Santri dan Indonesia "Berhuruf"
KORAN-koran terbit Rabu, 23 Oktober 2019, memuat berita-berita peringatan Hari Santri (22 Oktober 2019) di pelbagai kota dan desa. Sekian acara tak menuntut ada kejutan. Di Pati, Jawa Tengah, ribuan santri mengadakan apel dan kirab akbar. Di Kendal, Jawa Tengah, ribuan santri mengenakan sarung dan sandal jepit mengadakan upacara. Mereka tampak khidmat (Jawa Pos, 23 Oktober 2019). Kompas, 23 Oktober 2019, memasang berita di depan berjudul “Bersama Melawan Api Nafsu Sendiri”. Para santri di Cirebon, Jawa Barat, bertelanjang kaki berani bermain sepak boila api. Sepak bola itu bermaksud mengendalikan hawa nafsu. Berita-berita itu semakin memastikan kita memberi perhatian ke pesantren, santri, kiai, dan lain-lain. Peringatan saat Indonesia sedang tak keruan dan sibuk membuat demokrasi penuh kejutan.
Situasi itu mendingan kita tautkan ke peringatan seratus tahun Saifuddin Zuhri (1 Oktober 1919-1 Oktober 2019). Beliau adalah santri. Pada masa lalu, ia pun politikus pernah menjadi menteri agama dan menghuni DPR RI. Beliau itu pendakwah dan penulis mumpuni. Buku paling mengesankan dari Saifuddin Zuhri adalah Guruku Orang-Orang dari Pesantren dan Berangkat dari Pesantren. Buku-buku bakal terus terbaca saat Indonesia resmi memiliki Undang-Undang Pesantren dan Hari Santri. Kita berhak membaca rutin setiap tahun dan menunggu penerbitan buku-buku baru bertema pesantren.
Kita mulai mengenang para tokoh sejarah Indonesia dalam pembahasaan Saifuddin Zuhri. Indonesia itu huruf. Pembuatan definisi itu mengesankan ketekunan Saifuddin Zuhri di ibadah keaksaraan. Kita simak penjelasan mengandung metafora dari Saifuddin Zuhri (1976) mengenai para tokoh dan Indonesia: “Memang, tiap huruf mempunyai karakternya sendiri, namun rangkaian-kesatuaannya akan membentuk sebuah kalimat yang mempunyai makna dalam keseluruhan tema. Maka karakter yang dimiliki Soetomo, Ki Hadjar Dewantara, HOS Tjokroaminoto, Hasyim Asy’ari, demikian pula Soekarno, Mohammad Hatta, Soedirman, dan Wahid Hasyim misalnya, ibarat huruf mereka mempunyai karakternya sendiri-sendiri dalam membentuk serentetan suatu kalimat yang panjang dalam kesatuan tema yang homogen meronai seluruh perjuangan bangsa Indonesia.” Indonesia berhuruf!
Para tokoh itu dirindukan Indonesia pada abad XXI. Indonesia sedang mendapat pendefinisian dari kata, gambar, dan foto di media sosial, berseliweran setiap detik. Kaum politik berada di situ. Kita mencatat gara-gara kesibukan memamerkan “huruf-huruf” dan “rupa” di media sosial bermunculan salah paham atau sengketa berkaitan pelbagai kasus. Kecerewetan dan sengketa mencipta sibuk setiap hari, dari pagi sampai malam. Politik di situ membikin capek, jarang mengajak kita ke renungan sejenak. Kaum politik tak lagi menjadi penggubah sajak, penulis esai, atau periset terbit jadi buku. Bacaan dalam edisi cetak tergantikan oleh kemudahan berceloteh ketimbang “bersuara” mengacu ke dalil-dalil berdemokrasi cap Indonesia.
Kaum politik tak lagi menjadi penggubah sajak, penulis esai, atau periset terbit jadi buku. Bacaan dalam edisi cetak tergantikan oleh kemudahan berceloteh ketimbang “bersuara” mengacu ke dalil-dalil berdemokrasi cap Indonesia.
Sejak puluhan tahun lalu, kita diingatkan oleh Saifuddin Zuhri mengenai Indonesia berhuruf. Metafora apik saat Indonesia semakin menderu dengan pamrih-pamrih besar. Indonesia memang “dituliskan” ketimbang disuarakan dengan sumbang dan tergesa. Biografi berpolitik Saifuddin Zuhri memihak ke keaksraan. Pilihan tak lagi ditiru kaum politik mutakhir. Konon, politik di televisi dan media sosial dianggap memikat, meriah, dan heboh ketimbang kaum politik menekuni huruf demi huruf menjadi tulisan. “Huruf” tentu tak melulu di lembaran kertas. Saifuddin Zuhri mengajak kita di perbuatan-perbuatan memaknai Indonesia.”Huruf” itu bergerak!
Pada peringatan seabad Saifuddin Zuhri, kita masih menanggung kecewa dengan daftar (semakin) panjang berisi anggota DPR, menteri, gubernur, pengurus parpol, dan lain-lain berpredikat koruptor. Mereka mau “makmur”, bukan menjadikan Indonesia makmur. Keinginan “makmur” itu menabrak agama, etika berdemokrasi, konstitusi, dan sumpah jabatan. Berita-berita korupsi seperti bersaing dengan keseruan sinetron atau pergosipan artis. Kita dirundung marah setiap hari. Oktober, kita masih memiliki tumpukan berita-berita kasus korupsi.
Dulu, Saifuddin Zuhri (1977) memberi penghormatan ke para pengabdi bangsa ketimbang para pecundang telah menodai Indonesia. Kita simak sambil membandingkan kaum politik di Indonesia abad XXI: “Para pengabdi bangsanya itu dadanya hampir meledak karena tidak mampu mewadahi idealismenya yang berkobar-kobar untuk mengentas bangsanya dari penderitaan lahir-batin. Idealismenya yang murni itu membuat mereka malu hidup makmur di tengah-tengah masyarakat yang melarat dan menderita, meskipun masyarakat tidak menghendaki pemimpinnya menderita dan hidup montang-manting.” Masa lalu itu terbaca sebagai misi kesederhanaan hidup di kalangan politik. Misi besar mereka memajukan Indonesia, bukan menuruti serakah harta dan kedudukan. Kini, kita mulai meragu dengan misi-misi kaum politik saat menempuhi jalan legislatif dan eksekutif. Berita mengenai kaum legislatif di pelbagai kota menggadaikan surat penting setelah pelantikan dengan pelbagai dalih cukup memberi tanda seru. Mereka tampak “terlalu” memikirkan dan menghitung urusan-urusan material, tak mengesankan ketulusan di pengabdian atau pemenuhan janji-janji berdemokrasi.
Idealismenya yang murni itu membuat mereka malu hidup makmur di tengah-tengah masyarakat yang melarat dan menderita, meskipun masyarakat tidak menghendaki pemimpinnya menderita dan hidup montang-manting.
Kita telah lama melupa lakon-lakon keluhuran berlangsung di masa lalu. Ingatan kita sering pendek untuk mengenali para tokoh melulu di peringatan hari-hari nasional. Setiap hari kita diserbu nama-nama membikin ruwet dan sebal bersumber dari kerja-politik. Kita hampir kehilangan biografi-biografi teladan. Saifudin Zuhri itu teladan meski orang-orang telanjur tak lagi “mengenali” secara akrab atau terpelajari dari warisan-warisan berupa buku. Orang-orang mungkin sempat diingatkan dengan predikat putra Saifuddin Zuhri sebagai menteri agama di kabinet Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Dulu, Saifuddin Zuhri bertumbuh di jagat pesantren. Ia berani menempuhi jalan pergerakan-politik dan pers. Saifuddin Zuhri pun memiliki sekian predikat saat menjadi penggerak di NU, guru di madrasah, wartawan, legislator, menteri, dan lain-lain. Pada usia 43 tahun, Saifuddin Zuhri mendapat amanat menjadi menteri agama. Ketekunan menulis dan berdakwah mendapat ganjaran berupa gelar profesor dalam bidang dakwah dari IAIN Sunan Kalijaga (Jogjakarta). Ia terus memiliki peran di pemuliaan Indonesia. Ia mungkin tak setenar para tokoh politik sering membuat kehebohan atau sengaja menonjolkan diri berpamrih mencipta sejarah. Saifuddin Zuhri berada di jalan kesederhanaan, bukan pencari “makmur” atau kemonceran picisan.
Pada masa pergerakan politik nasionalisme sampai masa 1950-an, Saifuddin Zuhri sering berbaur dan sinau kepada para tokoh berasal dari pesantren. Di Jakarta dan Jogjakarta sebagai pusat politik, setelah kemerdekaan, Saifuddin Zuhri mendapat tugas-tugas dalam politik. Ia tetap meneladani para ulama dan kaum politik berdatangan ke Jakarta berasal dari pesantren-pesantren. Tokoh-tokoh itu diceritakan dalam Guruku Orang-Orang dari Pesantren (1977). Situasi dan kemauan sinau ke para tokoh itu membuat Saifuddin Zuhri memiliki berpolitik santun dan menjalani hidup sederhana. Kini, kita tetap mengenali para pejabat atau tokoh politik di Jakarta memiliki latar pendidikan di pelbagai pesantren. Mereka mungkin agak sulit dibandingkan dengan para tokoh dikenali dan diteladani Saifuddin Zuhri di masa lalu.
Kita simak pengakuan Saifuddin Zuhri: “Mereka adalah guru-guruku dan sahabat-sahabatku. Mereka telah menghabiskan sebagian besar umurnya untuk mengabdi dan berkhidmah. Mereka tak tahu apakah pahit-getirnya, air-matanya yang tertumpah dan nyawanya yang melayang itu suatu pengorbanan? Begitu ikhlas mereka memberikan segala-galanya untuk kemajuan bangsanya dan tanah-airnya, tanpa pamrih apapun kecuali atas keinsafan bahwa semua itu cuma suatu keharusan hidup, suatu kewajiban semata-mata.” Kalimat-kalimat terbaca lagi meski kita meragu segala keteladanan dari masa lalu masih dimengerti kaum politik di Indonesia abad XXI. Begitu.
Bandung Mawardi,
Kuncen Bilik Literasi Solo
FB: Kabut
Comments