Selamatlah! Makanlah!
BERITA mengejutkan saat orang-orang memiliki harapan wabah bakal berakhir. Kebijakan demi kebijakan diterapkan pemerintah. Hukuman demi hukuman sudah diberikan secara beragam. Anggaran digelontorkan meski ada korupsi. Semua demi menamatkan wabah. Harapan demi harapan terpenuhi. Sekian harapan belum terkabulkan.
Nah, berita mengejutkan itu masalah makan dan wabah. Kita ajukan kutipan: “Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Doni Monardo meyakini dirinya terpapar virus korona ketika makan bersama karena terpaksa melepas masker” (Media Indonesia, 24 Januari 2021). Makan bersama itu masalah, peristiwa mungkin menimbulkan tertular atau menulari. Sang tokoh sering berpidato memberi petunjuk tata cara hidup sehat dan selamat selama wabah itu menganjurkan: “Sekarang ini makan bisa sendiri atau terpisah dari orang lain”. Makan tak harus bersama. Sendiri dianggap bijak. Anjuran itu serius!
Pada masa wabah, orang-orang masih berpikiran makan dengan pelbagai pamrih. Di rumah, orang-orang memasak ketimbang membeli makanan. Pemerintah menganjurkan warung atau restoran tetap buka tapi meladeni pembelian untuk dibawa pulang. Makan di tempat sering dianggap memicu masalah. Hajatan-hajatan dilarang atau dibatasi, berharap orang-orang tak berkerumun dalam menikmati hidangan. Sekian peristiwa berkaitan masalah makan. Masalah paling berat tentu kaum miskin makin sulit dalam pemenuhan kebutuhan pokok (makan) akibat kelesuan ekonomi. Makan masih mungkin dengan bantuan pemerintah atau tindakan berbagi dari publik. Wabah menjadikan makan adalah rumit.
Sekian bulan, lalu masalah makan dan bersama sudah diulas panjang di Solopos, 31 Oktober 2020. Laporan sehalaman berkaitan ubah laku dalam peristiwa makan bersama. Di situ, terbaca tulisan berjudul “Cegah Corona, Hindari Makan Bersama”. Kebiasaan makan bersama di keluarga, komunitas, atau pertemanan sementara diminta dipertimbangkan secara serius. Makan bersama itu memang membahagiakan dan mengeratkan. Pemaknaan wajar sebelum wabah. Kini, makan bersama itu risiko. Semula, orang mengartikan makan itu peristiwa biologis, ritual, bisnis, politis, atau hiburan. Pada masa wabah, makan bersama dimengerti sebagai peristiwa pelik mengacu ikhtiar-ikhtiar penanggulangan wabah.
Tung Desem Waringin pernah terinfeksi Covid-19 mengajukan usulan saat perbincangan bersama Satgas Penanganan Covid-19. Ia menganjurkan ada imbuhan “m” telah diumumkan secara rutin. Publik mengetahui peraturan memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Tung Desem Waringin mengusulkan penambahan: “menghindari makan bersama”. Usulan setelah mengalami kecemasan mendapat kabar ibu terserang demam dan mual, setelah kumpul dan makan bersama di luar rumah. Tung Desem Waringin teringat bahwa saat makan bersama masker dilepas memungkinan risiko-risiko tak dikehendaki.
Makan menjadi pelik. Anjuran demi anjuran disampaikan berkaitan makan di restoran atau warung: “Tidak duduk berhadap-hadapan; makan di tempat dengan sirkulasi baik, pengaturan kapasitas tempat duduk, selesai makan, segera pulang; pengaturan jarak meja dan kursi; mencuci tangan pakai sabun sebelum dan sesudah makan”. Wabah memberi seribu tanda seru atas kebiasaan makan. Kita diajak berpikir serius tentang makan. Pemahaman makan mengacu agama, adat, gaya hidup, kesehatan, dan lain-lain pantas dipertimbangkan ulang selama wabah.
Wabah memberi seribu tanda seru atas kebiasaan makan. Kita diajak berpikir serius tentang makan. Pemahaman makan mengacu agama, adat, gaya hidup, kesehatan, dan lain-lain pantas dipertimbangkan ulang selama wabah.
Kita mungkin merindukan makan bersama dalam ritual, ulang tahun, pelesiran, atau hajatan. Kita menunda sambil mengingat pengalaman dan pengisahan makan. Masalah makan tentu mengingatkan buku berjudul Mangan Orang Mangan Kumpul (1990) garapan Umar Kayam. Kolom-kolom pernah dimuat di Kedaulatan Rakyat bergelimang percakapan tentang makanan dan adegan makan. Buku membikin lapar. Pada saat membaca tulisan-tulisan, kita belajar beragam hal bertema makan(an). Umar Kayam menjadi pengisah makan(an) dengan segala tafsir, mengajak pembaca ke pengalaman kebahasaan dan ikhtiar turut mengalami makan sekian menu kegemaran Umar Kayam.
Pembaca mendapat pengisahan orang-orang makan dalam peringatan malam Suro di Solo pada suatu masa. Umar Kayam menulis: “Di Keprabon, waktu kami lesehan di tempat Mbok Lemu menggelar nasi liwet-nya yang tersohor itu suasana malam Suro itu sudah tampil dengan hidupnya. Di antara kami sekelompok turis bule mengelesot, mencoba mencicipi nasi liwet. Mantuk-mantuk menyatakan nikmatnya sega liwet Mbok Lemu”. Adegan itu memukau: orang-orang menikmati makanan saat malam. Kesaksian Umar kayam: “Semua deretan warung di jalan Keprabon itu penuh dijejali orang jajan”. Ingat, peristiwa itu masa lalu, tak usah ingin diulangi saat Indonesia masih menanggungkan wabah.
Peristiwa-peristiwa rutin kultural-keagamaan di Jawa memang sah dengan mengumpulkan orang-orang untuk berdoa dan makan bersama. Kerumunan itu kewajaran. Duduk berdekatan itu semakin memberi kenikmatan saat mereka makan, bercakap, dan memandang sekitar. Sekian jenis makanan dianggap tradisional disantap dengan ingatan cerita masa lalu dan pemaknaan nostalgia saat kuliner telah menjadi tema terlalu besar pada akhir abad XX. Makanan dan makan bersama mengandung beragam makna, dari urusan lezat sampai pemaknaan sakral.
Kita bakal selalu lapar setiap membaca tulisan-tulisan Umar Kayam. Kita membaca sebagai nostalgia saja atau sejenis pengisahan kultural berlatar masa lalu. Umar Kayam mengisahkan gerakan makan melalui organisasi. Kita membaca sambil penasaran: “Organisasi ini didirikan oleh beberapa orang yang terdorong oleh kemauan suci untuk makan enak, mempromosikan makanan enak, dan mengawasi makanan enak….” Mereka tentu suka makan bareng. Pengalaman makan membuat mereka berhak menilai atau memberi julukan untuk pelbagai warung dan restoran. Sarekat makan memang biasa terbentuk di pelbagai tempat demi makan enak dan saling pamer pengisahan. Kini, sarekat itu masih mungkin ada tapi belum perlu hadir bersama untuk makan bareng di daftar warung dan restoran idaman. Wabah dijadikan dalih penting untuk memilih peristiwa berbeda berkaitan makan.
Pada masa berbeda, kita mengingat makan(an) melalui buku puisi berjudul Rahasia Dapur Bahagia (2017) garapan Hasta Indriyana. Buku melulu kuliner dalam puluhan puisi. Kita membaca perlahan dan menanggungkan “lapar”. Urusan kuliner mengacu sejarah, keluarga, nasionalisme, pariwisata, dan lain-lain. Kita menikmati puisi berjudul “Sepanci Tiwul Selembar Daun Pisang”, pengisahan kebiasaan di Jawa. Kita membaca: Sepanci tiwul tumpah diratakan/ Di tampah di atas selembar daun pisang// Sebelum kerja bersama tanpa upah/ Memperbaiki rumah, orang-orang/ Kampung sarapan barengan// Tiwul, gudangan, sayur lombok ijo/ Ikan asin, kerupuk bumbu, peyek/ Kacang tempe, suwiran ayam/ Dihampar di seluas tampah. Adegan itu menceritakan kebersamaan orang-orang di desa dalam sambatan atau kerja bakti. Para tetangga berkumpul untuk bekerja bersama dalam memperbaiki rumah. Kebersamaan ditandai sarapan dulu sebelum bekerja. Mereka berkumpul dalam kehangatan dan kekuatan. Kita membaca puisi itu berlatar masa lalu saja atau masih terjadi di pelbagai desa.
Kini, tata cara penanggulangan wabah oleh pemerintah memberi keinsafan agar kita tak terlalu menginginkan ada sarapan atau bareng berdalih apa saja dan kapan saja. Menunda mungkin bijak atau membuat siasat berbeda dengan cara-cara tak merusak kesopanan atau mengganggu kebersamaan di desa. Begitu.
Bandung Mawardi
pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,
Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020), Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020)
FB: Kabut
Comentários