Sunatan
Bandung Mawardi
Pada masa 1960-an, Indonesia panas oleh politik. Orang-orang sastra pun ada di panas dengan serial pertarungan sengit demi pertautan ideologi, estetika, pasar, demokrasi, dan nasionalisme. Di sela panas politik dan sastra, pengarang lugu memberi cerita pendek melewati tahun-tahun emoh cerah. Pada 1962, Hamsad Rangkuti menulis cerita berjudul Panggilan Rasul. Ia mengisahkan bocah sunatan atau khitan. Tema belum mentereng di kesusastraan modern Indonesia.
“Menitik air mata anak sunatan itu ketika djarum bius jang pertama menusuk kulit jang segera akan dipotong. Lambat-lambat obat bius jang didesakkan dokter spesialis dari dalam tabung indjeksi menggembung disana. Dan anak sunatan itu menggigit bibir bawahnja, mentjoba menahan sakit jang perih, sementara dagunja ditarik keatas oleh paktjiknja, agar ia tidak melihat ketjekatan tangan dokter spesialis itu menukar-nukar alat bedah jang sudah begitu sering dipraktikkan. Kemudian ketjemasan makin djelas tergores diwadjah anak sunatan itu. Dia mulai gelisah,” tulis Hamsad Rangkuti. Bocah itu tak sedang mencemaskan politik di Indonesia. Ia mencemaskan “burung” dan mengangankan masa depan sebagai lelaki perkasa.
Cerita itu teringat lagi saat kita membaca berita mengenai khitan dan hajatan demokrasi. Bocah-bocah mulai “terlarang” menangis dengan cara khitan mutakhir. Mereka tak pula menangisi demokrasi Indonesia amburadul. Bocah mungkin beruntung dapat menjalani khitan (sunatan) gratis dengan “ketentuan berlaku”. Di Solopos, 2 Februari 2019, memuat berita berasal dari Wonogiri. Bocah memiliki nama-nama seperti calon presiden dan wakil presiden berhak khitan gratis di klinik beralamat di Ngadirejo, Wonogiri, Jawa Tengah. Bocah itu semoga memiliki nama Jokowi, Joko, Widodo, Ma’ruf Amin, Ma’ruf, Amin, Prabowo, Bowo, Sandi, Solahudin, atau Uno. Nama-nama itu teranggap sering dimiliki bocah-bocah di Jawa? Nama terasa lama, sebelum nama bocah-bocah di abad XXI terbaca-terdengar rumit, aneh, asing, dan terkesan religius. Ratusan nama “baru” gampang dilihat di buku presensi murid di sekolah. Kita bakal terpana dan mulut susah mengucap nama-nama tak lagi mengikuti petunjuk kaum lawas.
Kebijakan khitan gratis asal memiliki nama serperti dua pasang capres-cawapres sengaja menjadi sejenis sambutan menjelang hari berdemokrasi, 17 April 2019. Khitan agak bercerita politik. Bocah diramalkan tak menangis saat khitan. Dokter bakal menggunakan metode laser tanpa jarum suntik. Metode di cerita pendek berjudul Panggilan Rasul itu berlalu alias kuno.
Dulu, khitan memang mencipta cerita-cerita mengerikan dan berdarah. Bocah-bocah terwarisi diksi-diksi kejam dan ledekan-ledekan menambahi takut. Di kalangan orangtua, khitan dijadikan lelucon berharap bocah-bocah sanggup tabah. Siasat imajinatif digunakan untuk mengurangi sakit. Kini, khitan bukan tangisan. Khitan memberi tanda berdekatan ke peristiwa politik. Kita merasa itu berlebihan. Demokrasi telah terpahami dengan kebijakan dan aksi cenderung ingin menjadi berita heboh. Khitan terselip di kesibukan pemberian arti demokrasi saat hari-hari berlimpahan kata tak keruan.
Bocah bernama Lupus tentu gagal mengikuti khitan (sunatan) gratis di Wonogiri. Sejak mula, ia salah nama dan salah tahun. Lupus itu tokoh miliki ribuan pembaca cerita di masa 1990-an. Pada edisi lucu, Hilman dan Boim menulis cerita berjudul Lupus Kecil Sunatan Masal. Buku mungil terbit pada 1990, tahun sulit disebut “politis” atau berkesan ke tanda-tanda selebrasi demokrasi. Pada masa 1990-an, kesibukan politik itu menentukan nama wakil presiden, bukan mencari nama presiden. Nama baru masih sulit menggantikan Soeharto. Lupus tak ada urusan dengan politik. Ia justru ingin melarikan diri dari sunatan. Ia telanjur mendapat cerita-cerita melebihi film horor.
Politik selalu minta dikenang. Cerita-cerita mungkin jarang memiliki pengenang untuk menandai masa lalu. Politik sering sembarangan mencomot diksi pernah memuat tangisan bocah. Pada kerja-kerja politik, kita sering mengetahui ada anggaran-anggaran “disunat” berdalih “ini” dan “itu”. Pencemaran pemaknaan “sunat” terjadi dengan mencipta cerita-cerita buruk mengantarkan orang-orang biadab mengenakan rompi dan borgol sering disiarkan di televisi. Begitu.
Bandung Mawardi, Kuncen Bilik Literasi Solo
留言