top of page
Cari
Majalah Basis

Pertolongan Pertama pada Ketakutan

DI dunia tikus-rumah, semua anak diajari untuk selalu takut. Dengan itu mereka berwaspada. Atau curiga, dan tak berbuat apa-apa. Seekor anak tikus yang menunjukkan sedikit rasa takut malah dihukum buang ke negeri tikus-got. Dari situ petualangan berkesan dan menginspirasi Despereaux si anak tikus-rumah dimulai, berbekal keberanian dan hati penuh pengampunan. Meninggalkan sesama tikus-rumah yang masih memegang erat ketakutannya pada dunia luar.


Dari galaksi lain, datang cerita tentang seorang bocah yang terjaring pencarian bakat untuk dilatih menjadi kesatria. Namun seorang master menemukan benih halus ketakutan dalam diri bocah, bersembunyi tertutup bakat lain (kecerdasan dan ketangkasan). Para master lain tetap meloloskannya, dan begitulah si bocah lulus menjadi ksatria kebanggaan. Hingga tiba saatnya dia menghadapi situasi mesti memilih antara kepentingan seisi galaksi ataukah kekasih hati. Benih ketakutan itu ternyata selalu ada, menghantui, dan bahkan berbuah kemenangan dalam kompetisi mental tersebut. Sang kesatria menyeberang ke sisi gelap, mengorbankan dunia yang lebih besar.


Ketakutan demi ketakutan ditanamkan pada kita sedari dini secara sistematis dan massal. Mulai dari ketakutan pada wewe gombel. Takut pada dokter dengan alat suntiknya. Pada guru yang suka mencubit. Dan seterusnya hingga dewasa. Tujuannya untuk menguasai kita agar tunduk pada penebar takut (dimulai dari orang tua sendiri), hingga menuruti apa pun kemauannya, dengan terpaksa sekali pun: tidur, makan sayur, belajar, dan seterusnya. Saya anggap ini biasa saja. Sampai tebersit gagasan tentang bahayanya rasa takut saat saya ikuti saga Star Wars oleh George Lucas. Bukan hanya Star Wars yang mengurai perjalanan panjang rasa takut laten menjadi aksi destruktif. Film animasi yang diangkat dari buku sejudul, pemenang Newbery Book 2004, oleh Kate Dicamillo, The Tale of Despereaux (2008), pun dibuka dengan gambaran penanaman benih takut secara terstruktur di dalam keluarga, sekolah, dan lingkungan tikus-rumah, dan bagaimana ini selanjutnya, dan selamanya, mempengaruhi cara hidup mereka sebagai komunitas.


Film animasi yang diangkat dari buku sejudul, pemenang Newbery Book 2004, oleh Kate Dicamillo, The Tale of Despereaux (2008), pun dibuka dengan gambaran penanaman benih takut secara terstruktur di dalam keluarga, sekolah, dan lingkungan tikus-rumah, dan bagaimana ini selanjutnya, dan selamanya, mempengaruhi cara hidup mereka sebagai komunitas.

Belum jelas, bagi saya setidaknya, dari mana kreator Star Wars mendapatkan ide ketakutan sebagai sumber utama bencana. Nyatanya sudah banyak studi neurosains dilakukan untuk mencari tahu hal ini, sebagaimana jenis-jenis lain emosi dipelajari. Salah satunya menjelaskan sebagai berikut: “Di zaman modern, respons tubuh terhadap rasa takut bisa merugikan, terutama karena bagian otak yang paling penting justru yang terdampak sangat negatif: otak benar-benar lumpuh saat tubuh siap bertindak. Korteks serebral, pusat otak untuk pemikiran dan penilaian, adalah area yang terganggu ketika amigdala merasakan ketakutan. Kemampuan untuk berpikir dan bernalar berkurang seiring berjalannya waktu, hingga memikirkan langkah terbaik berikutnya di tengah krisis bisa menjadi hal yang sulit untuk dilakukan. Sebagian orang bahkan mengalami kesan waktu melambat, pandangan terlalu terfokus, atau perasaan seolah-olah yang sedang terjadi itu tidaklah nyata. Gejala disosiatif ini dapat membuat orang sulit untuk tetap membumi dan logis di dalam situasi berbahaya. Pada dasarnya, respons tubuh terhadap rasa takut atau stres dapat menjadi stres itu sendiri.” (The Anatomy of Fear, John A Call Ph.D., J.D., A. di www.psychologytoday.com 28 Juli 2008).


Untuk gampangnya, rasa takut mengakibatkan hal-hal berikut pada diri kita: memunculkan respons instan melawan atau lari, menghapus kemampuan membuat keputusan rasional, dan menjadikan semua hal negatif (https://www.scienceofpeople.com/fear/). Orang tua kita bisa jadi tidak tahu informasi ini, hanya menyalin pola asuh turun-temurun. Namun tentu ada juga mereka yang paham biologi ketakutan ini, dan justru menabur bibit ketakutan dengan maksud menuai hasil sesuai tujuan mereka, apa pun itu, yang belum tentu menguntungkan kita. Lantas, apa yang bisa kita lakukan untuk mengakalinya? Masih menurut situs di atas, untuk meredakan ketakutan, kita bisa melakukan persiapan, mengambil tindakan, dan relaks.


Relaks. Persis itulah yang saya alami saat memasuki sebuah ruang Pameran Seni Rupa Hari Budiono "Memedi Sawah" (Bentara Budaya Yogyakarta, 23-30 Maret 2019) pada sore hari itu. Sore yang istimewa. Di tengah suasana politik yang bergejolak. Banyak ketakutan, mulai dari omongan menghasut, sikap saling membenci, hingga aksi provokatif, dicontohkan para petualang politik kurang tanggung jawab moral. Ketakutan yang membuat penderitanya dikuasai keraguan untuk bersikap dan bertindak, hingga merugikan dirinya sendiri. Oase untuk meringankan beban gundah gulana menjadi sangat penting. Tentu oase bukan solusi tunggal. Ia semacam pertolongan pertama yang menyingkirkan, ya setidaknya mengecilkan, peluang infeksi dari cedera yang mulanya ringan.



Benar saja. Memasuki ruangan itu indra saya dimanja. Oleh aroma ilalang tua. Oleh alunan Ibu Pertiwi dan samar-samar tawa. Oleh aneka warna sapuan kuas. Juga oleh kasar pelepah palma. Boneka-boneka sawah berukuran besar seram menyapa. Satu demi satu digantikan wajah-wajah, yang konon anonim tapi toh kebanyakan familier, semringah. Di atas, ratusan burung hama berkilau-kilau melayang. Membonsai harmoni sawah. Saya datang pada hari terakhir pameran yang ditutup dengan ritual larung memedi sawah. Dibakar-hangusnya memedi berarti menghalau jauh sumber ketakutan. Boneka sawah mesti kembali pada tugas mulanya yang mulia: menjaga tanaman dari burung hama.


Benar saja. Memasuki ruangan itu indra saya dimanja. Oleh aroma ilalang tua. Oleh alunan Ibu Pertiwi dan samar-samar tawa. Oleh aneka warna sapuan kuas. Juga oleh kasar pelepah palma. Boneka-boneka sawah berukuran besar seram menyapa.

Tidak mudah bagi saya yang awam seni rupa untuk bisa langsung menangkap maksud pameran selengkap ini. Betapa pun instalasi ini tidak seabsurd yang pernah saya lihat sebelumnya. Saya dibantu katalog dan beberapa narasi di ruangan sebagai bagian tak terpisah. Boneka sawah itu jelas, dari bentuk dan kisah panjang di belakang, memancing keluar rasa takut yang dapat melumpuhkan kita seperti diurai di atas. Alang-alang menjulang, yang didapatkan cuma di puncak Merapi, ini mencekam, sulit diusir dari ingatan. Perlawanannya tentu saja wajah-wajah ramah di depannya. Bukan cuma kantuk, senyum juga menular. Ibadah yang mewabah. Kalaulah ketakutan itu dibangun masif, wabah senyum dan tawa pasti bisa menggoyang konstruksinya hingga runtuh berantakan. Seratus memedi, seratus juga tawa geli.


Bukan cuma kantuk, senyum juga menular. Ibadah yang mewabah. Kalaulah ketakutan itu dibangun masif, wabah senyum dan tawa pasti bisa menggoyang konstruksinya hingga runtuh berantakan. Seratus memedi, seratus juga tawa geli.

Sore itu semakin mengesankan manakala saya beroleh kesempatan langka menyimak cerita balik layar dari pelakunya langsung. Mbak Titi Widiningrum menuturkan keping demi keping fragmen yang menyusun seluruh karya itu utuh. Bagaimana ia dan sang seniman memilih-milih material memedi, mulai dari alang-alang hingga pelepah dan tali alami. Bagaimana burung-burung hama tercipta dari kertas bungkus nasi yang punya sisi mengilap. Bagaimana mereka mesti sedemikian jeli menata suasana hingga sang seniman tidak melewatkan tenggatnya, mengingat kediaman mereka sengaja dibuka lebar bagi siapa pun yang ingin berkunjung. Tentang lukisan terakhir di pameran, Memedi Sawah, yang terlahir di antara tur sehingga bahkan tak ada dalam katalog. Beruntungnya saya.


Kisah Mbak Titi memastikan pada saya bahwa seniman tidak hidup sendiri. Bagaimana pun soliternya proses kreasi oleh seniman, pada akhirnya ketika ingin karyanya dinikmati orang banyak, ia akan butuh kerja yang lain. Dan, betapa indahnya apabila bantuan ini datang dari orang-orang terdekat yang paling mengerti kebutuhan jiwanya. Maka paripurnalah karya itu bagi dunia.


Fear is the path to the dark side. Fear leads to anger. Anger leads to hate.

Hate leads to suffering. ~Master Yoda (Star Wars I - The Phantom Menace, 1999)


Dian Vita Ellyati,

tinggal di Surabaya

198 tampilan

Comments


bottom of page