Sumbangsih
PADA suatu hari, tokoh politik mengucapkan kata puitis tapi memicu polemik. Kata puitis itu sumbangsih. Pada saat orang-orang memperingati Sumpah Pemuda (28 Oktober 2020), tokoh sudah tua dan berpengalaman dalam politik itu memilih diksi indah telah lama jarang digunakan oleh publik: sumbangsih. Kata itu tak bersalah. Orang-orang ribut gara-gara ada tatanan kata menuntut jawaban. Tokoh politik menginginkan kaum muda tak manja bila ingin Indonesia maju. Ia pun memberi kritik atau sindiran lekas memicu tanggapan. Sumbangsih ada dalam kalimat tapi bukan penentu mutlak polemik berlangsung seru.
Kita memuji masih ada tokoh mengingat sumbangsih dalam omongan politik. Kata telah lama digunakan mengiringi sejarah Indonesia, dari masa ke masa. Pada 1982, terbit buku berjudul Sumbangsihku Bagi Pertiwi: Kumpulan Pengalaman dan Pemikiran disusun oleh Lasmidjah Hardi. Buku terbitan Pustaka Jaya. Tien Soeharto memberi sambutan pendek: “.... dengan memberikan rekaman pengalaman-pengalaman perjuangan kepada generasi muda yang merupakan generasi penerus perjuangan bangsa, menunjukkan bahwa semangat juang wanita Indonesia masih tetap berkobar-kobar, meskipun telah berusia lanjut”. Kalimat itu mengandung perbedaan: muda dan berusia lanjut (tua). Sumbangsih dibuktikan kaum perempuan sejak masih muda dalam arus pergerakan politik kebangsaan. Pada usia tua, mereka tetap ingin membuktikan sumbangsih dengan cara berbeda dari masa lalu.
Lasmidjah Hardi mengungkapkan: “Perjuangan wanita tak akan berhenti sampai akhir hayat dalam mengabdikan diri pada kesejahteraan umat manusia, masyarakat, serta generasi baru yang dilahirkannya”. Sumbangsih itu pilihan kata tepat dalam pembuatan judul. Pada masa Orde Baru, para pembaca mungkin memuji dengan pembuktian kaum wanita dalam babak-babak sejarah Indonesia. Sumbangsih mereka adalah pemikiran, perbuatan, doa, harta, waktu, dan lain-lain. Sumbangsih pada masa lalu ingin dijadikan acuan bagi kaum muda agar turut memberi sumbangsih dengan cara atau bentuk berbeda. Pada 28 Oktober 2020, tokoh politik itu seperti mengulang masa lalu. Ia sudah tua dan memberi sumbangsih. Ia berhak meminta jawaban tentang sumbangsih kaum muda pada abad XXI.
Sumbangsih pada masa lalu ingin dijadikan acuan bagi kaum muda agar turut memberi sumbangsih dengan cara atau bentuk berbeda. Pada 28 Oktober 2020, tokoh politik itu seperti mengulang masa lalu. Ia sudah tua dan memberi sumbangsih. Ia berhak meminta jawaban tentang sumbangsih kaum muda pada abad XXI.
Kini, kaum muda diminta menjawab oleh tokoh pernah menjadi presiden dan awet sebagai ketua umum partai politik itu mungkin asing dan tak mengerti sumbangsih. Kata itu seperti berasal dari masa lalu terlalu jauh atau datang dari negeri asing. Di Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952), Poerwadarminta mengartikan sumbangsih: “sokongan, bantuan (berupa kawangan, wang, dan sebagainja)”. Di Jawa, sumbang atau menjumbang itu sudah lazim dalam kehidupan keseharian. Kata itu masuk dalam bahasa Indonesia. Sumbang berarti “menjokong, menundjang”. Penggunaan contoh dalam kalimat: “Menjumbangkan segenap tenanganja untuk menegakkan negara”. Pada abad XXI, tokoh tenar itu membandingkan sumbangsih kaum tua masa lalu dengan kaum muda dituduh cuma bisa demonstrasi. Tuduhan lain terbaca di Media Indonesia, 1 November 2020: “Makanya saya bilang jangan manjakan milenial. Harus berbuat”. Orang terhormat adalah memberi sumbangan. Orang patut dikritik adalah orang malas atau pemalas. Perbedaan tua dan muda semakin terbaca.
Sutan Mohammad Zain dalam Kamus Moderen Bahasa Indonesia (1954) memuat entri sumbang, disebutkan berasal dari bahasa Jawa. Semula, sumbangan biasa berupa uang diberikan saat ada pernikahan. Pada pengertian berbeda, kita membaca kalimat: “Menjumbangkan tenaga kepada tanah air.” Sutan Mohammad Zain mengartikan: “turut berkurban untuk tanah air”. Kamus tebal itu tak memuat entri sumbangsih. Pada masa Orde Baru, sumbangsih masih digunakan meski tak lagi harus dijelaskan dengan masalah negara atau tanah air. Pengertian sumbangsih dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988): “sokongan, bantuan (berupa pemberian, karangan, uang, dan sebagainya) sebagai tanda kasih. Penulisan “sih” mungkin berasal dari “kasih”. Sumbangsih terbentuk dari sumbang dan kasih. Contoh kalimat: “Dikirimkannya seberkas bunga mawar sebagai sumbangsih untuk kawannya yang sedang berulang tahun”. Kalimat itu berbeda dari makna kalimat dalam dua kamus masa 1950-an.
Kaum muda abad XXI mungkin memilih sinonim sumbangsih. Eko Endarmoko dalam Tesaurus Bahasa Indonesia (2009) mencantumkan sinonim sumbangsih: “dedikasi, persembahan, sumbangan.” Tokoh politik itu bila menggunakan diksi “dedikasi” bakal mudah dipahami kaum muda terbiasa berbahasa Inggris atau terpengaruh bahasa Inggris. Dedikasi mungkin terdengar sesuai zaman mutakhir ketimbang sumbangsih. Tokoh sudah tua telanjur memilih sumbangsih, mengajak kita kembali ke nostalgia atau sibuk membuka kamus-kamus, sejak masa 1950-an. Di Kamus Besar Bahasa Indonesia (2018), pengertian sumbangsih masih sama dengan kamus terbitan 1988. Di kamus, dedikasi belum turut dicantumkan dalam pengertian sumbangsih. Di halaman 360, dedikasi mengandung arti: “pengorbanan tenaga, pikiran, dan waktu demi keberhasilan suatu usaha atau tujuan mulia” atau “pengabdian”. “Sumbangsih” dan “dedikasi” berada di halaman berbeda. Sekian orang sudah berpikiran untuk membandingkan pesona makna antara dedikasi dan kontribusi. Begitu.
_____________
Bandung Mawardi
pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,
Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020)
FB: Kabut
Commentaires