Peter Pan: Paradoks Kedewasaan dan Masa Kanak
Setyaningsih
Judul : Peter Pan
Penulis : J.M. Barrie
Penerjemah : Julanda Tantani
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetak : Kedua, Maret 2020
Tebal : 240 halaman
ISBN : 978-602-030-3-475
_______
PETER Pan dan Neverland barangkali telah menjadi epik petualangan bertokoh bocah yang justru membuat novel Peter Pan (2020) garapan J.M. Barrie tidak diperuntukkan bagi bocah. Dalam keasyikan terbang, kebebasan melanglang, keberanian menghadapi bajak laut, sekaligus berteman dengan peri yang lahir dari tawa bocah, tersembunyi luka karena diabaikan, tidak dianggap, merasa terbuang. Anak-anak di Neverland adalah anak yang dihilangkan dan dilupakan oleh dunia yang terus bergerak maju.
Masa kanak adalah ide yang diciptakan dan dipertahankan. Seperti terjadi di Inggris, Neil Postman (Selamatkan Anak-anak, 2009) mengatakan bahwa masa kanak-kanak bertahan dari desakan industrialisasi. Awalnya, kesadaran masa kanak hanya dijangkau oleh kelas menengah berpaut dengan kemapanan ekonomi dan pendidikan yang membangun kesadaran pembedaan kebutuhan demi tumbuh kembang anak. Pada abad ke-18 dan ke-19 di antara kelas pekerja dan paling miskin di Inggris, komitmen kasih sayang dan kesejahteraan memang tidak diberikan kepada anak-anak sewajar hari ini. Anak-anak pernah dalam posisi sebagai milik pribadi untuk melakukan segala yang diinginkan orangtua sekaligus yang kesejahteraan bisa dikorbankan demi kelangsungan hidup keluarga.
Pada abad ke-18 dan ke-19 di antara kelas pekerja dan paling miskin di Inggris, komitmen kasih sayang dan kesejahteraan memang tidak diberikan kepada anak-anak sewajar hari ini.
Anak-anak hilang di Neverland adalah “anak-anak yang terjatuh dari kereta dorong saat para pengasuh mereka meleng” (hal. 42). Mereka dikirim ke Neverland setelah 7 hari tidak terakui. J.M. Barrie lewat dua tokoh Peter dan Wendy memang tampak sebagai pertentangan nasib bocah meski lebih kentara bukan secara ekonomi, secara psikologis. Peter merasa keluarga adalah kenangan paling pahit, “Dulu sekali, aku berpikir seperti kalian, bahwa ibuku akan menjaga agar jendela itu selalu terbuka untukku, jadi aku pergi selama berbulan-bulan dan bertahun-tahun, kemudian aku terbang kembali; tapi jendela itu sudah dipasangi jeruji, karena ibuku telah melupakan diriku sama sekali, dan ada seorang anak laki-laki kecil yang tidur di tempat tidurku.” Sebaliknya, Wendy memenuhi panggilan ke Neverland dengan keyakinan jendela kamar akan selalu terbuka bersamaan dengan ibu yang menanti pulang.
Namun bocah-bocah ini ingin menyampaikan hal yang krusial dan terlihat sama, terbang menuju dunia tanpa tuntutan moralitas yang membentuk anak tetap sebagai anak milik orangtuanya. Neverland tidak menuntut anak bersikap sopan, selalu patuh, tenang, berpakaian pantas, atau makan tanpa berbicara. Sekalipun ketika Wendy datang kepada anak-anak hilang tanpa kasih sayang orangtua, dia justru dengan senang hati menjalankan peran sebagai ibu yang lurus secara moral.
Kebebasan dan Moralitas
Bocah menciptakan Neverland dengan kedigdayaan imajinasi meski imajinasi bagi orang dewasa sering berbahaya bagi moral. Neverland bagi orang dewasa hanyalah khayalan atau pulau (dalam) dongeng seolah orang-orang dewasa tidak menyadari mereka menjadi anak-anak. Barrie menulis, “Aku tak tahu apakah kau pernah melihat peta benak seorang. Para dokter kadang-kadang menggambarkan peta-peta bagian tubuhmu yang lain, dan petamu sendiri bisa sangat menarik, namun cobalah menyuruh mereka menggambar peta benak anak kecil, yang bukan saja membingungkan, melainkan juga berputar-putar terus sepanjang waktu. Ada garis-garis naik-turun di sana, persis seperi catatan suhu tubuhmu di kartu, dan ini kemungkinan adalah jalanan-jalanan di pulau, karena Neverland sedari awal kurang-lebih adalah pulau, dengan semburat warna-warni di sana-sini, terumbu-terumbu karang dan kapal-kapal megah di tengah-tengah samudra, orang-orang liar dan gua-gua terpencil, peri-peri yang kebanyakan adalah penjahit, gua-gua yang dilalui sungai, pangeran-pangeran dengan enam kakak lelaki, sebuah gubuk yang nyaris ambruk, dan seorang wanita tua yang sangat mungil serta berhidung bengkok” (hal. 12).
Neverland bagi orang dewasa hanyalah khayalan atau pulau (dalam) dongeng seolah orang-orang dewasa tidak menyadari mereka menjadi anak-anak.
Para bocah mencipta Neverland sama nyata dengan realitas yang mereka tinggali. Bagi Wendy dan kedua adiknya, John dan Michael, kedatangan Peter Pan menemukan Neverland berarti memenuhi panggilan menuju batas-batas di luar kehidupan normatif. Sekalipun Neverland dianggap fiksi oleh realitas sosial bentukan orangtua, tempat itu dan segala petualangannya justru lebih realis bagi Wendy, John, dan Michael.
Bukan dalam tubuh kecil atau besar ditandai oleh umur yang menentukan seseorang menjadi bocah atau orang dewasa. Dalam tubuh dewasa, ada cara-cara membuat seseorang tetap menjadi bocah. Namun, siapa pun dibuat menyakini bahwa masa kanak memiliki masa dan mereka harus bersiap mendewasa. Bahkan kita pasti pernah mengalami momentum radikal begitu ingin lekas dewasa demi kebebasan. Hal ini meyakinkan bahwa masa kanak memang lebih dibentuk oleh moralitas kaum dewasa.
Bukan dalam tubuh kecil atau besar ditandai oleh umur yang menentukan seseorang menjadi bocah atau orang dewasa. Dalam tubuh dewasa, ada cara-cara membuat seseorang tetap menjadi bocah.
Dalam situasi Wendy, dia jelas harus tumbuh dan memilih dewasa sebagai pemenuhan lumrah atas tuntutan sosial. Kehidupan pernikahan dan berumah tangga membuat lupa tertawa, berkhayal, dan terbang. Wendy tidak lagi sempat meniti peta benak dalam diri yang pernah mengalami kebocahan. Momentum pertemuan kembali dengan Peter (yang tetap anak-anak) di kamar rumahnya begitu menyesakkan. Peter menangis mendapati Wendy tumbuh menjadi wanita dewasa. Sebagai gantinya, anak perempuan Wendy, Jane, menggantikan Wendy melakukan kunjungan rutin ke Neverland. Kelak, tugas digantikan oleh anak Jane, anak dari anak Jane, begitu seterusnya. Menjaga diri tetap bocah dalam tubuh dewasa bukanlah hal yang wajar secara sosial.
Peter Pan yang tidak pernah tumbuh dewasa barangkali adalah paradoks penemuan masa kanak di tengah kedigdayaan abad manusia dewasa, “Semua anak, kecuali yang satu itu, tumbuh dewasa. Mereka cepat tahu bahwa mereka akan tumbuh dewasa” (hal. 5). Dan kedewasaan yang Wendy dan kita para bekas bocah alami, sering berhasil menutup pintu-pintu kemungkinan dan keajaiban bahkan sekalipun keduanya hanya sekadar fiksi.
__________
Setyaningsih,
Esais dan penulis Kitab Cerita (2019), penekun pustaka anak,
Email: langit_abjad@yahoo.com
Comentarios