top of page
Cari
Majalah Basis

Rekor Itu Bertambah!

Bandung Mawardi

HARI-HARI di rumah. Peristiwa teriseng adalah mengumpulkan ratusan kamus, membuka pelan-pelan mencari kata-kata menghibur atau melenakan. Pilihan kata di kamus diinginkan menjerumuskan ke impian murahan, ketololoan, atau ketakjuban. Kita memerlukan memeriksa kata-kata jarang atau sering digunakan selama wabah. Kita pun ingin menemui kata-kata dibiarkan menganggur atau menjelang kematian meski dicantumkan di kamus-kamus.


Kemauan membuka kamus-kamus itu menambahi iseng ingin membuat peringatan kecil untuk leksikograf bernama Hassan S. Ia terkenang dengan kamus (paling) berpengaruh di Indonesia. Kamus terbitan Gramedia. Selama puluhan tahun, kamus itu dimiliki dan dipelajari para murid di Indonesia. Edisi-edisi bajakan gampang ditemukan di pelbagai tempat. Kamus bahasa Inggris-Indonesia itu sementara kita biarkan diam dulu saat pejabat dan para tokoh mengumbar istilah-istilah dalam bahasa Inggris. Kita belum mau di keributan bahasa.


Kita memilih membuka Kamus Bahasa Indonesia: Sekolah Dasar (2012) susunan tim di naungan pemerintah. Di halaman 427, wabah berarti “penyakit menular yang berjangkit dengan cepat". Pemberian contoh: “Wabah kolera melanda daerah yang terkena banjir itu". Pengenalan diksi wabah sudah berlangsung lama. Kini, murid-murid SD dianjurkan belajar di rumah mungkin agak mengerti tentang wabah. Tambahan diksi diperoleh melalui berita dan omongan: pandemi. Di kamus, pandemi belum ada. Kita anggap situasi mutakhir memungkinkan bocah bisa mengetahui pengertian wabah dan pandemi.


Kini, murid-murid SD dianjurkan belajar di rumah mungkin agak mengerti tentang wabah. Tambahan diksi diperoleh melalui berita dan omongan: pandemi. Di kamus, pandemi belum ada. Kita anggap situasi mutakhir memungkinkan bocah bisa mengetahui pengertian wabah dan pandemi.

Pada saat belum dianjurkan mendekam di rumah, bocah-bocah di Solo memiliki hak membeli roti atau kue di toko milik artis terkenal. Toko itu diminati para penggemar artis dan kaum fanatik roti. Toko roti dan artis itu mengingatkan bisnis menguntungkan mumpung masih tenar di industri hiburan. Kini, toko roti turut menanggungkan nasib jelek saat wabah. Si artis mengerti bisnis bisa pasang-surut.


Di Jawa Pos, 22 April 2020, kita membaca berita mengenai si artis. Lihatlah, ia mesem! “Meski bisnis dan karirnya tengah terhambat karena pandemi Covid-19, aktris Prilly Latuconsina, 23, tak mau berdiam diri,” tulis di berita. Oh, artis itu memberi kejutan ke para penggemar dengan unggahan di YouTube. Ia bersama 50 tokoh terkenal bersenandung “Semua Kan Berlalu”, lagu berpesan optimisme menghadapi pandemi. Perekaman dilakukan di rumah masing-masing tokoh. Sajian atas kerja keras si artis bersama tim. Kita menganggap unggahan dan mengedarkan lagu di situasi wabah itu wajar, dikerjakan pula oleh pelbagai pihak. “Senang banget kami bisa produktif dan memberikan inspirasi dari rumah,” pengakuan si artis. Tuhan, ia mendapatkan ganjaran. Pada saat wabah, kerja itu ditetapkan meraih rekor dari Muri. Wah, rekor berlatar wabah! Rekor untuk kategori “Kolaborasi Karya Seni dari Rumah oleh Figur Nasional Terbanyak.” Rekor menjadikan si artis “senang banget.”


Tuhan, ia mendapatkan ganjaran. Pada saat wabah, kerja itu ditetapkan meraih rekor dari Muri. Wah, rekor berlatar wabah!

Pemberian penghargaan rekor itu mengejutkan. Rekor belum libur atau istirahat saat wabah. Rekor masih diksi penting. Bukalah lagi Kamus Bahasa Indonesia: Sekolah Dasar. Kita mengandaikan murid-murid SD di desa dan kota mengidolakan si artis. Pada saat mendapat berita mengenai si artis, bocah ingin mengetahui arti rekor. Dibukalah kamus dengan sampul berwarna biru! Menit demi menit berlalu, kamus dibaca serius. Terima kasih, Tuhan, rekor tak dimuat dalam kamus! Si bocah ingin mengetahui arti rekor mungkin kecewa. Biarlah ia menonton berulang unggahan si artis di YouTube. Bocah menonton setelah bosan dan jengkel mengerjakan tugas-tugas diberikan guru. Bocah itu mengerti wabah tapi gagal mengerti rekor. Ia tetap saja mengidolakan si artis.


Hari-hari pun berganti. Di Suara Merdeka, 29 April 2020, pembaca disuguhi berita mengejutkan berjudul “Perhimpunan Inti Catatkan Rekor Muri.” Tuhan, ada rekor lagi! Wabah belum tamat, rekor bertambah. Tuhan, ampuni kami dan sirnakanlah wabah. Rekor? Di Indonesia, usulan memusnahkan rekor bukan perkara gampang. Usulan mengandung risiko besar. Rekor adalah keinginan pelbagai pihak dan bergengsi. Rekor terlalu penting di Indonesia! Pada saat wabah memberi duka, rekor itu masih terlalu penting. Kita membaca dengan tabah dan ikhlas: “Piagam Penghargaan Muri Nomor 9473/ R Muri/IV/2020 dianugerahkan kepada Perhimpunan Indonesia Tionghoa, atas rekor organisasi sosial kemasyarakatan pendonasi masker medis terbanyak.”


Tuhan, ada rekor lagi! Wabah belum tamat, rekor bertambah. Tuhan, ampuni kami dan sirnakanlah wabah. Rekor? Di Indonesia, usulan memusnahkan rekor bukan perkara gampang. Usulan mengandung risiko besar. Rekor adalah keinginan pelbagai pihak dan bergengsi. Rekor terlalu penting di Indonesia! Pada saat wabah memberi duka, rekor itu masih terlalu penting.

Tuhan, perbuatan mulia itu diganjar piagam rekor. Oh, wabah mengingatkan rekor. Tuhan, kami minta ampun gara-gara ruwet memikirkan wabah dan rekor. Berita itu dilengkapi foto: pihak Muri dan pihak Perhimpunan Indonesia Tionghoa memegang piagam dalam bingkai. Kita diminta membuktikan penghargaan rekor itu sungguh-sungguh terjadi. Tuhan, rekor telah bertambah.

Di rumah, tumpukan kamus menggoda itu dibuka demi mencari pengertian rekor. Kamus Besar Bahasa Indonesia (2018) sengaja dipilih untuk mengetahui arti rekor: “hasil terbaik (tercepat, tertinggi) dalam keolahragaan”, “jumlah terbanyak”, “terbaik, tertinggi”. Rekor terdapat dalam KBBI. Kita sulit menghindari penggunaan rekor dalam olahraga dan sekian peristiwa. Dua rekor sudah menjadi berita di koran tak usah membikin iri. Orang-orang jangan bersaing ingin turut membuat rekor-rekor mumpung wabah. Ingat, perbuatan baik tak wajib dibuktikan dengan piagam rekor! Pesan bijak meski kita menganggap itu usang dan bisa diralat. Kita sudah membuktikan bahwa rekor penting diraih dalam lakon wabah.


Menit-menit kebingungan setelah berhasil menemukan pengertian wabah dan rekor dalam kamus-kamus. Kita mengaku sulit menghindari diksi-diksi dalam bahasa Inggris sedang laris disampaikan para pejabat dan tokoh berpengaruh. Kini, “derita” bertambah di hadapan koran dan kamus. Kita mungkin ingin berdoa lama, sambat mengenai wabah dan rekor.


Pembaca koran dan kamus kecapekan berpikir. Ia ingin tiduran sambil mendengar lagu-lagu Ella dan Inka Christie. Ia terlalu menderita oleh kata-kata dimuat di koran dan kamus, berharap semakin sedih dengan lagu-lagu cengeng bertema asmara. Ella dan Inka Christie bersenandung patah hati dan lara asmara. Kecengengan awet puluhan tahun. Ia mendengar: “Berulang kali kumencoba bujuk hatimu, lupakan semua kenangan, namun mimpi bertemu lagi, di saat engkau tiada di sisi.” Ia ingin melupakan wabah dan rekor, ingin tidur dengan mimpi kepedihan asmara. Begitu.


__________


Bandung Mawardi,

pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,

Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku

Pengisah dan Pengasih (2019)

FB: Kabut



105 tampilan

Comentários


bottom of page