Pidato dan Pidato
PADA masa Orde Baru, Soeharto menjadi orang paling rajin memberi pidato di mana saja, kapan saja, dan apa saja. Sekian pidato dihadiri pejabat dan tamu-tamu penting. Dulu, publik mengingat ada perbedaan: pidato dengan teks dan pidato tanpa teks. Pemandangan teringat adalah Soeharto berdiri dengan gagah, tangan memegang kertas. Tokoh besar sedang berpidato. Jutaan orang diminta turut mengikuti pidato melalui radio dan televisi. Di depan televisi, orang-orang melihat Soeharto mengucap kata-kata secara tenang dan wajah kalem agak serius. Ia sedikit bergerak. Pidato itu menjemukan tapi terus diselenggarakan selama puluhan tahun. Para pembaca bertemu (lagi) salinan atau teks pidato tercetak di koran dan majalah.
Birokrasi membesarkan Orde Baru, militer, pengusaha, dan pihak-pihak ingin selamat atau untung memilih mencatat dan mengingat isi pidato. Mereka bergairah mengutip dalam omongan atau tulisan demi terhubung dengan “kebijakan” dan “kebijaksanaan” Soeharto.
Soeharto, tokoh belum terpikat pamer seribu tanda seru. Ia memilih kalimat berakhir tanda titik tapi mampu menimbulkan bujukan, ancaman, tekanan, sindiran, dan pujian. Soeharto sulit bermain tanda baca untuk terbaca atau terdengar. Ketenangan justru menambahi ketegangan. Pidato tak mutlak bahasa dan suara. Orang-orang mengingat rupa Soeharto. Lelaki ganteng. Wajah itu resik. Ia kadang menggunakan kaca mata. Di kepala, peci hitam. Pada saat Soeharto berpidato, Indonesia diharapkan tenang. Jangan berisik! Jangan mengantuk! Jangan melamun!
Indonesia masa Orde Baru terbentuk oleh pidato-pidato Soeharto. Pidato kenegaraan atau beragam jenis pidato Soeharto paling berpengaruh. Pidato itu referensi terpenting. Eriyanto dalam buku berjudul Kekuasaan Otoriter (2000) membahas pidato-pidato Soeharto. Ia menjelaskan bahwa pidato itu “dikutip oleh para menteri, data dan keterangan yang disampaikan dijadikan rujukan oleh pidato yang disampaikan oleh pejabat di daerah.” Pengulangan pasti terjadi. Indonesia dalam pengulangan demi mengerti maksud-maksud presiden. Bahasa digunakan dalam pidato-pidato makin menjadikan publik adalah sasaran kepatuhan, keteraturan, ketertiban, keseragaman, dan “kesopanan”.
Pada masa lalu, pidato-pidato Soekarno juga terampuh. Orang-orang terbiasa mengutip pidato Soekarno untuk urusan politik, pendidikan, agama, seni, olahraga, ekonomi, pertanian, dan lain-lain. Soekarno mula-mula mengabarkan dan mengobarkan ide-imajinasi Indonesia dengan pidato-pidato. Sejarah bergerak dengan suara keras. Bahasa Indonesia diucapkan sebagai bahasa menggirangkan, meledak, puitis, dan mendebarkan. Soekarno itu bergerak. Ia memang menjadikan Indonesia adalah hari-hari berpidato, sebelum ia tamat dari kekuasaan. Soekarno terkenang dengan pesona berpidato.
Pada saat sakit, pidato Soekarno tetap menggetarkan. Pada 1961, Soekarno mengakui di hadapan penikmat pidato di Bandung: “Sebelum saya memberikan keterangan, lebih dahulu saya minta maaf jikalau pidato saya nanti kurang sempurna, sebab sebagai sejak tadi malam saya katakan, sebenarnya kesehatan saya pada waktu sekarang terganggu. Kata orang Jawa kemrekes rasanya.” Ia tetap saja berpidato, mengiring detik-detik dengan kata-kata terucap mendapat perhatian dan tercatat.
Soekarno selalu teringat meski Indonesia bertokoh “baru” dan dinamakan Orde Baru. Orang-orang merindu Soekarno. Kuping mereka ingin mendengar suara Soekarno. Zaman pidato seru telah berlalu tapi masih mungkin terdengar lagi dengan memutar kaset. Di majalah Tempo, 17 Agustus 1991, kiriman foto dari Radityo. Mobil terparkir di pinggir jalan. Sekian orang berkumpul di pintu mobil. Keterangan diberikan di bawah foto: “Di Yogyakarta, tak cuma kaset lagu-lagu cengeng saja yang laris, juga kaset pidato Bung Karno. Menjualnya dengan cara menjajakan keliling kota dengan mobil khusus berisi peringatan.” Kita melihat di foto, terbaca keterangan buatan pedagang kaset: “Di sini menjual kaset pidato Bung Karno, seizin pemerintah pusat.” Di belakang mobil ada juga tulisan: “Siapapun yang mencemarkan nama Bung Karno, Presiden Pertama Republik Indonesia, setiap saat dituntut.” Publik perlahan bernostalgia pidato Soekarno, mendengarkan lagi Indonesia masa lalu.
Pada 2021, masa lalu menjadi acuan. Ganjar Pranowo memilih Soekarno, bukan Soeharto. Pilihan berdalih pidato, bukan kegantengan atau kesangaran. Ganjar Pranowo mengadakan lomba pidato ala Bung Karno dalam peringatan Bulan Bung Karno di Jawa Tengah (Jawa Pos, 2 Juni 2021). Para peserta adalah murid, mahasiswa, dan umum. Pidato berdurasi 1-3 menit diunggah ke Instagram. Ganjar Pranowo ingin orang-orang makin mengenal proklamator, terutama murid-murid berjarak jauh dari zaman pidato dibentuk Soekarno. Ajakan belajar dan meniru. Kita dibujuk Ganjar Pranowo bahwa sejarah pidato memang “milik” Soekarno, bukan Soeharto atau sekian presiden pernah memberi pidato di Indonesia, dari masa ke masa. Begitu.
Bandung Mawardi
pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,
Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020),
Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020)
FB: Kabut
Comments