Pernikahan ...
Bandung Mawardi
SEABAD silam, Ki Padmasusastra menggubah Serat Tata Cara, berisi cerita-cerita dan usaha memaknai segala peristiwa dalam kehidupan manusia di naungan adat Jawa dan pengaruh ajaran-ajaran Islam. Pujangga asal Solo itu menjadikan pernikahan masalah penting dipelajari orang-orang di awal abad XX saat Jawa atau tanah jajahan mengalami perubahan besar. Jawa dalam situasi “bergerak”, mengarah ke “kemadjoean” tapi tetap memiliki bekal-bekal ajaran para leluhur terus dilestarikan.
Kita simak pengisahan resepsi pernikahan: “Melihat kedatangan pengantin laki-laki itu, mempelai perempuan dengan disertai dua orang sesepuh kiri dan kanan berjalah ke arahnya. Sampai di depan pintu saling melemparkan gantal, lalu dipertemukan di muka pintu. Mahkota pengantin pria dibuka oleh seorang sesepuh pria, ubun-ubunnya diusap dengan air tiga kali oleh seorang sesepuh-wanita. Pengantin perempuan berjongkok di depan mempelai laki-laki, mencuci kakinya dengan air kembang setaman yang telah tersedia di situ.” Adegan itu sering diakui sakral, menentukan nasib lelaki-perempuan berjanji suci menjadi suami-istri. Selera adat Jawa dalam gerak raga dan simbol membuat pernikahan menjadi rumit makna, diselenggarakan secara khitmad dan disaksikan ratusan atau ribuan tamu.
Adegan lanjutan: “Mempelai perempuan lalu berdiri di sebelah kiri mempelai pria. Mereka berjalan bersama bergandengan tangan, diselimuti dengan kemben sindur oleh ibu pengantin perempuan. Tiba di muka pelaminan berjongkok berjalan beringsut-ingsut lalu duduk di pelaminan, yang laki-laki di kanan, yang perempuan di sebelah kiri di depan kobongan.” Pengantin itu berasal dari kalangan priyayi. Para tamu pun sebagian besar priyayi. Tata cara pernikahan terasa menganut nilai-nilai mengandung kebaikan, kehormatan, kesungguhan, dan keunggulan. Adegan-adegan dalam tata cara pernikahan itu diidamkan sampai sekarang di Jawa. Hajatan pernikahan selalu ada meski mulai jarang menganut mutlak adat Jawa. Sekian perubahan terjadi tapi tetap mengesankan kejawaan. Pada abad XXI, Serat Tata Cara tak lagi terbaca saat kita bingung mengartikan makna hajatan pernikahan dan wabah.
Kini, wabah menghasilkan peristiwa-peristiwa sulit mendapat tuduhan “salah” atau “benar”. Sekian peristiwa menggunakan dalih agama, politik, pendidikan, dan sosial. Peristiwa ingin bermakna tapi rumit dalam situasi tak keruan. Wabah mengubah kebiasaan, pakem, kelumrahan, dan keinginan. Peristiwa menanggungkan dilema adalah pesta pernikahan. Seruan-seruan untuk masalah sekolah, bekerja, dan ibadah di rumah sudah disampaikan oleh pelbagai pihak, bermaksud dipatuhi demi kebaikan dan keselamatan. Urusan hajatan pernikahan agak “lolos” dari seruan-seruan memiliki argumentasi kewarasan dan kematian.
Wabah mengubah kebiasaan, pakem, kelumrahan, dan keinginan. Peristiwa menanggungkan dilema adalah pesta pernikahan.
Di pelbagai kota di Jawa Tengah, hajatan pernikahan masih saja diselenggarakan di rumah, gedung, atau hotel. Pengantin dan pembuat hajatan fasih mengucap dalih-dalih menuntut dimaklumi. Mereka memastikan acara tetap berlangsung, enggan melakukan penundaan atau penggantian “jenis” acara. Pernikahan itu kerepotan melibatkan puluhan, ratusan, atau ribuan orang. Peristiwa tak cuma sehari. Orang-orang berkumpul dan berkerumun dalam tata cara pernikahan. Nalar-imajinasi pembuat hajatan pernikahan mudah menampik anjuran pemerintah agar kita berada di rumah dan menghindari kerumunan orang.
Nalar-imajinasi pembuat hajatan pernikahan mudah menampik anjuran pemerintah agar kita berada di rumah dan menghindari kerumunan orang.
Kita belum sampai pada pemberian pendapat “salah” atau “benar”. Di Republika, 23 Maret 2020, berita mengejutkan berkaitan hajatan pernikahan. Pihak kepolisian mendatangi rumah beralamat di Purwokerto sedang mengadakan hajatan pernikahan, 22 Maret 2020. Ratusan orang sudah berkumpul ingin mencipta bahagia demi pernikahan. Acara dalam suasana tak keruan. Acara seperti tak memaklumi wabah. Polisi meminta acara itu dibubarkan. Argumentasi mengacu ke penciptaan keselamatan. Perintah jangan berkerumun gamblang “terlanggar” dalam pesta pernikahan. Pembuat hajatan mengundang para tamu di sekitar rumah dan kedatangan tamu dari pihak besan. Polisi mendapat laporan tamu dari Wonogiri menggunakan empat bus. Pernikahan itu baik tapi membuat acara mengumpulkan ratusan atau ribuan orang bakal memicu masalah “darurat”.
Wonogiri dekat Solo sedang mengalami kondisi “menakutkan” akibat wabah. Berita di Republika mendapatkan imbuhan dalam pemberitaan di Solopos, 23 Maret 2020. Kita membaca tiga berita mengenai pernikahan. Jumlah itu memastikan seruan-seruan pemerintah sulit dimengerti orang-orang terlalu menginginkan pesta atau hajatan pernikahan. Acara pernikahan di Sepat, Masaran, Sragen, 22 Maret 2020, dihadiri 500-an orang. Kerepotan bertambah dengan pengecekan suhu tubuh para tamu. Hajatan tetap berlangsung. Kita membaca berita harap sabar dan tenang. Apa itu kesalahan fatal?
Kerepotan bertambah dengan pengecekan suhu tubuh para tamu. Hajatan tetap berlangsung. Kita membaca berita harap sabar dan tenang. Apa itu kesalahan fatal?
Kita mengutip penjelasan Kepala Desa Sepat, Mulyono: “Namanya orang mantu itu sudah direncanakan dengan matang selama beberapa bulan. Hajatan tidak mungkin ditunda karena kaitannya dengan banyak hal seperti sudah mendaftar ke KUA, ulem sudah diedarkan, sudah belanja kebutuhan dapur dan semua perlengkapan hajatan.” Kita sulit memahami penjelasan “tidak mungkin ditunda.” Hajatan pernikahan tetap saja diselenggarakan dengan menambahi kesibukan pengecekan suhu tubuh dan mewajibkan para tamu cuci tangan. Kita mengandaikan niat dan keberanian para tamu mendatangi acara. Mereka mungkin orang-orang tangguh dan merasa malu jika tak datang ke hajatan pernikahan. Konon, konsekuensi berkaitan hajatan pernikahan di Jawa itu terlalu berat.
Hajatan pernikahan juga dilangsungkan di Karang, Karangpandan, Karanganyar, 21 Maret 2020. Kepala desa mengatakan acara itu “tidak bisa ditunda”. Pelaksanaan acara dipantau petugas puskesmas. Para tamu tak perlu bersalaman dengan pembuat hajatan pernikahan. Kepala desa dan warga malah mengumumkan bakal ada sekian hajatan pernikahan digelar sampai April. Para tamu di hajatan pernikahan antara 700-1.000 orang. Peristiwa di desa mirip dengan pesta pernikahan berlangsung di The Alana Hotel & Convention Solo di Colomadu, Karanganyar, 22 Maret 2020. Dalih seperti ditulis dalam berita: “pesta pernikahan tersebut tidak bisa dibatalkan lantaran persiapan selesai semua dan jadwal yang terlalu mepet.” Konon, para pengantin tak mau “hari bahagia mereka” ditunda atau dibatalkan. Pernikahan itu penting!
Kita masih di hadapan lembaran-lembaran Solopos. Hajatan pernikahan di Gedung Sunan Pandanaran, 22 Maret 2020. Pihak pembuat hajatan mengaku mengundang 1.400 tamu. Situasi tak menguntungkan tapi tercatat 60% tamu datang dengan memenuhi aturan-aturan berkaitan pencegahan terkena wabah. Sekian hajatan pernikahan masih bakal berlangsung di situ. Para pemesan atau pembuat hajatan belum mengajukan pembatalan atau penundaan. Dalih mereka sama: “tidak mungkin menunda”. Kita mulai mengerti bahwa wabah “mustahil” menunda atau membatalkan lakon teranggap terpenting selama hidup: pernikahan. Kita perlahan mencatat sejarah pernikahan pantang kalah oleh wabah. Konklusi agak sembarangan tapi mengesankan kebingungan kita mengartikan pernikahan pada abad XXI.
Kita terlambat membuat kaidah-kaidah darurat dalam hajatan pernikahan. Orang-orang memilih terus mengadakan hajatan pernikahan, tak mau takluk oleh wabah atau memberi tanggapan dilematis atas anjuran-anjuran pemerintah dan ulama. Pernikahan itu penting tapi pesta atau resepsi bisa dipikirkan ulang berdalih kebaikan bersama. Kita memang jarang berpikiran tata cara pernikahan dalam pelbagai situasi. Buku-buku adat pernikahan Jawa sering terbit tapi belum memiliki halaman-halaman memungkinkan ada perubahan-perubahan mendadak berkaitan bencana, perang, atau wabah.
Kita terlambat membuat kaidah-kaidah darurat dalam hajatan pernikahan. Orang-orang memilih terus mengadakan hajatan pernikahan, tak mau takluk oleh wabah atau memberi tanggapan dilematis atas anjuran-anjuran pemerintah dan ulama.
Kita pernah memiliki sejarah unik bertema pernikahan. Sejarah itu terbaca dalam buku berjudul Pranatan Burgerlijke Stand Toewin Pranatan Nikahan diterbitkan Colportage-Boekhandel, Solo, 1934. Aturan atau tata cara pernikahan dipengaruhi kebijakan pemerintah kolonial mengacu situasi di tanah jajahan. Peraturan dikeluarkan pada 1933 itu mengatur sekian hal penting atau “mendesak”, buka mencakup semua kaidah pernikahan. Keterangan resmi: “Pranatan bab koekoeme wong laki-rabi toemrap wong boemi kang agama Kristen ing tanah Djawa lan Madoera, ing Minahasa lan ing Amboina, ing Saparoea lan ing Banda.”
Peraturan pernikahan berkaitan agama orang mau menikah. Peraturan diterbitkan menjadi buku dalam bahasa Jawa itu memang tak berkaitan dengan hajatan pernikahan di situasi wabah. Kita teringat saja dan mengerti bahwa ada kemungkinan mengadakan kaidah-kadiah dadakan baru demi menghindari keburukan atau risiko besar dalam hajatan pernikahan. Seruan-seruan agar tak membuat kerumunan dimaksudkan menghindari penularan melalui sentuhan raga. Wabah tak memungkinkan orang-orang mengaku ingin bahagia tapi bisa berdampak ke petaka. Kita malah mendapat penjelasan dari dua kepala desa menggunakan kalimat tak mau dibantah atau diralat. Pemerintah dan aparat kepolisian mungkin masih ragu atau bingung memikirkan makna hajatan pernikahan di hari-hari mencekam gara-gara wabah. Kita membaca berita-berita itu merasa di situasi “kemustahilan” tapi terjadi di pelbagai desa dan kota di Jawa. Begitu.
__________
Bandung Mawardi,
pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,
Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku
Pengisah dan Pengasih (2019)
FB: Kabut
Comments