Rempah dan Sejarah
DI Media Indonesia, 22 Agustus 2021, Adiyanto mengusulkan agar ada lomba “agustusan” membuat minuman dari rempah-rempah: jahe, kunyit, dan temulawak. Lomba itu bermutu. Kita mungkin meragu ada lomba berkaitan rempah-rempah. Publik telanjur suka dengan lomba-lomba membikin tertawa dan malu.
Ada pula seruan bertumpu rempah-rempah: “Bayangkan, dari komoditas yang terlihat sepele dan sering menghuni sudut dapur dan pasar-pasar tradisional yang kumuh dan becek, sebuah peradaban tercipta dan mengubah peta geopolitik dunia.” Kita seperti mendapatkan “kejutan” setelah berlaku abai dan meremehkan atas rempah-rempah. Kita mungkin pernah melihat tanpa mengetahui nama-nama. Kita teringat nama tapi belum mengerti kegunaan atau khasiat.
Hari-hari masih rempah-rempah. Kita membaca Tribun Jateng, 23 Agustus 2021. Opini ditulis Opik Mahendra mengagungkan rempah-rempah: “Produksi rempah di Indonesia didominasi lada, pala, dan cengkeh. Menurut data yang dikeluarkan oleh Food and Agriculture Organization (2018), Indonesia selalu menduduki peringkat tiga besar dunia sebagai produsen rempah pilihan. Apalagi pada masa pandemi saat ini, rempah merupakan komoditas yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat di seluruh dunia sebagai salah satu cara untuk menjaga kondisi imun tubuhnya.” Kalimat-kalimat itu “menggembirakan” tapi “mengecewakan”. Selama ratusan tahun, Nusantara atau Indonesia diceritakan dengan rempah-rempah tapi sering sepi dalam percakapan dan pengisahan keseharian. Tulisan itu lekas mengarah bisnis. Rempah-rempah bisa menghasilkan laba besar.
Kalimat-kalimat itu “menggembirakan” tapi “mengecewakan”. Selama ratusan tahun, Nusantara atau Indonesia diceritakan dengan rempah-rempah tapi sering sepi dalam percakapan dan pengisahan keseharian. Tulisan itu lekas mengarah bisnis. Rempah-rempah bisa menghasilkan laba besar.
Cerita belum perlu dihadirkan untuk berimajinasi pelbagai kenikmatan, ketakjuban, dan keunikan.
Kita agak merasakan geliat kultural saat membaca berita di Jawa Pos, 23 Agustus 2021. Para petugas puskesmas mendatangi warga Kaneskes, Lebak. Warga enggan divaksin. Berita atau isu mengenai vaksin gampang menimbulkan salah paham dan ketakutan. Warga di Kanekes memilih menanggapi wabah dengan air dan 20 ramuan tradisional. Mereka membiasakan diri minum air jahe dan air gula merah. Kita membaca sikap warga dalam tatanan adat dan nalar kesehatan modern. Dua perkara belum selaras di Kanekes. Kita tetap berpikiran jahe. Tanaman itu terpahamkan memiliki khasiat. Jahe tak tergesa dipikirkan menjadi komoditas bisa dijual ke pelbagai negara menghasilkan untung berlimpah.
Berita-berita di koran susah berpengaruh bagi orang-orang mengetahui atau mendalami rempah-rempah. Buku-buku bertema rempah-rempah telah terbit tapi pembaca dipastikan sedikit. Pidato para pejabat kadang mengucap rempah-rempah. Orang-orang mendengar itu kepantasan atau pamer kata agar dianggap memberi perhatian.
Kita mengikuti penjelasan Made Astawan dalam buku berjudul Sehat dengan Rempah dan Bumbu Dapur (2016). Hal mendasar: “Rempah dapat berasal dari berbagai bagian tanaman, yaitu bunga, buah, kulit batang, umbi, daun, dan rimpang. Jenis rempah yang banyak dibudidayakan di Indonesia adalah jahe, kunyit, kencur, temulawak, cengkeh, merica, cabe, ketumbar, jinten, kayu manis, kayu secang, serai, pala, dan kapulaga.” Kita mungkin agak susah dalam mengetahui wujud dan membedakan rasa atau khasiat. Semua itu bertumbuh di Indonesia, belum menjadi pengisahan terindah.
Nama-nama itu diketahui ibu-ibu. Di pasar atau warung, ibu-ibu berbelanja sambil bercakap penggunaan. Rempah-rempah dalam masakan dan minuman. Gagal mengerti dengan cara mengolah, orang-orang memilih membeli ramuan atau bungkusan berisi serbuk bisa cepat dinikmati. Di toko atau pasar, kemasan-kemasan itu memberi pengertian berbeda atas keagungan rempah-rempah di Indonesia, dari masa ke masa.
Rempah-rempah itu sejarah. Banda, tempat bersejarah. Kita simak: “Corak holtikultura mereka yang tidak begitu sulit namun indah dan menguntungkan itu mempesona para pengunjung dari Barat. Beberapa di antaranya melantunkan khayalan puitis yang muluk sewaktu melukiskannya buat orang-orang sezamannya.” Kita diajak melompat ke abad XVII. Rempah-rempah menentukan arus sejarah. Rempah-rempah belum memberi janji keselamatan dan kebahagiaan. Nusantara justru berantakan akibat bisnis serakah rempah-rempah. Bangsa-bangsa asing berlaku sembarangan dan meninggalkan derita-derita sejarah. Kita mengingat melalui buku berjudul Kepulauan Banda: Kolonialisme dan Akibatnya di Kepulauan Pala (1983) garapan Willard A. Hanna.
Kedatangan kapal-kapal dari Barat memang menimbulkan kecamuk. Situasi cepat berubah. Nusantara menjadi kancah persaingan, permusuhan, dan perang. Willard A. Hanna mengungkapkan: “Orang-orang Banda lebih menyukai orang Jawa, Bugis, Cina, dan Arab sebagai rekan dagangnya yang tetap. Para pengusaha Asia ini mengirimkan banyak sekali kapal layar. Beberapa di antaranya selalu berada di pelabuhan dan menawarkan dengan tepat barang-barang konsumsi yang sangat disukai di tempat itu. Lebih-lebih lagi, mereka mau tawar-menawar dengan santai atas setiap transaksi, suatu kebiasaan yang meningkatkan jual-beli menjadi pergaulan sosial yang menyenangkan. Daripada, sebagaimana yang dilakukan oleh orang Belanda, tuduh-menuduh mengenai pelanggaran-pelanggaran perjanjian.” Rempah bermasa lalu ruwet oleh pamrih bisnis dan politik.
Kita masih tergoda rempah-rempah dan sejarah. Penjelasan agak berbeda terbaca dalam buku Anthony Reid berjudul Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 (1999). Kita diminta memberi perhatian atas rempah dengan beragam komoditas. Reid menulis: “Di dalam keseluruhan gambaran perdagangan Asia Tenggara, rempah-rempah yang memikat para pedagang dari belahan dunia lain sebenarnya hanya mata dagangan dalam jumlah kecil. Justru bahan makan seperti beras, garam dan asinan atau ikan kering, dan tuak, tekstil dan barang logam, yang semuanya memenuhi muatan kapal yang melintasi perairan yang tenang di beting lautan Sunda. Rempah-rempah menjadi penting karena keuntungan yang paling besar diperoleh darinya. Sebab, para pedagang untuk mencarinya memperkenalkan banyak barang dagangan lain di bandar-bandar dan wilayah produksi.”
Kita kelamaan tak membaca sejarah. Pada masa berbeda, rempah-rempah seperti tak menggendong sejarah saat muncul propaganda rempah-rempah menanggapi wabah. Begitu.
Bandung Mawardi
pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,
Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020),
Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020)
FB: Kabut
Komentarze