top of page
Cari
Bandung Mawardi

"Pengunjung" Kamus

HARI-HARI menjelang peringatan Sumpah Pemuda, orang-orang mengingat dan berpikiran bahasa. Sumpah oleh kaum muda itu mementingkan bahasa. Pada masa berbeda, bahasa tetap penting sambil mendapat prihatin, kecewa, pujian, dan keraguan. Bahasa tak lagi disumpahkan. Bahasa tergunakan saja dengan beragam masalah tak wajib terjawab.


Di Suara Merdeka, 22 Oktober 2021, kita membaca berita mengenai bahasa dalam kamus. Bahasa diawetkan dan dimanjakan dalam kamus. Kita simak: “Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah (BBPJT) menerbitkan Kamus Budaya Jawa versi daring. Upaya itu merupakan salah satu bentuk sumbangsih institusi tersebut pada bahasa Jawa dan masyarakat Jawa Tengah.” Kamus tak menggunakan judul dengan diksi bahasa tapi mengaku merawat dan memajukan bahasa Jawa.


Kamus tanpa kertas. Orang-orang tak melihat ketebalan kamus. Rupa kamus tak seperti masa lalu saat orang-orang mencari kata dan makna. Kamus tersimpan di gawai. Cara melihat kamus dan “membuka” kamus telah berubah. Kita ingin mengerti (bahasa) Jawa dimanjakan gawai berkaidah gampang dan cepat. Tata cara membaca kamus tak lagi seperti seratusan tahun lalu.



Kamus dicap daring itu belum lengkap. Ikhtiar merawat kata-kata dilakukan BPPJT bersama pelbagai pihak. Kita menduga jumlah kata masuk dalam kamus diinginkan terus bertambah. Kemauan mengurusi bahasa Jawa dianggap bakal berfaedah dalam penambahan lema-lema dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Pembuatan kamus itu sulit. Orang tekun mengurusi kata dan makna menanggungkan nasib tak keruan. Berdoa dan berharap berkah Tuhan itu memberi kesungguhan dalam membuat kamus. Politik, keilmuan, dakwah, dan bisnis berpengaruh dalam pembuatan kamus: gagal atau berhasil. Pembuat kamus pun mengalami repot-repot memicu konflik, sakit, dan kematian. Kamus-kamus dihasilkan pada masa lalu berwujud cetak. Kamus itu buku-buku sering tebal dan besar.


Kehadiran kamus berselera daring sulit memicu penasaran pembaca untuk mengerti kamus-kamus edisi cetak diselenggarakan sejak lama di Nusantara. Sejarah perkamusan bahasa Jawa memiliki terang-gelap. Kita berjarak jauh. Warisan kamus-kamus dan biografi para pembuat kamus membuat kita tebar pujian dan berair mata. Keinginan mengetahui sejarah perkamusan seperti membaca “roman” tapi tak lengkap.


Kita mundur ke abad XIX. Di Jawa, urusan bahasa, kamus, dan Alkitab itu dipikirkan oleh Gericke, sarjana asal Belanda. Ia memiliki misi besar dalam menguasai dan menggunakan bahasa Jawa dalam jalinan-jalinan rumit dan rawan konflik. Di buku berjudul Mengikuti Jejak Leijdecker (2006) susunan JL Swellengrebel, kita membaca: “Selama hampir 30 tahun di Surakarta, Gericke banyak dan secara teratur bergaul dengan orang-orang Jawa, yang agaknya lebih banyak dan intensif dengan kalangan atas daripada dengan kalangan bawah. Ia sering berkunjung ke keraton, bercakap-cakap dengan susuhunan dan para pangeran, dan merasa senang dengan penghargaan mereka atas kemahirannya berbahasa Jawa, khususnya bahasa Jawa tinggi. Dapat dibayangkan bahwa ia menikmati bentuk bahasa yang berbelit-belit dan khidmat itu, yang memang agak cocok dengan kepribadiannya. Hubungan-hubungan seperti itu tentu meningkatkan keahliannya berbahasa Jawa.” Tata cara itu mengesahkan ia membuat buku tata bahasa Jawa dan kamus. Ia pun mengerti misi suci berupa penerjemahan Alkitab dalam bahasa Jawa.


Dulu, usaha membuat kamus itu sulit. Dana besar diperlukan dan restu dari pelbagai pihak menentukan kelancaran. Pembuat kamus sibuk dengan buku-buku, melakukan pergaulan, menempuhi perjalanan jauh. Tahun demi tahun berlalu, pembuat kamus memberi pengabdian bahasa dengan segala derita, kebahagiaan, sengketa, dan keharuan. Bahasa Jawa terpilih dalam pembuatan kamus-kamus berkaitan politik, agama, pendidikan, bisnis, seni, dan lain-lain.


Pada masa berbeda, pembuatan kamus-kamus dilakukan oleh WJS Poerwadarminta. Kamus-kamus dibuat sejak masa 1920-an. Sekian kamus kecil terbit di Jogjakarta. Kamus-kamus menggerakan bahasa Jawa berbarengan dengan keinginan kaum muda dan kaum pergerakan politik-kebangsaan menginginkan pemuliaan bahasa Indonesia. Ketekunan membuat kamus bahasa Jawa mendapat kesempurnaan dengan penerbitan Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952). Poerwadarminta dikenali publik sebagai pembuat kamus bahasa Indonesia ketimbang bahasa Jawa. Kamus-kamus susunan Poerwadarminta terbukti digunakan dalam pembuatan Kamus Besar Bahasa Indonesia.


Bahasa Jawa dianggap berkembang dan macet ditilik dari politik, pendidikan, sastra, dan keilmuan. Sejak masa kekuasaan Soekarno, bahasa Jawa masuk dalam pidato-pidato politik dan berpengaruh dalam pembesaran gagasan-gagasan sosial-kultural. Pada masa Orde Baru, bahasa Jawa menjadi kekhasan bagi Soeharto dalam memberi perintah-perintah dan larangan-larangan. Di pendidikan dan sastra, bahasa Jawa belum terpastikan bernasib baik atau memiliki arus pertumbuhan menakjubkan. Pelbagai pihak malah prihatin dan sedih dengan nasib bahasa Jawa. Situasi tak menguntungkan tetap memberi kabar bahwa bahasa Jawa masih diajarkan dan orang-orang memerlukan kamus.


Pada 2015, terbit Kamus Indonesia-Jawa susunan Sutrisno Sastro Utomo. Kamus tebal dan berharga mahal. Penjelasan maksud pembuatan kamus: “Banyak dijumpai penutur bahasa Jawa yang mulai kesulitan menggunakan bahasa Jawa karena pengaruh bahasa yang paling dominan, bahasa Indonesia. Oleh sebab itu, saya memberanikan diri menyusun kamus ini, dengan maksud membantu mereka yang mencari padanan kata dalam bahasa Jawa. Penyusunannya ditekankan pada memberikan padanan kata dalam bahasa Jawa dengan keterangan singkat dalam bahasa Indonesia untuk memperjelas maksudnya.” Orang-orang Jawa mulai kerepotan dalam berbahasa Jawa gara-gara terbiasakan berbahasa Indonesia.


Kamus berwarna merah hati itu memberi petunjuk bagi orang ulang-alik berbahasa Indonesia dan Jawa. Kamus bisa dibuka setiap saat. Kamus dengan kertas untuk dipangku atau ditaruh di atas meja. Kamus masih berselera “lama” saat orang-orang memuja digital. Kamus itu mungkin tak laris. Penerbitan kamus-kamus di Indonesia pada abad XXI sulit mendapatkan pembeli dan pembaca. Kamus masih buku-cetak terhormat tapi ditinggalkan berdalih apa saja.


Tangan memegang ponsel pintar, orang bisa merasa “memiliki” kamus. BBPJT mengundang kita mengunjungi dan menggunakan kamus cap daring. Kita diminta menggerakan jari melalui sentuhan-sentuhan dan tekanan. Tampil di hadapan mata dua logo: institusi pemerintah dan universitas swasta. Di situ, ada “buku tamu”. Kita diminta mengisi data diri. Kita adalah “pengunjung”. Tata cara terbukti berbeda dengan tangan-tangan orang lawasan membuka halaman-halaman kamus-kamus sering tebal. Begitu.

 

Bandung Mawardi

pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,

Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020),

Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020)

FB: Kabut


313 tampilan

Comments


bottom of page