Persembahan Rukiah
PADA masa 1930-an, Ibu Sud menggubah lagu tentang kereta api. Lagu itu mengabadi. Masa demi masa, jutaan anak di Indonesia bersenandung: “Naik kereta api, tut, tut….” Pengisahan kereta api melaju, dari kota ke kota. Indonesia masih berlakon kolonial, mengerti kemodernan dengan “ular besi” bergerak cepat: memberi ketakjuban bagi bumiputra. Ibu Sud tak meniatkan mengabarkan sejarah tapi kesanggup merekam zaman melalui lagu mengajak bocah-bocah mengerti sejarah Indonesia memiliki bab alat transportasi. Ibu Sud menambahi dengan gubahan lagu bercerita becak pada masa 1940-an. Lagu itu langgeng sampai sekarang.
Kereta api tak cuma lagu dalam imajinasi anak-anak. Pada masa berbeda, kereta api terbaca dalam puisi. Kita simak puisi berjudul “Kereta Api”, tersaji dalam dua halaman dihiasi ilustrasi oleh Dahlan Djazh. Puisi sederhana, mengajak anak-anak berimajinasi suka cita:
Tut, tut, tut,
tut, tut, tut….
inilah dia kereta api!
Melalui pegunungan
melalui hutan-hutan,
sawah dan ladang,
bukan penghalang,
inilah dia kereta api.
Di adegan berbeda, suara kereta api berganti:
Tit, tit, tit,
tit, tit, tit
berangkatlah dia kereta api.
Diksi-diksi mudah terbaca oleh bocah usia 8-10 tahun. Puisi sengaja dipersembahkan untuk bocah-bocah.
Puisi terdapat dalam buku berjudul Taman Sandjak Si Ketjil (1959). Para pembaca sastra atau penikmat bacaan anak Indonesia mungkin tak mengetahui dan menganggap buku itu langka sepanjang masa. Puisi-puisi dalam buku tipis itu digubah oleh S. Rukiah Kertapati. Nama lekas mengingatkan perseteruan sastra masa 1960-an. Para periset sastra biasa menemukan nama Rukiah masih daftar golongan kiri alias dimusuhi oleh rezim Orde Baru gara-gara malapetaka 1965. Nama pernah berkibar dengan puisi dan prosa melalui buku-buku terbitan Balai Pustaka. Ia jarang teringat sebagai penulis buku anak. Selama puluhan tahun, kita pun sulit menemukan ulasan atau penghormatan atas Rukiah dalam menggerakkan bacaan anak di Indonesia. Nama jarang berjajar dengan Aman, Soekanto SA, Mansur Samin, dan puluhan pengarang buku anak.
Rukiah dan sastra kiri sudah sering terbaca dalam esai-esai garapan para indonesianis atau kritikus sastra di Indonesia. Kini, kita mengurusi Rukiah dan sastra anak. Malapetaka 1965 menjadikan Rukiah menghilang dari sastra. Nama dan tulisan tetap teringat tapi nasib Rukiah sulit diketahui. Di surat balasan untuk John Mcglynn bertahun 1981, Rukiah mengabarkan: “Sesungguhnya – sudah lama saya tak pernah berpikir yang berat-berat, karena enam belas tahun ini saya memang hanya bekerja dan berpikir yang enteng-enteng… Saya tak pernah lagi memikirkan soal-soal kesusastraan, filsafat dan kebudayaan yang memang sebetulnya sangat saya gemari di waktu lampau. Pokoknya saya sudah melupakan dan meninggalkan kehidupan dan kebiasaan saya di zaman silam” (Tempo, 9 Mei 2021). Ia “bercerai” dari sastra, setelah mendapatkan ganjaran kejam dari militer dan disahkan oleh rezim Orde Baru, sejak 1965. Dulu, ia sempat berpikir bakal “tamat” dalam penangkapan dan penahanan. Tahun-tahun berlalu, ia masih hidup dengan sekian kesakitan dan keputusan mengejutkan.
Sastra masa Orde Baru kehilangan Rukiah tapi ikhtiar menghidupkan nama dan sekian buku kadang dihadapkan tuduhan-tuduhan ideologis. Dulu, buku-buku itu terbitan Balai Pustaka, memberi tanda restu dari penerbit milik pemerintah. Pada situasi politik berbeda, buku-buku itu “hilang”. Orang-orang sulit mencari dua buku garapan Rukiah: Kejatuhan dan Hati dan Tandus. Buku-buku dinikmati sebagai bacaan bermutu, lumrah mendapat penghargaan dan perbincangan dari kalangan kritikus sastra. Dulu, orang-orang belum terlalu sembrono menaruh buku dalam sengketa politik-sastra membara pada masa 1950-an dan 1960-an. Nasib berbeda setelah Rukiah dikaitkan dengan Lekra.
Buku “tersulit” dicari mungkin Taman Sandjak Si Ketjil. Perbincangan sastra kiri masih jarang memiliki ratusan atau ribuan halaman mengenai bacaan anak atau sastra untuk anak. Dulu, Rukiah menulis puisi-puisi anak, belum bermaksud masuk ke perdebatan sengit dalam ideologi atau sastra melibatkan sekian kubu. Ia dengan ketulusan ingin memberi persembahan memikat bagi bocah-bocah. Sastra anak di Indonesia belum “makmur” bila dibandingkan dengan sastra disantap kaum dewasa. Penulisan dan penerbitan buku anak masih terbatas meski kita masih mungkin berpendapat terjadi pembesaran melalui majalah Kunang-Kunang, Si Kuntjung, dan buku-buku terbitan Balai Pustaka atau penerbit-penerbit partikelir. Sejak masa 1930-an, sastra anak turut berkembang tapi perlahan dikuasai oleh buku-buku edisi terjemahan atau saduran dari pengarang-pengarang kondang di dunia. Pengarang Indonesia menekuni sastra anak masih sedikit. Rukiah, nama wajib tercatat tapi dalam buku-buku sejarah dan perkembangan sastra anak di Indonesia nama itu tak tercantum atau tak pernah diketahui para pengamat sastra.
Kemunculan nama Rukiah dan Sugiarti Siswadi dalam laporan panjang di Tempo, 9 Mei 2021, cukup memberi tanda seru. Dulu, Rukiah pun mengisahkan sosok dan pekerjaan berlatar Mei selalu terperingati di seluruh dunia. Ia menulis tentang buruh berharap berterima dalam imajinasi dan pengenalan anak. Kita simak cuplikan dari puisi berjudul “Anak Buruh”. Puisi memicu kesadaran masa lalu atas nasib buruh di Indonesia: Ajahku mendjadi buruh,
setiap hari mengeluh,
kerdja berat ‘
meras keringat,
mentjari upah.
O, tahankan lelah! Anak mengetahui nasib tak menentu bagi buruh.
Anak itu berharapan: “Kini ajah menderita.
Ibuku pedih sengsara.
Tapi, o, ibu dan ajah,
tunggulah dihari esok
Siaplah dihari esok
Puisi telat kita baca tapi masih Mei. Begitu.
Bandung Mawardi
pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,
Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020),
Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020)
FB: Kabut
コメント