Sejarah: Pelajaran dan Buku Lawasan
ORANG-ORANG ribut mata pelajaran sejarah. Di koran, televisi, dan media sosial keributan memamerkan tuduhan, kecewa, jengkel, pembelaan, dan lain-lain. Sekian argumentasi disampaikan para ahli dan orang-orang mengaku mengerti sejarah berlatar pendidikan-pengajaran. Hari demi hari, perdebatan sulit mengingatkan kita selaku awam untuk mengetahui buku-buku pelajaran sejarah masa lalu. Konon, mata pelajaran sejarah berarti buku-buku pelajaran dan kemampuan guru menggairahkan murid belajar sejarah. Pendapat dari para guru sudah mulai bermunculan. Kita justru belum mendapat pengutipan, penjelasan, atau tampilan buku-buku pelajaran sejarah digunakan di Indonesia, dari masa ke masa.
Di Media Indonesia, 27 September 2020, wawancara wartawan bersama Jajat Burhanuddin. Sejarawan itu mengingatkan keberlangsungan ilmu sejarah di sekolah bergantung guru-guru dalam mengampu mata pelajaran. Di situ, tak ada omongan atau pengajuan ingatan tentang buku pelajaran sejarah. Kita mengikuti debat demi debat tanpa ajakan mengenali buku-buku digunakan para guru dalam mengajarkan sejarah. Buku-buku bakal menuntun murid mengerti sejarah atau bosan. Kita tetap belum menemukan buku pelajaran sejarah setelah menikmati esai dimuat di Jawa Pos, 27 September 2020, berjudul “Kekuasaan dan Benang Kusut Pembelajaran Sejarah Bangsa” garapan Sri Margana. Esai berkutat di kurikulum. Sejarawan itu tak memberi contoh buku pelajaran sejarah atau tata pengajaran sejarah pada masa lalu. Ia mengingatkan kurikulum dan tuduhan pembuatan buku: “Penentuan penulisan buku pelajaran juga tidak transparan karena hanya dilakukan dengan penunjukan langsung. Sialnya, penunjukan ini tidak selalu menghasilkan buku sejarah yang berkualitas, bahkan orang yang ditunjuk sama sekali gagal menyelesaikan tugasnya.”
Debat belum selesai. Debat seperti sulit mendapat jawab. Di Kompas, 28 September 2020, kita membaca seruan dari Asosiasi Guru Sejarah Indonesia agar memperkuat pelajaran sejarah. Mereka menggelar seminar, menghimpun pelbagai pendapat. Di pemberitaan, kita belum juga menemukan sebutan judul buku pelajaran sejarah dari masa lalu atau masa sekarang. Hal penting diserukan bersama: “Sejarah tidak hanya didudukkan sebagai mata pelajaran wajib di semua jenjang pendidikan, tetapi juga kualitas kontennya harus ditingkatkan.” Sekian hari kita terbujuk berpikir dan mengikuti debat pelajaran sejarah saat wabah masih belum tamat. Di buku-buku pelajaran sejarah, tema wabah sulit ditemukan tapi masalah-masalah politik melulu berlimpahan, termasuk berkaitan 30 September 1965 dan 1 Oktober 1965.
Sekian hari kita terbujuk berpikir dan mengikuti debat pelajaran sejarah saat wabah masih belum tamat. Di buku-buku pelajaran sejarah, tema wabah sulit ditemukan tapi masalah-masalah politik melulu berlimpahan, termasuk berkaitan 30 September 1965 dan 1 Oktober 1965.
Kita tak ingin turut dalam debat atau mengaku paham urusan pelik dipicu dari pihak pemerintah. Kutipan-kutipan dari koran-koran itu mengingatkan saja bahwa kita masih bisa menemukan dan membaca buku-buku pelajaran sejarah diajarkan guru-guru pada masa lalu. Buku terbaca dan dipelajari murid-murid. Kita mengaku saja kangen buku-buku lawas penting bila sedang meributkan pelajaran sejarah di sekolah, dari masa ke masa.
Buku tipis berjudul Peladjaran Sedjarah di Sekolah Rakjat: Petundjuk untuk Guru. Buku disusun oleh Endo Hardjasoewita, terbitan Energie (Jakarta). Buku tanpa pencantuman tahun. Penggunaan ejaan mungkin menandakan buku terbit masa 1950-an atau masa 1960-an. Maksud penulisan buku: “Indonesia negeri merdeka, baru merdeka kembali setelah 350 tahun didjadjah. Anak-anak perlu mengetahui dan mengerti sedjarah bangsa dan tanah airnja agar dapat menginsafi dan menghargai kemerdekaan. Mereka harus dibimbing agar kemudian mendjadi warga negara sedjati. Dan peladjaran sejarah ialah salah satu djalan penting untuk mentjapai tudjuan itu”. Pelajaran sejarah dipentingkan meski Endo Hardjasoewita mengakui “sukarnja memberikan peladjaran sedjarah kepada anak jang berumur 10-12 tahun”. Sukar tak boleh menjadi dalih peniadaan pelajaran sejarah!
Pelajaran sejarah itu sukar tapi tetap diajarkan. Murid-murid sering mengeluh saat belajar sejarah. Situasi dan mutu itu bergantung guru. Pada masa lalu, tujuan pelajaran sejarah: “memupuk rasa kenasionalan jang sehat; mengembangkan rasa sosial; mengembangkan pertimbangan tentang perangai jang baik dan jang buruk; membangkitkan minat akan kemadjuan peradaban suku-suku bangsa Indonesia agar dapat menghargainja dan memudahkan terbentuknja rakjat jang bersatu padu; memperkenalkan pemimpin-pemimpin jang mempengaruhi sedjarah bangsa kita ….” Deretan tujuan itu tak lekas politis. Tujuan mungkin kentara berubah terlalu politis saat pelaksanaan kurikulum pada masa Orde Baru.
Kita ajukan lagi contoh buku pelajaran digunakan untuk pegangan-bacaan para murid. Buku berjudul Zaman Silam, buku mengantarkan ke pelajaran dan pemahaman sejarah bagi murid-murid di sekolah rakyat. Buku susunan Soeroto, terbitan Noor Komala-Noordhoff-Kolff NV (Jakarta), 1961. Sejarah disajikan dalam bentuk cerita, sejak Sailendra sampai Tjut Nja Dien-Teuku Umar. Buku tipis tapi menggoda dengan cerita-cerita, menghindarkan murid dari kejemuan. Argumentasi penulisan pelajaran dalam bentuk cerita: “… peladjaran-peladjaran didalamnja tidak bersifat dongeng belaka (walaupun ditulis setjara dongeng). Sungguhpun harus dipertahankan bentuk jang sederhana, dengan menghindari segala persoalan jang masih sukar untuk dipahamkan oleh anak-anak kita”. Sejak puluhan tahun lalu, mengajarkan sejarah itu susah. Murid-murid mengaku susah dan jemu bila buku pelajaran memaksa hapalan saja tanpa cerita. Situasi semakin memburuk jika guru tak mahir mengajarkan sejarah.
Sejak puluhan tahun lalu, mengajarkan sejarah itu susah. Murid-murid mengaku susah dan jemu bila buku pelajaran memaksa hapalan saja tanpa cerita. Situasi semakin memburuk jika guru tak mahir mengajarkan sejarah.
Kita susulkan buku pelajaran sejarah untuk sekolah menengah. Soeroto menggarap buku berjudul Indonesia Ditengah-Tengah Dunia, Dari Abad Keabad, diterbitkan Djambatan, Jakarta, 1955. Di sampul, murid melihat foto tentang relief kapal di Candi Borobudur. Pada sampul, murid diajak berimajinasi dan berpikir kebaharian. Pembaca mendapat keterangan penting mengenai situasi politik, guru, dan peran buku pelajaran pada masa 1950-an. Penjelasan Soeroto: “Kebutuhan orang akan buku peladjaran sedjarah jang baru terutama terasa semendjak pada 1945 Indonesia mendjadi negara merdeka. Orang mulai menulis buku-buku sedjarah. Pertama-tema dikalangan guru-guru. Ini logis. Bukankah mereka dalam pekerdjaannja sehari-hari selalu berhadapan dengan kesulitan-kesulitan dan kekurangan-kekurangan dalam lapangan ini?” Masalah pelajaran sejarah masa sekarang tak jauh berbeda dengan masa 1950-an. Guru berperan dan guru pun bermasalah dalam kemahiran pengajaran sejarah. Urusan penulisan buku pelajaran sejarah lazim diragukan para sejarawan mengacu kebijakan-kebijakan pemerintah.
Sejak dulu, (buku) pelajaran sejarah itu masalah dan masalah. Pada masa kita dihajar wabah, masalah-masalah pelajaran sejarah terus bertambah. Sekian pakar sudah menulis artikel-artikel. Sekian wawancara bersama pakar sudah disajikan kepada publik. Panen pendapat terdapat di media sosial. Kita hampir jenuh. Kita justru menunggu ada pihak (orang atau institusi) memberi cuplikan-cuplikan mengenai buku-buku pelajaran sejarah berkaitan pasang-surut mutu pelajaran sejarah di sekolah, dari masa ke masa. Pengajuaan buku-buku mesti digenapi penjelasan-penjelasan kritis. Dugaan kita ratusan judul buku pelajaran masih mungkin dicari dan dikumpulkan. Buku-buku itu mengabarkan masalah-masalah (pelajaran) sejarah belum usai. Kita mungkin malah bermasalah dalam pendokumentasian buku-buku pelajaran sejarah. Begitu.
_____________
Bandung Mawardi
pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,
Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020)
FB: Kabut
Comments