Semangat Idul Fitri dan Kohesi Sosial
Agus Wedi
Judul : Relevansi Islam Wasathiyah: Dari Melindungi Kampus
Hingga Mengaktualisasi Kesalehan
Penulis : Azyumardi Azra, CBE
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Cetak : 2020
Tebal : 360 halaman
ISBN : 978-623-241-291-0
HARI raya Idul Fitri telah berlalu. Untuk menyambutnya, orang-orang mempersiapkan kedatangannya dengan sungguh-sungguh. Berharap mendapatkan raihan takwa sesuai surah (Al-Baqarah: 183) dan kemenangan atau kembali ke-fitrah kesejatian dan kemurnian sebagai bangsa manusia (Al-Rum: 30).
Idul Fitri datang dan pergi. Kita bakal menemuinya kembali tahun depan. Tapi banyak di antara kita beridul Fitri ini kali terakhir, karena dijemput kembali kepada-Nya. Karena itu, di sisa umur ini, memaksimalkan memanfaatkan hidup pada kualitias dan kuantitas keislaman-keimanan-kebajikan-kesalehan pribadi dan sosial bahkan publik adalah hak dan niscaya.
Dalam konteks itu, menurut Azyumardi Azra, lewat buku Relevansi Islam Wasathiyah: Dari Melindungi Kampus Hingga Mengaktualisasi Kesalehan (2020) menyarankan agar kita harus selalu bertanya, apakah dengan berlalunya puasa dan Idul Fitri ini bisa meningkatkan takwa atau apa yang tersisa dari kita yang patut ditinggal (atsar) dan harus diperjuangkan dalam kehidupan keberagamaan ke depan?
Apakah dengan berlalunya puasa dan Idul Fitri ini bisa meningkatkan takwa atau apa yang tersisa dari kita yang patut ditinggal (atsar) dan harus diperjuangkan dalam kehidupan keberagamaan ke depan?
Mempertanyakan itu tidaklah salah, sebab Islam tidak menganjurkan beragama secara taken for granted, sesuatu yang selesai, tidak perlu dipertanyakan. Malahan Islam mengajarkan sikap ihtisaban, sesuatu perilaku yang harus diperhitungkan, dinilai dan direnungkan secara kritis.
Kita harus akui bahwa belum selesai dan masih banyak celah-kekurangan dalam menunaikan pelbagai macam ibadah keagamaan. Bukan cuma yang sunnah tetapi yang wajib, katakanlah belum menjalankan amanah dan kejujuran bahkan menyalahgunakan wewenang-kebijakan dan berperilaku koruptif.
Meski pelbagai survei manyatakan bahwa kaum Muslim Indonesia terbanyak dan memiliki tingkat kesetiaan dan ketaatan yang tinggi dalam menjalankan ibadah, tetapi kesemarakan itu cenderung formalisme dan tidak masuk kepada lumbung nurani terdalam. Misalnya, di tengah gayutnya keagamaan, sering kali juga gayut tindakan anarkis, bahkan indeks persepsi korupsi Indonesia menunjukkan pengidap yang paling akut di antara banyak negara.
Dengan demikian, pada saat Idul Fitri kita harus memenangkan dari sikap-sikap keji, kejam dan tercela. Seperti kata Azra, Idul Fitri sebagai lokus untuk menjadi manusia yang murni yang berohani. Artinya, Idul Fitri selain laku integral bermaafan terhadap pribadi dan publik juga melakukan pertobatan nasuhah, total atau kolektif.
Lebih jauh dari itu, Idul Fitri seyogyanya untuk aktualisasi kasalehan sosial. Kaum beriman dalam ketaatan menjalankan pelbagai ritual agama secara personal (personal piety), harus ditingkatkan menuju kesalehan sosial (social piety). Misalnya menyantuni atau menguatkan solidaritas filantropi untuk menyantuni kaum lemah (duafa): mualaf, budak, gharimin (orang terlilit utang), fisabilillah (mereka yang berada di jalan Allah dan mengalami kesulitan pembiayaan, seperti jurnalis, penuntut ilmu, guru penyebar ilmu, dai, dan tentara pembela negara), dan ibnu sabil, orang-orang yang sedang dalam perjalanan amal saleh dan kebajikan, tetapi terlantar kekurangan dana.
Semua bentuk filantropi, sebagaimana kata Azra, harus dan diberikan kepada pihak penerima dalam uang kontan untuk konsumsi dan kebutuhan lain, seperti beasiswa pendidikan, modal usaha kecil, dan juga dalam bentuk barang, seperti makanan iftar dan sahur, paket Lebaran (makanan kering, minuman, dan pakaian) serta beras seperti fitrah dan sejenisnya. Bahkan kalau bisa, apalagi di tengah pandemi global yang meluluhlantakkan praksis kehidupan manusia, kita perlu meningkatkan diri dari kesalehan personal-sosial, ke kesalehan publik (publik piety). Langkahya harus diwujudkan dengan ketaatan dan kepatuhan dalam menjalankan perintah agama dalam kehidupan publik: dan juga menjalankan ketentuan hukum yang bertujuan mengatur kehidupan publik yang lebih baik sehingga dapat mewujudkan kabajikan publik (publik good) secara menyeluruh.
Untuk itu, dibutuhkan kesadaran satu sama lain demi mempererat kohesi sosial. Kesadaran merealisasikan dana zakat, infak, sedekah dan semacamnya bagi yang membutuhkan. Adanya dana filantropi dalam jumlah yang semakin besar, yang datang dari segenap Muslim Indonesia, yang bahkan disebut sebagai negara Muslim paling dermawan di dunia, hendaknya disalurkan secara inklusif. Tidak hanya pada dalam negeri saja, tetapi keluar negeri, seperti Pelestina dan kelompok etnis Rohingya di Myanmar. Tidak hanya disalurkan kepada sesama Muslim, tapi kepada kalangan non-Muslim fakir miskin.
Kesediaan memberi bantuan kepada mereka bukan hanya meringankan beban kehidupan kaum fakir, miskin, dan mereka yang lemah dan tertindas (dhu’afa dan mustadh’afin) secara ekonomi, politik, dan sosial, sekaligus dapat mengurangi—jika tidak menghilangkan—kecemburuan dan kejengkelan sosial di antara kelas-kelas sosial. Bahkan hikmah Idul Fitri bisa dirasakan seluruh umat manusia.
Gelombang gairah keagamaan memang harus mampu menyelam ke kesunyian spritualitas sosial atau apa yang disebut Azyumardi Azra, “sosial religius”. Agar ajaran keagamaan menjadi sumber pembebasan dari sikap elietisisme-materialistik-oligarkis dan tak berhenti di keramaian permukaan. Dengan begitu, bersama tumbuhnya gairah keagamaan, tumbuh pula daya asketisme, toleransi, kemanusiaan, kedamaian, dan ukhuwah, persaudaraan.
Gelombang gairah keagamaan memang harus mampu menyelam ke kesunyian spritualitas sosial atau apa yang disebut Azyumardi Azra, “sosial religius”.
Kohesi sosial
Momen Idul Fitri adalah momen persaudaraan universal dan semangatnya harus terus berkobar untuk memulihkan kebaikan cinta-kasih dan cinta-moralitas. Karena itu, Idul Fitri patut dirayakan dengan empati serta penghadiran pemaafan yang mendalam. Pemaafan adalah kunci bagi terwujudnya islah di antara berbagai pihak yang terlibat dalam tensi dan hubungan tidak baik. Tindakan pemaafan merupakan pengejewantahan sikap empati terhadap realitas kemanusiaan, dan karena itu ia akan membangun sunatullah kebhinekaan (pluralisme) dan ukhuwah, persaudaraan. Baik ukhuwah fi al-ubudiyah (persaudaraan ibadah), ukhuwah fi al-insaniyah (persaudaraan sesama manusia), ukhuwah fi al-wathaniyah wa al-nasab (persaudaraan sebangsa dan seketurunan), dan ukhuwah fi din al-Islam (persaudaraan se-Islam).
Sebab, persaudaraan dapat mewujudkan persatuan dan kedamaian. Prinsipnya, menerima komunalitas dan perbedaan, antara sikap yang lemah lembut, tidak kasar dan keras hati serta memaafkan dan bermusyawarah. Jika tidak, yang terlihat atau terjadi dalam ruang kehidupan itu adalah disintegrasi orang beriman dan berislam, orang yang beridul Fitri dan yang tidak, dan bahkan orang Muslim dan non-Muslim.
Karena itu, untuk membuktikan bahwa Idul Fitri sebagai hari kemenangan, atau Islam rahmat bagi seluruh alam, setiap Muslim harus damai dalam dirinya sendiri dan sosial, tidak dikuasai hawa nafsu kemarahan dan kebencian. Hanya dengan kedamaian dalam diri masing-masing, perdamaian dan kedamaian di antara manusia dan lingkungannya dapat diciptakan; tanpa kedamaian internal, tidak ada kedamaian eksternal. Bahkan seperti ucap Azra, untuk berdamai dengan dirinya sendiri-sosial, setiap Muslim harus berdamai dengan Allah dengan sepenuhnya menyerahkan diri (taslim) kepada-Nya.
Karena itu, untuk membuktikan bahwa Idul Fitri sebagai hari kemenangan, atau Islam rahmat bagi seluruh alam, setiap Muslim harus damai dalam dirinya sendiri dan sosial, tidak dikuasai hawa nafsu kemarahan dan kebencian.
Fitrah, ukhuwah, kemanusiaan dan kedamaian adalah pilar utama terwujudnya ritual-peradaban harmonis dan mulia. Sebaliknya, ekstremisme, anarkisme dan ketamakan, keserakahan menimbulkan gangguan terhadap kehidupan, keagamaan dan dapat menimbulkan virus.
Dengan memahami dan mengamalkan pesan spritual hakiki dan ajaran subtantif Islam tentang fitrah, ukhuwah, komonalitas, dan pluralisme, umat Islam bisa tidak sekedar saling silaturrahim menjabat tangan belaka, tetapi dapat berperan besar membangun peradaban umat manusia yang mulia. Selamat hari raya Idul Fitri 1441 H/2020 M. Taqoballahu minna waminkum.
________
Agus Wedi
Pengkaji dan peneliti keislaman
Pengelola Komunitas Serambi Kata IAIN Surakarta
Comments