Surat dan Lagu
DUA surat pembaca ditampilkan di Kompas, 13 Agustus 2021. Kita membaca dengan pikiran-pikiran ingin terang. Sri Handoko asal Semarang mengusulkan: “… agar selama bula Agustus, di kantor pemerintah dan layanan publik – misal bandara, terminal, stasiun kereta api, pusat perbelanjaan – dipasang perangkat pengeras suara dan memutar lagu-lagu kebangsaan.” Lagu terdengar orang-orang saat duduk, berjalan, makan, dan bercakap. Usulan agar orang-orang mendengarkan lagu-lagu kebangsaan. Kita menduga itu mencipta suasana tenang. Dugaan bisa salah.
Di pelbagai tempat, kita sudah terbiasa menikmati pengumuman, iklan, dan lagu melalui perangkat pengeras suara. Telinga-telinga ada tapi belum tentu mau mendengarkan. Sekian orang tetap bercakap sambil menganggap lagu-lagu itu pengiring. Orang tertidur tanpa mengetahui ada pengumuman atau lagu. Iklan-iklan kadang memberi bosan. Orang enggan mendengar. Kesal pun melanda.
Penambahan perangkat pengeras suara telah terjadi di pelbagai tempat. Kita mulai terbiasakan mendengar “ini” dan “itu”. Di perempatan jalan memiliki bangjo, pengeras suara pun terpasang memberi suara-suara. Telinga kita sedang diminta mendengar segala hal: penting, kurang penting, dan tak penting. Lagu termasuk pilihan wajar agar perangkat pengeras suara tak mubazir. Lagu-lagu dangdut, pop-cengeng, campur sari, atau kenangan berbahasa Inggris biasa diputar. Orang-orang menikmati atau berusaha mengusir lagu gara-gara berbeda selera.
Sri Handoko menulis: “Tujuannya tentu saja adalah menyulut rasa nasionalisme dan patriotisme agar semakin kuat nyalanya. Apalagi jika yang diputar adalah lagu-lagu kebangsaan dan perjuangan yang heroik, penuh semangat.” Usulan sederhana tapi pelik dalam pemaknaan. Pada masa orang melulu bergawai, telinga-telinga memilih lagu-lagu digemari sering lagu-lagu berbahasa Indonesia dan Inggris. Sekian tahun, ada lagu-lagu berbahasa Jawa dari Didi Kempot dan sekian orang terdengar siapa saja. Orang-orang Indonesia pun gandrung lagu-lagu Korea Selatan, selain kebiasaan orang-orang mendengarkan lagu-lagu berbahasa Arab. Kita susah menemukan ada orang memiliki daftar lagu digemari sering lagu kebangsaan atau perjuangan.
Orang-orang Indonesia pun gandrung lagu-lagu Korea Selatan, selain kebiasaan orang-orang mendengarkan lagu-lagu berbahasa Arab. Kita susah menemukan ada orang memiliki daftar lagu digemari sering lagu kebangsaan atau perjuangan.
Ada lagi surat ditulis Soegio Sosrosoematro asal Tangerang Selatan. Kita simak prihatin menjelang 76 tahun Indonesia merdeka: “… saya ingin mengutarakan keprihatinan bahwa dalam upacara peringatan tersebut, terutama yang berlangsung di Istana Negara, lagu Indonesia Raya tidak pernah dinyanyikan syairnya.” Penulis surat adalah pengamat upacara. Ia mungkin terbiasa mengikuti upacara sejak kecil. Pada masa berbeda, ia mengamati upacara di pelbagai tempat, termasuk di Istana Negara. Surat di Kompas mungkin membuat pembaca geleng-geleng bila memiliki kenangan “membosankan” mengikuti upacara bendera ratusan kali, sejak menjadi murid SD. Kita memang terbentuk sebagai jemaah rutin upacara. Konon, upacara-upacara itu mengartikan Indonesia dan mengesahkan pejabat atau orang-orang penting berpidato dan memberi amanat.
Kita ikuti keprihatian: “Seharusnya, dalam peristiwa yang sangat bermakna bagi bangsa Indonesia, syair itu tidak boleh begitu saja dilupakan. Mengapa lagu kebangsaan Indonesia Raya hanya instrumental yang dimainkan, sementara lagu-lagu nasional lainnya justru dinyanyikan koor?” Sejak puluhan tahun lalu, kita dibiasakan duduk di depan televisi: menonton upacara di Istana Negara. Orang-orang kadang berharap mendapat undangan resmi untuk bisa mengikuti upacara di Istana Negara, tak selalu menjadi penonton di depan televisi.
Dua surat menanti jawab. Pemerintah mungkin sedang sibuk, tak sempat menjawab. Sekian hari lagi, upacara digelar tapi dua penulis surat mungkin masih berharap mendapat penjelasan. Pengamatan lagu dan upacara membuktikan kemauan mengartikan Indonesia. Surat terbaca saat orang-orang Indonesia mungkin tak lagi mampu mengingat lagu-lagu terpenting bercerita Indonesia, dari masa ke masa. Kita tak lagi mengenali dan memiliki daftar lagu gubahan WR Supratman, Cornel Simandjuntak, Ismail Marzuki, dan lain-lain.
Surat terbaca saat orang-orang Indonesia mungkin tak lagi mampu mengingat lagu-lagu terpenting bercerita Indonesia, dari masa ke masa. Kita tak lagi mengenali dan memiliki daftar lagu gubahan WR Supratman, Cornel Simandjuntak, Ismail Marzuki, dan lain-lain.
Kita tak wajib menanti jawaban. Kita membuka saja buku kecil berjudul Merayakan Indonesia Raya (2016) diterbitkan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Buku tak diperdagangkan. Kita tak mudah mendapatkan atau meminjam. Di buku kecil, kita simak tulisan pendek Gunawan Wiradi berisi keluhan: “Setiap kali ada upacara resmi, kita semua menyanyikan lagu kebangsaan. Ini dulu! Lama-lama, tidak semua upacara resmi dibuka dengan menyanyikan lagu kebangsaan, bahkan upacara yang bersifat kenegaraan pun pernah ada (atau mungkin banyak?) yang tak lagi dibuka dengan menyanyikan lagu tersebut. Mungkin maksudnya menghemat waktu.”
Pada abad XXI, kita masih bermasalah dengan lagu-lagu kebangsaan, nasional, atau perjuangan. Kita juga agak bingung dengan daftar lagu lama dan lagu-lagu baru untuk menjadikan Indonesia terdengar bergelimang pesan. Lagu-lagu lama biasa dibawakan ulang saat orang-orang menginginkan ada lagu-lagu baru tetap bercerita Indonesia.
Kita boleh menunggu pemerintah, universitas, partai politik, atau pelbagai institusi mengadakan lomba penulisan esai atau buku mengenai lagu-lagu kebangsaan, perjuangan, dan nasional. Lomba untuk mengetahui sejarah dan perkembangan, persepsi publik, estetika, dampak politik, dan lain-lain. Esai dan buku mengenai Lagu Indonesia Raya sudah sering terbit tapi lagu-lagu lain belum mendapat pengamatan serius. Penerbitan tulisan-tulisan menandakan ada dokumentasi dan kemauan mengurusi lagu-lagu. Begitu.
Bandung Mawardi
pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,
Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020),
Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020)
FB: Kabut
Comments