Puisi, Beras, Berita
PUISI itu kesaksian dan dokumentasi. Pada abad XXI, Sindhunata memberi kesaksian nasib manusia dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Puisi berbahasa Jawa dengan judul “Sri, Isenana Ajangku” membuka ingatan pangan dan kesakralan. Sindhunata bercerita:
Parine wis dakdeder wingi-wingi
mangsane wis lingsir ing ngasepi
anjrah kusumaning Sang Hyang Basuki
geneya parine durung gelem semi
Sri, kapan kowe bali.
Sekian orang mungkin mengingat Sri adalah sosok perempuan dikangeni seperti dalam lagu asmara. Di kalangan kaum agraris, Sri itu acuan dalam pertanian. Sosok dihormati dengan doa dan ikhtiar. Puisi berpuncak kesedihan:
Bumi ilang ijo royo-royone
Wulanjarangin wis ora sumorot tejane
Mbok randha nggruguhi sedih tangise
Mung pari sawiji wae wis ora anak ing ajange
Sri, kapan kowe bali.
Kita membaca situasi duka bagi petani dalam mengusahakan sawah menjadi tempat terindah menumbuhkan padi menguning. Mata melihat padi mengartikan bakal ada beras setelah panen. Episode lanjutan adalah nasi di piring. Di sawah, pangan tak terjamin selamat dan melimpah. Semua dipengaruh kehendak Tuhan, alam, dan tata cara manusia bertani. Selama ratusan tahun, sawah bercerita desa-desa penghasil beras di naungan kekuasaan masa kerajaan dan kolonial. Beras terhasilkan belum tentu milik petani sebagai rezeki atau memenuhi kebutuhan pangan setiap hari. Rezim demi rezim sering merebut dan meminta beras, membuat petaka dan nasib buruk untuk petani. Pada abad XXI, beras tetap menentukan nasib petani dan ratusan juta mulut demi menumpas lapar. Beras itu komoditas, melampaui pemikiran dan pengalaman petani dalam kesederhanaan.
Rezim demi rezim sering merebut dan meminta beras, membuat petaka dan nasib buruk untuk petani. Pada abad XXI, beras tetap menentukan nasib petani dan ratusan juta mulut demi menumpas lapar. Beras itu komoditas, melampaui pemikiran dan pengalaman petani dalam kesederhanaan.
Pada masa kolonial Belanda, masa pendudukan Jepang, dan masa revolusi, beras selalu tema besar bagi penguasa. Beras sulit memicu makna kemakmuran. Di lakon-lakon buruk, beras adalah kemiskinan, pemberontakan, penindasan, kesialan, dan lain-lain. Kita masih memilih ingatan kecil atas makna beras saat menentukan jalinan mesra Indonesia-India. Dulu, taktik mujarab dalam menempatkan kehormatan Indonesia di mata dunia adalah memberi bantuan beras ke India. Taktik berlatar masa kemerdekaan. Pada 1965, Soekarno saat berpidato dalam acara PKI tegas mengabarkan Indonesia masih memiliki beras melimpah. Indonesia masih berpangan. Seruan melawan berita dan opini bahwa jutaan orang Indonesia kelaparan. Makanan sulit dicari saat pergolakan politik makin membara. Lakon-lakon masa lalu berubah drastis dalam sandiwara buatan rezim Orde Baru.
Publik dikejutkan kulit muka Tempo edisi 18 Mei 1985. Terlihatlah, gambar dua petani (lelaki dan perempuan) memegang seikat padi. Mereka berada di sawah dengan padi menguning. Kita berimajinasi panen. Gambar indah tapi lekas mengecewakan saat membaca judul besar: “Beras Melimpah Kok Petani Resah?” Gambar dan kata itu kebalikan dari kegirangan Soeharto mendapat penghargaan FAO gara-gara berhasil swasembada beras.
Ingat rezim Orde Baru, ingat beras. Kita pun ingat KUD. Setahun setelah pengumuman swasembada beras, para petani resah. Panen mereka belum tentu laku diserap pasar atau dikehendaki pemerintah. Urusan jumlah dihajar oleh keangkuhan dan muslihat penguasa dan pengusaha berdalih minta kualitas. Harga gabah sengaja dijatuhkan. Kita simak berita di Tempo sambil membuat perbandingan dengan masa sekarang: “Mereka, boleh jadi, tak bakal tahan menghadapi tekanan harga mengingat panen raya Maret-Mei ini berdekatan dengan saat menjelang Lebaran. Para tengkulak mungkin akan panen: mereka bisa mendikte harga beli GKP (gabah kering panen) itu sesuka hati. Bagi KUD yang cukup cerdik dalam menghadapi tekanan itu, saat-saat seperti sekarang sesungguhnya memberikan peluang baik untuk sedikit-sedikit melakukan taruhan cukup besar.” Masa lalu itu prihatin milik para petani. Mereka dipermainkan penguasa dan pengusaha mata duitan.
Soeharto menganjurkan orang-orang Indonesia makan nasi. Sawah-sawah diminta menghasilkan padi. Perdagangan beras menghasilkan untung besar bagi orang-orang mengerti siasat birokrasi dan pintar bermuslihat. Kemakmuran belum milik petani. Pada saat beras berhasil secara terpaksa menggantikan makanan pokok di seantero Indonesia, permainan harga beras dan ketersediaan adalah sumber duit. Keberlimpahan duit bukan untuk petani. Indonesia masa Orde Baru mencipta sandiwara beras menimbulkan kemarahan dan perlawanan. Ikhtiar meminta pertanggungjawaban dan perbaikan nasib oleh para petani sering dituduh penguasa sebagai pemberontakan atau tertular “kiri”. Tema beras terlalu gawat.
Indonesia masa Orde Baru mencipta sandiwara beras menimbulkan kemarahan dan perlawanan. Ikhtiar meminta pertanggungjawaban dan perbaikan nasib oleh para petani sering dituduh penguasa sebagai pemberontakan atau tertular “kiri”. Tema beras terlalu gawat.
Konon, Indonesia itu hamparan sawah. Indonesia berlimpahan beras. Nasi adalah makanan terpenting di Indonesia. Pengertian-pengertian bisa diralat bila mengerti seribu muslihat berlangsung selama puluhan tahun. Di Indonesia, orang miskin masih jutaan. Orang-orang tetap kelaparan meski penguasa atau para pejabat selalu mengumumkan Indonesia dengan pembangunan nasional hampir berhasil mencipta kemakmuran dan kesejahteraan. Dampak terburuk menimpa setelah kejatuhan rezim Orde Baru. Rezim itu mewariskan “dosa” dan kesialan tak pernah berakhir. Sindhunata (2011) memberi kesaksian dalam puisi berjudul “Malam Sepi Periuk Nasi”. Puisi tak terlalu politis tapi mengingatkan pembaca atas kebrengsekan pengelolaan (hasil) pertanian di Indonesia. Kita simak:
Di keheningan malam
tanpa kehangatan
ia tidur
berbantal bulan
bersarungkan awan
Periuknya bernyanyi
mengapa sepanjang hari
aku kosong tanpa nasi
dan perutmu hanya berisi
tangis duka burung kenari.
Puisi menguak sedih. Kita makin sedih bila mau membuka kliping-kliping mengenai politik perberasan di Indonesia.
Kita membaca lagi Tempo edisi 16 Januari 2006. Gambar di kulit muka: seorang buruh memanggul sekarung beras. Berat. Di bawah, tampak sekian tangkai padi. Judul meresahkan: “Dilema Beras Impor.” Pada 2006, pemerintah mengimpor beras dari Vietnam. Kebijakan memicu polemik. Pemerintah berargumentasi memenuhi stok beras nasional agar beras selalu tersedia cukup dengan harga stabil. Kebijakan itu berulang pada tahun-tahun berbeda. Sekian dalih diajukan menambahi klise-klise bahwa Indonesia membutuhkan beras melimpah. Di Tempo, publik membaca seruan: “Sebenarnya, solusinya bukan cuma memilih meneruskan impor atau membatalkannya, melainkan dalam jangka lebih panjang, yaitu membuat program yang memudahkan dan merangsang pertanian untuk meningkatkan kapasitas produksi beras nasional.” Kliping itu mengingatkan polemik di Indonesia mengenai impor beras belum pudar. Kini, impor adalah diksi paling keramat bagi kebijakan pemerintah dan nalar pengusaha.
Hari-hari bertema beras tanpa ada pemastian nasib bagi petani. Di Kompas, 17 Maret 2021, terbaca berita: “Keputusan pemerintah mengimpor 1 juta ton beras menuai penolakan dari kalangan petani. Selain data produksi tahun 2019 dan 2020 menunjukkan surplus, potensi panen pada semester I-2021 berpeluang meningkat seiring meningkatnya luas tanam.” Berita-berita mengenai beras belum berakhir. Pembaca terus dibuat penasaran menunggu kesepakatan atau ralat atas kebijakan pemerintah.
Editorial di Media Indonesia, 19 Maret 2021 menambahi geregetan: “Bila impor dipaksakan ketika produksi beras mencukupi, apalagi menjelang panen raya, siapa yang paling menjerit? Tentu saja petani karena harga gabah sangat mungkin bakal jatuh.” Sekian hari, koran-koran memberitakan beras. Di rumah-rumah, beras mengandung pesan-pesan bersifat “puisi” dan “prosa”. Di kalangan tradisional, beras ada dalam cerita-cerita meminta tafsiran sering mewujud dalam sederet kalimat puitis. Di kekuasaan, beras menjadi “prosa” terlalu lugas dalam memberi kebimbangan dan kemarahan.
Di rumah-rumah, beras mengandung pesan-pesan bersifat “puisi” dan “prosa”. Di kalangan tradisional, beras ada dalam cerita-cerita meminta tafsiran sering mewujud dalam sederet kalimat puitis. Di kekuasaan, beras menjadi “prosa” terlalu lugas dalam memberi kebimbangan dan kemarahan.
Dua puisi gubahan Sindhunata dan berita-berita bertema beras membuat kita bingung dengan ingatan cerita Dewi Sri. Ritual-ritual pertanian masih diselenggarakan pada abad XXI tapi lakon beras memilih bernalar kekuasaan dan keuntungan melimpah. Pengisahan dan penjelasan mengenai Indonesia subur dan makmur perlahan menjadi imajinasi omong kosong. Bocah-bocah mendapat dongeng atau membaca buku-buku cerita bertema agraris bakal kecewa sepanjang masa. Begitu.
Bandung Mawardi
pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,
Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020),
Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020)
FB: Kabut
Comments