Di luar itu, Teguh Esha pernah turut dalam industri musik dalam garapan lirik. Indonesia sedang bertokoh Teguh Esha dan Ali Topan, sebelum sejarah memang menepikan saat dunia terlalu ramai.






Kita simak keterangan “resmi” saat Indonesia “dikuasai” Ali Topan dalam cerita-cerita termiliki ribuan atau jutaan orang. Di halaman muka novel berjudul Ali Topan, Detektif Partikelir (1979), terbaca: Ali Topan bukan sekedar gaya/ Ia adalah jiwa/ Berontak untuk bebas/ Masa depan taruhannya. Larik-larik menjadi dalih kaum muda Indonesia. Pembaca bersabar untuk sampai cerita. Halaman-halaman digunakan untuk “Kamus Preman Ali Topan”. Di sejarah sastra, novel itu berhak masuk daftar novel memukau dalam selera struktur cetakan.


Teguh Esha, sosok penting di perkembangan dan kehebohan industri novel di Indonesia. Kita kehilangan sambil menunggu ada terbitan buku biografi atau album memuat sekian hal (ter)penting. Sekian orang mungkin masih ingat bila Teguh Esha belum mau redup setelah masa gemilang berlalu. Dulu, ia dan teman-teman pernah mengurusi terbitan buku mengenai Ismail Marzuki. Kita berharapan juga ada ajakan sekian pihak menulis mengenai Teguh Esha untuk terbit sebagai buku mengenang.


Kita beruntung masih sempat mengikuti ikhtiar menghormati para seniman dan pelaku industri hiburan dengan pementasan Ali Topan The Musical. Catatan dan penjelasan termuat di majalah Tempo, 17 April 2011. Tulisan-tulisan penting terbaca ulang menghormati Teguh Esha. Di Tempo, kita membaca: “Novel Ali Topan meledak pada zamannya. Dia merekam gejala sosial remaja dan tante girang. Pada akhirnya Ali mencari tuhannya.” Kita mencatat juga alasan memberi nama tokoh melegenda. Teguh Esha bilang: “Waktu itu saya lagi jalan-jalan. Nama Ali waktu itu lagi ngetop. Ada Ali Sadikin, Muhammad Ali, Ali Said, Ali Moertopo. Tiba-tiba muncul nama Topan. Jadilah Ali Topan.” Kita membuktikan semua itu jadilah sejarah. Begitu.



 

Bandung Mawardi

pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,

Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020),

Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020)

FB: Kabut





230 tampilan

Comments


bottom of page