top of page
Cari
Majalah Basis

Penguburan ...

Bandung Mawardi


PADA situasi wabah, situasi tak keruan, orang-orang mungkin teringat kematian. Orang-orang saling memberi pesan untuk selamat, tabah, dan bahagia. Pelbagai hal bisa dikerjakan dalam menanggulangi murung, sedih, takut, bosan, dan ragu. Jutaan orang sedang menanggungkan “nasib tak untung” setelah wabah bermula dari Wuhan (Tiongkok) bersebaran ke ratusan negara. Indonesia pun terkena wabah. Setiap detik, kita bisa membaca laporan jumlah orang tertular atau mengidap, jumlah pasien sedang diobati, jumlah orang dalam pengawasan, jumlah orang sembuh, dan jumlah orang mati.


Miliaran orang di Bumi mulai berpikiran mati tapi dianjurkan selalu memuliakan hidup dan berikhtiar waras. Kita berdoa para pasien di pelbagai negara sembuh. Kita pun berdoa untuk orang-orang mati terkena wabah meski ada sekian masalah di Indonesia. Dulu, Subagio Satrawardoyo menggubah puisi berjudul “Dan Kematian Semakin Akrab.” Kita membaca (lagi) dalam situasi wabah belum rampung. Ia menulis:

Kematian hanya selaput

gagasan yang gampang diseberangi

Tak ada yang hilang dalam

perpisahan ...


Kematian masih mungkin dimaknai “kehilangan” tapi termiliki dengan kenangan. Wabah mengakibatkan ribuan orang di dunia mati. Mereka memberi kenangan pada orang-orang masih hidup, memberi pesan atas hidup pantas dijalani dengan kebersamaan menamatkan wabah. Kematian dan penguburan memberi pesan-pesan. Di Indonesia, pesan itu bermasalah gara-gara warga di pelbagai kampung dan desa membuat penolakan untuk penguburan korban wabah. Ketua Umum MUI Jawa Tengah meminta agar warga menghormati orang mati akibat wabah.


Penolakan penguburan di suatu tempat itu akibat kabar bohong. Jenazah sudah diurusi secara baik dan berhak dikuburkan secara terhormat. Warga jangan terkena fitnah bahwa jenazah di kuburan bakal menularkan wabah (Tribun Jateng, 2 April 2020). Ikhtiar menjelaskan ke warga juga dilakukan oleh Bupati Banyumas, Achmad Husein. Penolakan demi penolakan dilakukan warga. Penguburan jenazah menjadi masalah. Achmad Husein hadir di tempat pemakaman dan memegang sekop turut dalam penggalian kuburan. Perbuatan memberi pesan: “Saya turun langsung karena hanya ingin menunjukkan bahwa jenazah jika sudah meninggal itu tidak berbahaya.” Penjelasan penting ditambahkan oleh Ahmad Tohari: “Jujur saya sedih, orang Banyumas itu terkenal karena welas asih. Jangan lagi ternodai karena hal seperti itu.” Pada saat sakit, orang tertular wabah sudah cenderung mendapat perlakuan diskriminatif. Kematian pun masih memunculkan sikap-sikap tak manusiawi.


Ikhtiar menjelaskan ke warga juga dilakukan oleh Bupati Banyumas, Achmad Husein. Penolakan demi penolakan dilakukan warga. Penguburan jenazah menjadi masalah. Achmad Husein hadir di tempat pemakaman dan memegang sekop turut dalam penggalian kuburan.

Di Jawa, orang mati berhak mendapat perlakuan terhormat mengacu ke adat, agama, birokrasi, dan situasi mutakhir. Penolakan penguburan jenazah akibat wabah di pelbagai tempat di Jawa Tengah memberi tanda seru: mengingatkan kita tata cara dan penghormatan untuk jenazah. Kita ingin mengingat Soekarno dan penguburan pada masa 1930-an. Soekarno mengalami pembuangan gara-gara pergerakan politik nasionalisme. Ia disingkirkan dari Jawa, ditempatkan di Endeh-Flores. Di tanah pembuangan, Soekarno kehilangan ibu mertua (Amsi) akibat sakit, 12 Oktober 1935. Amsi dianggap “seorang wanita besar” meski tak bica baca-tulis.


Soekarno mengenang: “Dengan tanganku sendiri kubuat kuburannja. Aku sendiri membandung dinding kuburan itu dengan batutembok. Aku seorang diri mentjari batu-kali, memotong dan mengasahnja untuk batu-nisan. Dipekuburan kampung jang sederhana melalui djalanan sempit djauh ditengah hutan berkumpullah beberapa gelintir manusia untuk memberikan penghormatannja jang terachir. Ini adalah kemalanganku jang pertama. Dan, terasa berat” (C Adams, Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat Indonesia, 1966). Soekarno menerima hukuman kolonial tapi tetap tabah selama bersama Amsi dan Inggit Garnasih. Ia menerima cobaan demi cobaan tapi memastikan penguburan dan penghormatan bagi jenazah itu penting. Tata cara sederhana dilakukan dengan segala kekuatan masih dimiliki untuk menggali kubur, membuat nisan, dan berdoa.


Soekarno menerima hukuman kolonial tapi tetap tabah selama bersama Amsi dan Inggit Garnasih. Ia menerima cobaan demi cobaan tapi memastikan penguburan dan penghormatan bagi jenazah itu penting.

Penggalan biografi itu mungkin tak teringat publik. Dulu, perdebatan sengit cuma berkaitan sekian wasiat Soekarno tentang tempat dan cara penguburan. Perdebatan melibatkan sejarah, politik, keluarga, dan situasi pelik masa lalu. Penguburan dilakukan di Blitar. Tahun demi tahun, masalah wasiat-wasiat Soekarno kadang dimunculkan saat Indonesia berlakon Orde Baru. Kita ingin mengingat Soekarno sebagai penggali kubur dan memberi penghormatan pada jenazah. Kita mungkin terlalu mengingat Soekarno di mimbar atau tempat-tempat penting dalam politik. Ingatlah, Soekarno mengerti “ilmu kubur” dan berharapan itu terpelajari oleh jutaan orang Indonesia!. Ilmu dipelajari Soekarno bersumber adat Jawa dan Islam. Pada situasi kolonial dan hukuman pembuangan, ia tetap menganggap “ilmu kubur” berlaku dengan segala keterbatasan.


Kita ingin mengingat Soekarno sebagai penggali kubur dan memberi penghormatan pada jenazah. Kita mungkin terlalu mengingat Soekarno di mimbar atau tempat-tempat penting dalam politik. Ingatlah, Soekarno mengerti “ilmu kubur” dan berharapan itu terpelajari oleh jutaan orang Indonesia!

Kasus-kasus penolakan jenazah gara-gara wabah di Jawa Tengah memang segera ditanggulangi oleh birokrasi dan tokoh publik. Kita bandingkan dengan kebijakan di Depok, Jawa Barat. “Pemerintah Kota Depok mengalokasikan tiga tempat pemakaman umum untuk pemakaman jenazah positif Covid-19,” tulis di Kompas, 2 April 2020. Jenazah berhak berada di tempat pemakanan umum, bukan lokasi diadakan mendadak berdalih penolakan warga atau peredaran berita bohong. Kita mengartikan TPU atau tempat pemakaman umum memang untuk warga, tak boleh ada diskriminasi. TPU berbeda dari tempat pemakaman dikelola partikelir atau tempat istimewa bagi pahlawan, raja, kiai, dan tokoh bangsa.


TPU menjadi “sindiran” atas pemberlakukan hierarki kuburan pernah berlaku di Jawa masa lalu. Kuntowijoyo dalam buku berjudul Raja, Priyayi, dan Kawula (2004) menjelaskan: “Bahkan kuburan pun punya hierarki bahasa. Ada berbagai macam kata untuk kuburan orang tidak boleh salah pakai. Untuk kuburan harus dibedakan penggunaan istilah ini: pasareyan, hastono, mukaman, jaratan, kramatan, dan kuburan.” Penjelasan tempat dan kata itu terlacak Kuntowijoyo di surat kabar Dharmo Kondho edisi 28 Januari 1907. Pada masa berbeda, kita mulai dikenalkan dengan sebutan-sebutan berkaitan kuburan mengacu kebijakan pemerintah, keputusan adat, atau bisnis kuburan di kota. Pada abad XXI, kita lazim mendapat berita bahwa artis, pengusaha, atau orang tenar dimakamkan di tempat bernama bahasa asing. Konon, tempat itu kuburan mewah dan memiliki tarif mahal.


Kini, kita dalam situasi wabah. Keselamatan bagi orang-orang hidup dan penghormatan bagi jenazah akibat wabah pantas terpahamkan bereferensi kemanusiaan. Agama dan adat menguatkan keinsafan bahwa kematian manusia pantas mendapat penghormatan, doa, dan terkenang. Kita tak ingin ada lanjutan peristiwa penolakan warga untuk penguburan jenazah-jenazah sudah diurusi secara profesional. Kita mendingan mendoakan dan berharapan para pasien di pelbagai rumah sakit lekas sembuh. Kita pun berharapan selamat dan berbagi pemuliaan hidup ke sesama tanpa diskriminasi. Begitu.


_________


Bandung Mawardi,

pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,

Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku

Pengisah dan Pengasih (2019)

FB: Kabut


123 tampilan

Comments


bottom of page