Religius, Besek, Alam
Bandung Mawardi
Sejak beberapa minggu terakhir, perajin anyaman bambu di Dusun Patuk, Kertorejo, Ngoro, Jombang, terus berproduksi. Terutama pembuat besek yang lagi banyak pesanan.
(Jawa Pos, 26 Juli 2020)
KAMBING dan sapi disembelih dengan tata cara beradab sesuai ajaran Islam, 31 Juli 2020. Daging-daging dibagikan ke umat. Panitia di masjid-masjid mulai memiliki selera berbeda ketimbang masa lalu. Kini, peristiwa religius bercerita (lagi) tentang besek, bukan melulu kantong plastik atau kresek. Kebijakan memiliki dalih kealaman dan kepatutan. Orang-orang mulai mengingat bambu.
Di Jawa Pos, 1 Agustus 2020, berita-berita mengenai Idul Adha dilengkapi foto-foto. Kita melihat di pelbagai masjid, orang-orang menaruh daging dalam besek-besek. Daging bakal dibagikan secara beradab. Di bagian bawah, besek dilapisi daun pisang. Irisan daging ditaruh di besek itu menjadi pemandangan berbeda, setelah puluhan tahun Idul Adha bercerita kresek.
Besek itu perwujudan dari kesanggupan manusia membuat benda-benda dari bambu. Besek sebagai wadah telah berlaku di Jawa atau Nusantara sejak ratusan tahun lalu, sempat terlupa saat orang-orang keranjingan kantong plastik. Kebiasaan mutakhir menjadikan besek untuk wadah daging terbagikan ke umat itu tindakan terhormat ketimbang menanggung rasa bersalah bila nekat menggunakan plastik telah terbukti menghancurkan Bumi.
Kebiasaan mutakhir menjadikan besek untuk wadah daging terbagikan ke umat itu tindakan terhormat ketimbang menanggung rasa bersalah bila nekat menggunakan plastik telah terbukti menghancurkan Bumi.
Di Jawa, besek biasa digunakan dalam ritual-ritual atau tata hidup keseharian. Di majalah Selera edisi Mei 1984, dimuat artikel Fajar Nugroho berjudul “Tempat Bancakan Tradisional”. Peristiwa mendatangi selametan atau kenduri memiliki oleh-oleh. Isi dalam besek berupa nasi dan lauk pauk (perkedel kentang, tempe, ikan asin, telur, dan sambal goreng). Di pelbagai desa, wadah itu besek. Gagal menggunakan besek, orang bisa menggunakan wadah dibuat dari daun pisang atau daun jati.
Pilihan menggunakan besek cenderung santun dan berhikmah. Kita mengutip: “Sebelum nasi dimasukkan ke dalamnya, besek diberi alas daun pisang yang dicetak bulat sesuai ukuran besek. Tempat lauk terbuat dari daun pisang yang dibentuk pincuk (piring kecil) yang mempunyai tonjolan di tengah.” Pada masa 1980-an, cerita besek masih ada tapi pilihan orang menggantikan besek ke kotak-kardus sudah mulai terjadi. Konon, pilihan ke kardus berdalih murah, hemat, dan keren. Besek pun sempat terpinggirkan.
Besek mengingatkan bambu. Di pelbagai gubahan sastra masa silam, bambu diceritakan dengan metafora memikat. Diksi-diksi untuk bambu senantiasa bergelimang makna, bergerak dari masalah asmara, religius, keluarga, moral, pendidikan, dan lain-lain. Bambu menjadi sumber menggarap kerajinan dan pembuatan makna segala hal. Zoetmulder dalam Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (1983) menghimpun sinopsis dan kutipan bertema bambu bersebaran dalam gubahan-gubahan sastra agung. Bambu tak sekadar tumbuhan tapi memasuki jagat lambang, terwariskan dalam pengajaran-pengajaran selama ratusan tahun. Bambu memang berkah bagi Jawa atau Nusantara, termaknai beragam berkaitan makanan, rumah, senjata, dan lain-lain.
Pembuatan benda-benda dari bambu itu warisan ilmu para leluhur, mengalami sekian perubahan dan pergeseran makna. Mas Martajodana (1917) melalui Commisie voor de Volkslectuur menghadirkan buku petunjuk membuat kerajinan berbahan bambu. Buku beraksara Jawa dan memuat ilustrasi cara pembuatan barang-barang kerajinan mengesahkan misi estetika dan ekonomi berlaku bagi bumiputra. Pemerintah kolonial menganggap bambu dan kerajinan bernalar ekonomi bisa bersangkutan dengan agenda-agenda modernitas bergerak sejak awal abad XX. Bambu tentu tak cuma dibuat menjadi besek.
Dulu, perhatian atas bambu dan kerajinan bumiputra terdokumentasi oleh institusi-institusi bersinggungan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial. Kita membuka buku berjudul De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlandsch Indie susunan JE Jasper dan Mas Pirngadie, 1912. Buku telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia pada 2017. Buku dokumentatif, mengingatkan khazanah perbambuan dan ikhtiar-ikhtiar memberi makna pada masa lalu. Penjelasan deskriptif: “Di mana-mana, bambu digunakan untuk kerajinan menganyam. Tumbuhan bambu yang terdiri dari pelbagai jenis, di Jawa Tengah dan Jawa Timur dinamakan pring, di Madura disebut pereng atau preng, dan di Jawa Barat disebut awi". Bambu digunakan untuk membuat topi, keranjang, kukusan, tumbu, tenggok, besek, tampah, dan lain-lain.
Pengetahuan silam dan kemampuan membuat kerajinan dari para leluhur memungkinkan pembuatan arti benda-benda bereferensi tetumbuhan atau kealaman. Orang-orang belum terlalu berpikiran menggunakan benda-benda hasil mesin atau produksi pabrik. Di keseharian, benda-benda itu digunakan sesuai kesadaran atas peristiwa dan martabat dalam tata sosial-kultural. Besek menjadi benda lazim digunakan sebagai wadah makanan-makanan. Kebiasaan memiliki benda-benda di rumah terbuat dari bambu mengingatkan kondisi alam dan cara hidup keluarga. Dulu, di kebun atau lingkungan sekitar rumah, bambu mudah bertumbuh dan memberi pemandangan elok.
Pada abad XXI, kita berpikiran lagi bambu telah dibuat menjadi besek. Kebijakan-kebijakan pengurangan atau pelarangan penggunaan kantong plastik sudah berlaku tapi masih memunculkan sanggahan-sanggahan. Idul Adha menjadi pembenaran ajakan kembali menggunakan wadah-wadah bukan buatan pabrik. Besek menjadi pilihan. Ajakan menggunakan besek berkaitan dengan pemaknaan religius, sosial, ekonomi, dan kultural.
Idul Adha menjadi pembenaran ajakan kembali menggunakan wadah-wadah bukan buatan pabrik. Besek menjadi pilihan. Ajakan menggunakan besek berkaitan dengan pemaknaan religius, sosial, ekonomi, dan kultural.
Pada hari-hari menjelang Idul Adha, kesibukan membuat besek menjadi berita melegakan bagi kita sudah terlalu bergantung benda-benda pabrik terbuat dari plastik. Episode besek mungkin bisa berlanjut setelah Idul Adha meski belum terlalu mendapat sokongan besar mengacu kebijakan pemerintah dan kemauan publik bereferensi kealaman. Begitu.
_________
Bandung Mawardi,
pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,
Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020)
FB: Kabut
Comments