Soeharto Berdesa!
PRESIDEN Joko Widodo dan para menteri tekun mengabarkan dan memuliakan desa. Pelbagai kebijakan dan penamaan menempatkan desa sebagai masalah besar abad XXI. Indonesia sedang berdesa. Hari demi hari, berita-berita bertema desa terbaca di koran-koran. Menteri dan para pejabat belum lelah membahasakan desa dengan segala pamrih dan konsekuensi picisan. Pada 2020 dan 2021, desa-desa tetap terucap selama wabah. Di Suara Merdeka, 8 Juni 2021, kita mengutip editorial: “Dana desa bisa menjadi kekuatan dalam mengembangkan berbagai potensi ekonomi desa. Identifikasi menjadi langkah awal, disusul kemudian mengoptimalkan dan mengembangkan jaringan pemasaran…. Dana desa merupakan implementasi UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.” Kini, pemerintah malah lantang mengumumkan pembuatan ratusan desa wisata, setelah polemik dan peremehan makna desa berlangsung gara-gara dana miliaran rupiah dan acara-acara kekuasaan. Dua kata terheboh bikin sebal: desa wisata.
Kita diminta bersabar dalam kesuksesan capaian ratusan desa wisata melalui pengesahan dokumen, pidato pejabat, hitungan laba, album foto, dan parade bahasa Inggris. Hari-hari menanti itu diselingi ingatan seabad Soeharto. Kita mengenang bertema desa. Ingatan terpenting nasib desa pada masa Orde Baru ditentukan dalil-dalil kekuasaan. Kita mengingat sebutan membuat desa selamat dan terpuji: “Desa Pelopor P-4”. Desa-desa masa lalu mendapat ketetapan. Bukti ke publik adalah pembangunan tugu atau pemasangan papan. Desa-desa direstui Soeharto, masuk daftar keberhasilan menjadikan warga desa mengamalkan Pancasila. Penguasa mengartikan warga desa wajib sopan, patuh, tertib, lugu, dan maklum. Soeharto menggelar permainan besar bertema desa. Kita terlarang kaget bila mengerti Soeharto mengisahan diri sebagai orang desa. Biografi membentuk Indonesia selama puluhan tahun. Soeharto berdesa!
Di majalah Sarinah edisi 6 Juli 1987, pembaca diajak memuji Soeharto dalam peringatan ulang tahun. Presiden “tercinta” berusia 66 tahun. Di situ, Soeharto ditampilkan dalam kesederhanaan. Dipasanglah foto hitam-putih berketerangan: “Rumah tempat Soeharto dilahirkan di Kemusuk, Argomulyo.” Soeharto lahir di desa, sebelum menjadi orang terpenting dan tinggal di Jakarta. Desa kelahiran itu mencipta sejarah. Soeharto pun memiliki kehendak “memperbaiki” nasib desa-desa di seantero Indonesia. Pidato-pidato dan sekian kebijakan bertema desa, mengesahkan Soeharto tak melupa asal. Puncak dari pemaknaan desa adalah penamaan “Desa Pelopor P-4”. Soeharto bangga bila desa-desa memenuhi kaidah-kaidah sesuai kemauan penguasa. Desa jangan teringat sebagai tempat pembangkangan, protes, atau mengutuk.
Di Jakarta, keluarga mengesahkan kebahagiaan dalam peringatan ulang tahun Soeharto. Acara sederhana tanpa mengundang ribuan orang. Di rumah, peristiwa cuma doa bersama, ciuman, pelukan, dan makan bersama. Soeharto ingin sederhana. Di mata ratusan juta penduduk Indonesia, Soeharto memberi pesan kesederhanaan, menampik segala curiga tentang kelimpahan dan kemanjaan. Soeharto mengesankan membawa biografi perdesaan. Keterangan di Sarinah makin menguatkan anggaoan: “… keinginan Pak Harto untuk sederhana muncul dari prinsip hidupnya yang samadyo, wajar, sederhana, tak ingin menyulitkan orang lain.” Mitos diri bijak dan sederhana itu dimengerti publik tanpa bantahan atau bisik-bisik mencurigakan. Soeharto tetap teladan, sosok idaman bagi Indonesia. Semua itu berlatar Orde Baru. Ingat Soeharto, ingat desa, ingat sederhana.
Pada 1991, terbit buku berjudul Gemuruh Kemusuk susunan Djudjuk J, Lazuardi Adi Sage, S Budhi Rahardjo. Imbuhan judul ingin membakukan sejarah: “Profil Desa Perjuangan”. Kemusuk itu Soeharto. Kemusuk tentu tak cuma Soeharto. Daftar tokoh penting Indonesia dilahirkan di Kemusuk. Keterangan terbaca: “Kemusuk bukan saja sebagai tempat kelahiran orang-orang terkenal semacam mereka, tapi juga merupakan saat manis dan romantis di masa kanak-kanak mereka.” Kemusuk, desa bersejarah. Soeharto dianggap “putra Kemusuk sejati”.
Dulu, Soeharto adalah bocah bermandikan lumpur di desa. Pada masa berbeda, ia bergelimang kekuasaan.
Masa demi masa, Soeharto dalam pemitosan desa. Mitos terampuh agar awet menjadi penguasa. Mitos itu membesar dan berpengaruh dengan penerbitan buku edisi terjemahan bahasa Indonesia berjudul Anak Desa: Biografi Presiden Indonesia (1976) garapan OG Roeder. Semula, buku terbit berbahasa Inggris (1969), terbaca orang-orang di pelbagai negara. Orang-orang Indonesia bersabar menanti edisi terjemahan.
Pembahasaan politis minta dibenarkan pembaca mengacu peristiwa 6 Juni 1921: “Ketika anak itu dilahirkan, di langit tidak kelihatan tanda-tanda yang kudus. Pun tidak ada letusan gunung berapi setelah ia lahir ke dunia dan tiada ramalan tentang seorang “Putera Fajar” seperti yang pernah diramalkan pada anak-anak orang kaya dan berpengaruh yang hendak mengagungkan dirinya sendiri. Kelahiran Soeharto tidak berbeda dengan kelahiran anak-anak lainnya di kampung itu, dengan orang tua yang melarat tetapi berbesar hati.”
Soeharto bermula melarat tapi berakhir dengan tuduhan-tuduhan korupsi. Soeharto tertolak sebagai manusia sederhana gara-gara keluarga Cendana dan kroni berpanen duit. Indonesia seperti menjadi “sawah subur” bagi mereka, bukan sawah-sawah di Kemusuk masa 1920-an. Babak setelah 1998, orang-orang mustahil mengakui Soeharto itu “melarat”. Soeharto justru mendapat mitos baru. Sejarah Indonesia mencatat ia bergelimang kekuasaan dan harta.
Tahun demi tahun, urusan mengusut harta Soeharto bertambah ruwet. Tempo, 4-10 Februari 2008, hadir sebagai edisi khusus Soeharto dengan judul puitis: “Setelah Dia Pergi”. Seribu soal belum terjawab. Soeharto mewariskan masalah-masalah. Di Tempo, kita membaca: “Kasus pidana Soeharto memang otomatis gugur dengan kematiannya, tapi para kroni yang masih hidup perlu terus dipersoalkan… Ada banyak cara kalau pemerintah memang mau dan punya niat. Audit semua kekayaan para kroni hanya salah satu metode itu.” Pada masa akhir, Soeharto luput dari tema desa. Soeharto mendapat kritik, kecaman, dan hujatan. Tokoh berasal dari desa dan pernah membuat maklumat politis bertema desa mengalami hari-hari terakhir bermasalah kekuasaan dan harta. Desa, tema terlalu terlupa.
Di buku sejarah, Soeharto tetap berperan dalam membesarkan tema desa. Ratusan judul buku cerita anak dalam program Inpres sering bertema desa. Mitos diselenggarakan dengan serius, memiliki metode dan perhitungan dampak. Pada 1997 dan 1998, desa-desa terapeskan oleh krisis moneter. Soeharto sulit memikirkan desa-desa saat Indonesia ramai demonstrasi. Indonesia mengalami “kebangkrutan” atau “kejatuhan” tanpa janji selamat. Soeharto memikirkan dan bertaruh. Gagal. Ia tak mengakhiri dengan indah dalam pengawetan tema desa, sebelum terbahasakan secara berbeda oleh penguasa-penguasa baru.
Kini, sekian tugu tinggalan masa Orde Baru masih bisa terbaca. Desa dan Pancasila dipahat dengan huruf, logo, dan angka. Sekian tugu rusak, berlumut, dan murung. Pada edisi berbeda, desa-desa berdandan menjadi desa wisata. Dulu, Soeharto mungkin telat memikirkan desa sebagai tempat keramaian. Desa itu alamat bagi turis-turis dari pelbagai negeri. Soeharto tampak “kolot” mengartikan desa adalah pertanian, kerja bakti, pilkades, pasar malam, dan ritual. Soeharto belum memiliki siasat terampuh menempatkan desa dalam perhitungan “laba” bernalar pariwisata.
Kini, sekian tugu tinggalan masa Orde Baru masih bisa terbaca. Desa dan Pancasila dipahat dengan huruf, logo, dan angka. Sekian tugu rusak, berlumut, dan murung. Pada edisi berbeda, desa-desa berdandan menjadi desa wisata. Dulu, Soeharto mungkin telat memikirkan desa sebagai tempat keramaian.
Soeharto pun tak semulia Soekarno dalam mendapat pujian-pujian berdalih desa. Pada masa 1950-an, terbit buku berjudul Desa garapan Soetardjo Kartohadikusumo. Buku gamblang menjadi persembahan berlatar revolusi mengacu seruan-seruan Soekarno. Buku tebal berusaha mementingkan desa dalam arus sejarah Indonesia. Soekarno ada dalam pengecapan penting dan pembuktian. Pada 1984, buku itu dicetak ulang sengaja berselera beda. Buku ingin dianggap “cocok” dengan misi-misi Soeharto, meninggalkan kesilaman bersama Soekarno. Di halaman prakata, pembaca menunduk atas tafsir terbaru kemauan penulisan buku oleh Soetardjo Kartohadikusumo. Situasi telah berbeda: “Agaknya beliau menyadari sepenuhnya peranan desa sebagai kekuatan hidup bangsa Indonesia, dan memang di desalah dijumpai falsafah hidup Pancasila sebagai praktek hidup sehari-hari.”
Kini, peringatan seabad Soeharto dalam dilema makna berbarengan dengan peringatan-peringatan sejarah selama Juni. Kita mengenang Pancasila, Soekarno, dan Soeharto. Semua dimaknai dalam Juni. Sekian pihak menginginkan Juni adalah “Bulan Bung Karno”. Di situ, pemaknaan Pancasila makin kokoh. Pada peringatan dan makna berbeda, kita sungkan melanggengkan Soeharto dan Pancasila melalui tema desa. Begitu.
Bandung Mawardi
pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,
Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020),
Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020)
FB: Kabut
Comments