Sejarah di Kamar
RATUSAN tahun berlalu, Pangeran Diponegoro belum biografi lengkap. Puluhan buku sudah terbit mengisahkan tokoh “agung” di sejarah Jawa, dipilih kaum nasionalis sebagai simbol berani melawan kolonial. Ia sudah dimunculkan pada masa pergerakan politik kebangsaan, mengalami perluasan peran dan makna pada zaman riuh ideologi-ideologi.
Pangeran Diponegoro itu nama membara pada episode pembentukan Indonesia. Ia terus membara pada masa revolusi dan pembangunan. Pangeran Diponegoro tak lagi cuma berada di ruang sejarah Jawa. Ia berperan besar pada ruang sejarah Indonesia, sejak digerakkan nasionalisme. Dulu, ia mungkin tak pernah berpikiran bakal ada negara dan batas-batas geografi dinamai Indonesia. Pada suatu masa, Diponegoro diceritakan dari kamar-kamar berada di pelbagai kota.
Pangeran Diponegoro itu nama membara pada episode pembentukan Indonesia. Ia terus membara pada masa revolusi dan pembangunan. Pangeran Diponegoro tak lagi cuma berada di ruang sejarah Jawa. Ia berperan besar pada ruang sejarah Indonesia, sejak digerakkan nasionalisme.
Di Kompas, 2 April 2019, kita membaca berita peresmian ruang pamer Kamar Diponegoro di Museum Sejarah Jakarta. “Penataan dan pemberian informasi di ruang itu ditargetkan jadi kiblat dalam memperlakukan peninggalan sejarah terkait pahlawan nasional ini,” tulis di Kompas. Kamar itu bukan di pengertian umum ada di pengalaman publik saat di rumah. Kamar itu ruangan untuk menahan Pangeran Diponegoro saat menunggu turun keputusan pengasingan, 8 April-3 Mei 1830. Kurator di penataan dan penjelasan kamar adalah Peter Carey.
Kamar berarti tempat penahanan. Kamar tak berarti tempat membuat orang kerasan dan mengalami “kepemilikan”. Kamar itu bukan milik Pangeran Diponegoro. Ia berada di situ di penuntasan Perang Jawa. Ia sebagai tahanan dengan keterbatasan gerak, ingin, dan pandangan. Kamar terasa bermakna pada abad XX melalui kerja serius Peter Carey merangka segala cerita memusat ke Pangeran Diponegoro. Kerja itu ungkapan imbuhan, setelah ia rampung dalam penulisan Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855 (2012). Buku dari studi puluhan tahun. Kamar di Jakarta itu menjadi kamar keempat. Tiga kamar lain ada di Tegalrejo (Jogjakarta), Magelang, dan Makassar. Kamar Diponegoro di Jakarta seluas 120 meter persegi (Republika, 2 April 2019).
Para penekun sejarah mungkin tak terlalu kaget dengan sebutan kamar. Penamaan tempat atau ruang pada masa lalu belum tentu tetap setelah melintasi tahun demi tahun. Penamaan dengan istilah lama atau baru bakal terus bermakna asal ada pengisahan dan penandaan: tokoh, waktu, peristiwa. Kini, kita diajak mengenali sejarah di kamar. Kita melihat kamar terbuka cerita, kamar terbuka tafsir. Di situ, peran Peter Carey dibuktikan selaku intelektual mumpuni di pengenalan biografi Pangeran Diponegoro.
Peresmian Kamar Diponegoro berjarak sekian bulan dari penerbitan buku berjudul Urip Iku Urup: Untaian Persembahan 70 Tahun Profesor Peter Carey (2018). Di situ, Peter Carey mengisahkan diri, mengalami perpindahan rumah. Ia hidup di sekian kamar berbeda di pelbagai negeri. Kamar-kamar menentukan bagi kemunculan dan kebesaran sejarawan. Di kamar teringat dalam biografi, ia bercerita peristiwa aneh bin gaib: “Saya dibawa pulang ke rumah dan disuruh istirahat. Tetapi sakit masih terus-menerus terasa nyeri sekali dan saya tidak bisa tidur. Pada akhirnya, orang tua saya memperbolehkan saya memakai kamar tidur mereka, satu-satunya kamar di villa kami dengan pendingin udara. Saya terbaring di tempat tidur dalam keadaan sedih. Sambil menangis tiba-tiba saya merasa roh saya sedang terapung-apung keluar badan saya hingga naik ke plafon. Saya bisa melihat badan saya terbaring di kasur, melihat tubuh seorang anak berusia enam tahun yang sedang menangis tersedu-sedu sembari roh saya melayang jauh ke atas. Sama sekali tidak ada perasaan sakit.” Kamar itu bukan kamar sejarah? Pengalaman itu membuat ia memiliki kelebihan dari riset sarjana khas Barat. Ia memiliki kemampuan persentuhan dengan dunia gaib leluhur Jawa.
Pengalaman itu membuat ia memiliki kelebihan dari riset sarjana khas Barat. Ia memiliki kemampuan persentuhan dengan dunia gaib leluhur Jawa.
Pada saat dewasa, ia hidup di Jakarta dan Jogjakarta. Ia berada di kamar berbeda suasana dan selera dibandingkan kamar-kamar di Eropa atau Amerika Serikat. Di kamar, ia tidur, membaca, menulis, melamun. Kamar-kamar memberi rangsang di penulisan esai dan buku bertema Pangeran Diponegoro. Ia mungkin merasa kerasan di kamar-kamar di rumah orang Jawa. Ia ada di dunia diliputi pengertian-pengertian baku tanpa “menghentikan” di persentuhan dengan dunia gaib.
Pengalaman kamar sejarawan dan peresmian Kamar Diponegoro untuk pengisahan sejarah tak memiliki kaitan dekat, 1 cm.
Penamaan kamar di perjalanan sejarah ke belakang mungkin ingin memberi pengetengahan arti. Pangeran Diponegoro di kamar itu tak melulu duduk diam atau tidur dalam gelisah. Di kamar, ia masih menulis surat-surat. Ia diatur oleh tata cara penahanan tapi peristiwa-peristiwa masih saja tergelar. Ia bergerak, bergerak, bergerak. Huruf-huruf ditulis di kertas mungkin gerak paling diinginkan ketimbang di lamunan bertaburan keluhan dan desah-desah memaksa mengalami kalah.
Kamar terangkat ke taraf sejarah perlahan membuka pelbagai “misteri”. Pangeran Diponegoro disingkirkan dari Jawa mesti melewati babak berada di Batavia, ditempatkan di kamar mulai dijelaskan para sejarawan Indonesia. Di kamar, Pangeran Diponegoro tetap tokoh terhormat. Di mata kolonial, ia masih ditakuti dan disegani. Penahanan di kamar justru membuat ia mungkin mengalami pikiran-perasaan di ruang-ruang perang dan capain menjadikan Jawa itu berkeadilan dan beradab di hadapan pengejek berlatar Barat.
Pada masa “sejarah” tak terlalu berkamar, kita diundang mengunjungi kamar-kamar bertokoh besar dan memiliki peristiwa tercatat. Kamar mengalami pendefinisian tambahan saat segala peristiwa dan kemauan masa sekarang sengaja menggunakan nama-nama ingin ada di sejarah sedang dicipta: rumah aspirasi, rumah pemilu, rumah kebangsaan, dan bilik suara. Kamar bertokoh Diponegoro itu tak ada urusan dengan hajatan demokrasi tapi memberi “selingan” menjenguk sejarah pembentukan ide-imajinasi melawan kolonial, epsiode sebelum Indonesia sibuk berdemokrasi. Begitu.
Bandung Mawardi,
Comentarios