Sejenak Teh
Tenger 10-16 Februari 2020
Bandung Mawardi
MINGGU itu percakapan dan makan bareng. Penulis dan Set mengalami empat Minggu dengan bertamu ke rumah Sanie B Kuncoro di pinggiran Solo. Sekian jam, kami bercakap tentang segala hal tapi memusat ke sastra. Duduk di beranda sambil melihat puluhan tanaman. Kami pun mendengar kicauan burung. Sekian kupu-kupu beterbangan memamerkan warna-warna indah. Jendela kamar depan terbuka lebar, memberi pemandangan tatanan buku di rak. Pertemuan dan percakapan bermisi mencipta bahagia.
Pada 4 Maret 2020, Sanie B Kuncoro bertambah usia. Ia mengajak kami membuat buku untuk dibagikan ke teman-teman. Usia dan berbagi buku itu kebahagiaan. Sanie B Kuncoro, penulis cerita pendek dan novel. Ia pernah menggubah cerita pendek berjudul “Secangkir Teh”. Cerpen lembut tapi ironis. Pada suatu Minggu, kami mengobrolkan sastra dan teh. Sanie B Kuncoro bergairah mengisahkan teh di keluarga. Tradisi! Minum teh di pagi hari sebelum melakukan kerja-kerja menjadi tradisi. Kebiasaan itu mungkin sudah cerita usang. Sanie B Kuncoro pun mengisahkan ada getar-getar perasaan dan religius setiap bercerita teh.
Di cerpen, kita membaca: “Semacam ritual atau upacara kecil yang membuat sukma menjadi lebih percaya diri dalam mengarungi hari.” Minum teh terlalu dimaknai. Teh menentukan biografi keluarga: hidup-mati. Sanie B Kuncoro memberi cerita mengelak dari tebakan-tebakan milik orang-orang telanjur suka minum teh: panas dan dingin. Pencerita tentu tak mau klise. Di luar cerpen, kami memiliki kebiasaan dolan ke Balai Soedjatmoko (Solo). Di situ, Sukidi sering lekas memberi tawaran minuman: teh atau kopi. Konon, para pengarang di Solo dolan atau membuat acara di Balai Soedjatmoko susah sah jika belum minum teh buatan Sukidi. Ia selalu mesem bercerita mengenai pembuatan teh. Ia malah lupa menghitung jumlah bungkus teh sudah dihabiskan untuk meladeni teman-teman. Kami menganggap pembuat teh itu menjadi dokumentator tamu, peristiwa, harga, merek, dan lain-lain.
Konon, para pengarang di Solo dolan atau membuat acara di Balai Soedjatmoko susah sah jika belum minum teh buatan Sukidi.
Kaum buku di Solo pun memiliki tempat resmi berkaitan teh. Pada hari-hari berbelanja buku di Gladak (Solo), kami sering mampir ke warung di bawah pohon beringin. Menit-menit mencari dan membeli buku mendapat jeda di warung. Sekian orang lekas berucap ke pedagang dengan fasih: “Es teh!” Di situ, percakapan mengenai buku berlangsung seru sambil pamer hasil berbelanja di Gladak. Es teh perlahan habis. Ada teman terbiasa pesan dua gelas. Ia memastikan es teh paling enak di Solo cuma di warung Gladak. Kaum buku tanpa minum es teh menjadi orang-orang sedih dan murung.
Ada teman terbiasa pesan dua gelas. Ia memastikan es teh paling enak di Solo cuma di warung Gladak.
Pada setiap obrolan, kami sulit mengutip teh dari puisi. Di sastra Indonesia, para pujangga keranjingan menulis kopi. Membosankan! Teh jarang ditulis meski di keluarga para pujangga ada kebiasaan minum teh sejak masa kakek-nenek. Kopi selalu memikat. Novel-novel pun jarang mengisahkan teh atau memiliki adegan para tokoh sedang minum teh. Kita cukup terkejut saat mendapat terjemahan novel mengenai teh berjudul Sang Juragan Teh gubahan Hella S Haasse. Novel bercerita sejarah di masa kolonial. Kita membaca sambil minum teh berharap merasakan lakon hidup masa lalu: pahit dan manis. Sebiji novel tentu tak memadai bagi keinginan mendaftar pikat imajinasi teh dalam kesusastraan di Indonesia.
Seabad lalu, teh masuk dalam pengisahan Ki Padmasusastra dalam buku berjudul Tata Cara. Pengisahan memastikan kebiasaan bertamu dan hajatan di Jawa ada suguhan teh. Bungkusan teh dan gula pun diperlukan untuk sowan ke dukun atau kepatutan bagi orang dihormati. Teh itu tanda dalam peradaban Jawa, dulu sampai sekarang. Kita mengutip dari Tata Cara mengenai siasat membeli gula dan teh.
Pembeli: “Nah, sudahlah. Sekarang begini. Aku mau lebih banyak membeli. Dan aku sudah tahu harganya. Saya minta kurangnya daripada pembelian eceran biasa, pertimbangkan dengan pembelian yang banyak… Misalnya, lima bungkus teh biasa, sepuluh bungkus teh bagus…” Pedagang: “Tunggu sebental, saya bicalakan. Ya. Sudah, sanak-sanak saya kasih. Besok beli lagi kemali ya?”
Kebutuhan teh di Jawa cukup besar untuk minuman harian di rumah dan hajatan. Di keluarga, gula dan teh dianggap kebutuhan pokok. Gaji suami sebagian digunakan untuk membuat teh selalu tersedia di dapur. Si istri memberi pengabdian dan penghormatan ke suami dengan rutinitas membuatkan teh setiap pagi. Lakon lumrah itu berkebalikan saat kita mendengar Dhagelan Mataram. Si tokoh bernama Basiyo diceritakan gagal menjadi lelaki terhormat dengan minum teh di pagi hari. Ia bukan pencari nafkah. Si istri mengais rezeki dengan berdagang di pasar. Pada suatu pagi, istri membuat lelucon dengan menuangkan teh di meja. Suguhan “terhangat” bagi suami. Basiyo mau marah tapi malu. Ia memang mendapat suguhan teh di meja tapi mustahil disruput. Dagelan itu sindiran telak ke laki-laki selalu ingin diladeni minuman teh. Perempuan “dipaksa” menjadi pembuat minuman teh sepanjang masa.
Basiyo mau marah tapi malu. Ia memang mendapat suguhan teh di meja tapi mustahil disruput. Dagelan itu sindiran telak ke laki-laki selalu ingin diladeni minuman teh. Perempuan “dipaksa” menjadi pembuat minuman teh sepanjang masa.
Sampailah kita di hadapan Kompas, 16 Februari 2020. Tulisan mengharukan berjudul “Perempuan dalam Secangkir Teh.” Cerita para perempuan buruh pabrik teh. Mereka “mengabdi” untuk membahagiakan para peminum teh di rumah, kantor, warung, dan pelbagai tempat. Paragraf mengajak kita memberi penghormatan: “Setiap cangkir teh membawa segenggam kisah. Tentang perempuan-perempuan yang bangun sebelum matahari terbit. Tentang mereka yang menghabiskan hari-harinya dalam debu teh curah. Tentang kenyataan, air mata, dan pengorbanan.”
Cerita para perempuan buruh pabrik teh. Mereka “mengabdi” untuk membahagiakan para peminum teh di rumah, kantor, warung, dan pelbagai tempat.
Mereka sudah berstatus istri mungkin tak sempat membuatkan teh untuk suami. Mereka tak bersalah. Pagi telah berlakon kerja untuk rezeki menghidupi keluarga. Suami pun tak berhak menuntut dibuatkan teh setiap pagi. Perkara secangkir atau segelas teh di pagi hari tak pantas lagi jadi gegeran dalam keluarga atau menentukan nasib suami-istri. Begitu.
__________
Bandung Mawardi,
pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,
Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku
Pengisah dan Pengasih (2019)
FB: Kabut
Comments