Pengakuan Petaka
TAHUN berganti angka dimulai dengan dua halaman mengenai mode. Di Republika, 2 Januari 2020, dua tulisan panjang memuat data-data mengenai capaian dan petaka mode. Kita membaca dengan campuran pengharapan dan sesalan mustahil ditebus seribu bualan puitis. Mode menjadi tema terpikiran untuk menebak lakon 2020 masih berpetaka atau mulai pertobatan atas segala benda dikenakan di raga ratusan juta orang di Indonesia.
Petikan mengabarkan malapetaka: “Industri mode adalah industri ke-3 yang paling berpolusi di dunia. Sejumlah besar limbah terjadi mulai sejak tahap produksi, saat pakaian dibuat, hingga tahap konsumsi, saat kita membuang atau mencuci pakaian secara berlebihan.” Duh, kita ada di lakon terburuk polusi mode! Kita mencipta brengsek berdalih pemenuhan kebutuhan sandang dan raihan kenecisan di mata orang lain. Berpakaian seperti tindakan berdosa, sejak lahir sampai mati.
Kita mencipta brengsek berdalih pemenuhan kebutuhan sandang dan raihan kenecisan di mata orang lain.
Konon, pengurangan dosa bisa dilakukan dengan memilih mode “ramah lingkungan” atau “hijau”. Para pengamat mode berkhotbah agar kita mengurangi nafsu belanja pakaian dan memilih mengenakan pakaian sudah dimiliki secara berulang: tak perlu bosan atau malu. Khotbah tanpa mengutip firman-firman Tuhan. Seruan itu melihat situasi alam dan ketololan manusia selama ratusan tahun. Kita mulai memasuki zaman berlimbah mode, berbeda dari zaman memuja mode sering berpusat di Eropa. Di Indonesia, limbah mode belum urusan tokoh-tokoh penting Istana Kepresidenan atau Gedung Parlemen. Tema itu belum laris di tempat-tempat ibadah atau dimengerti oleh para mahasiswa rajin membuat kaus dan jaket di segala acara. Limbah mode pun sulit terceritakan di novel atau cerita pendek. Para penggubah puisi masih girang mengisahkan busana dengan kelucuan dan keluguan, belum mengarah ke limbah mode.
Di Indonesia, limbah mode belum urusan tokoh-tokoh penting Istana Kepresidenan atau Gedung Parlemen. Tema itu belum laris di tempat-tempat ibadah atau dimengerti oleh para mahasiswa rajin membuat kaus dan jaket di segala acara.
Indonesia sering telat menerima dan mengurusi tema-tema malapetaka di Bumi. Kita saja belum rampung menulis sejarah busana berkaitan nasionalisme, religiositas, bisnis, adat, pendidikan, militer, dan lain-lain. Buku berjudul Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan (2005) dengan editor Henk Schulte Nordholt wajib terbaca lagi untuk melacak mode di Indonesia. Lacakan belum memuat isu limbah mode. Kees van Dijk mengingatkan sejarah: “Karena dominasi Belanda dalam waktu lama dan pengaruh penduduk mayoritas muslim maka fungsi pakaian di Indonesia lebih dari sekadar menandai perbedaan dan kesamaan di dalam masyarakat pribumi. Pakaian juga memberikan media untuk mengekspresikan sikap tertentu terhadap pengaruh-pengaruh kebudayaan dan politik asing.” Sejak mula, kita mengingat pakaian dengan segala hal asing, sebelum menjadi wajar dan disifati “Indonesia”.
Asing bercap Barat dan Timur. Pada suatu masa konflik dan harmoni dipengaruhi asing-asing berupa pakaian, tutup kepala, alas kaki, perhiasan, dan lain-lain. Asing masih berlaku sampai sekarang dengan lagak memberi posisi “tinggi” atau “mewah”. Konflik itu tercatat di babad memuat tanggapan: Amangkurat II mengenakan pakaian Eropa berarti mengorbankan identitas Jawa. Pada awal abad XX, kaum muda memberi arti mengenakan pakaian Eropa itu “emansipatif” dan siasat melawan perintah-perintah Belanda. Sejarah itu jauh. Limbah mode belum ada di situ.
Kita mengingat sejarah puluhan tahun lalu melalui majalah Femina rajin mengadakan lomba merancang busana dan Tempo dengan berita atau laporan mode. Sejak masa 1970-an, Femina memberi pengaruh besar di gagasan dan selebrasi mode di Indonesia. Pengaruh-pengaruh dari asing berdatangan dan membesar tapi kekhasan Indonesia pun mulai dimunculkan. Orang-orang mengingat Femina itu busana. Sejarah busana ada di situ: mengenalkan para perancang mode mulai memiliki pengakuan bertaraf nasional dan internasional.
Tempo edisi 24 Desember 2000 memuat pariwara mengenai fashion. Tulisan-tulisan panjang menjelaskan “dari dunia penutup dan penghias tubuh”. Kita menemukan kutipan: “Dunia fashion memang dunia citra dan gaya, yang selalu berubah sepanjang waktu. Tapi tidak semua jenis pakaian mengalami perubahan sepenuhnya. Setelan jas lengkap dengan dasi, misalnya, ternyata hanya mengalami perubahan kecil. Jas, misalnya, hanya berubah di kerah dan kancingnya. Celana, perubahan itu hanya pada lipatan bagian depan. Yang jelas berubah adalah aksesori: dasi dan ikat pinggang.” Cilaka! Di Indonesia, pengguna jas semakin bertambah demi kehormatan di politik, pernikahan, bisnis, pesta, dan lain-lain. Pakaian sudah tak asing. Sekian orang tetap nekat menuduh jas itu keparat dan fatal. Orang Indonesia tampak wagu jika menetapkan jas adalah pakaian resmi di acara-acara besar. Laporan di Tempo belum mengumumkan limbah mode. Kita cuma mengira ada “limbah” pikiran tolol dan imajinasi gampang jatuh di bebalisme.
Cilaka! Di Indonesia, pengguna jas semakin bertambah demi kehormatan di politik, pernikahan, bisnis, pesta, dan lain-lain. Pakaian sudah tak asing. Sekian orang tetap nekat menuduh jas itu keparat dan fatal. Orang Indonesia tampak wagu jika menetapkan jas adalah pakaian resmi di acara-acara besar.
Kita mencari lagi episode kemunculan isu limbah mode. Pilihan penting adalah membuka Kamus Mode Indonesia (2011) susunan Irma Hadisurya, Ninuk Mardiana Pambudy, dan Herman Jusuf. Pia Alisjahbana selaku penggerak mode Indonesia memberi pujian: “… Kamus Mode Indonesia sebagai sumbangsih berharga bagi mode Indonesia. Dari entri di dalamnya kita bisa melihat bagaimana kompleksnya dunia mode. Bukan hanya seputar gaya busana semata, tetapi mencakup banyak aspek. Dari sisi serat dan bahan, teknik jahit-menjahit, desain, bentuk dan konstruksi pakaian hingga semaraknya pelengkap busana.” Kamus terlalu penting bagi perkembangan mode Indonesia.
Pada 2019, Kamus Mode Indonesia cetak ulang dengan perubahan sampul dan sedikit isi. Di halaman pengantar “baru”, kita membaca: “Mode selalu berubah dan akan terus berubah. Bukan cuma tren yang datang dan pergi setiap saat, bisnis dan industri mode pun ikut bergulir sesuai zaman. Dalam dekade terakhir, kemajuan teknologi membawa dampak luar biasa dalam gaya hidup, perilaku serta pola pikir masyarakat baik global maupun Indonesia.” Ah, kita belum jua menemukan penulisan “limbah mode”. Kita masih di capaian dan ketakjuban perkembangan mode. Petaka diandaikan tiada. Kita dicukupkan dengan pengertian mode: “Gaya/desain busana atau pelengkap busana yang senantiasa berubah-ubah dari musim ke musim” atau “Gaya hidup, cara berbusana, cara berperilaku dan sebagainya yang berlaku dan populer di suatu periode tertentu.” Mode itu terjemahan dari istilah dalam bahasa Inggris: fashion.
Pada awal 2020, kita sudah bersantap dua halaman memberi ketakutan gara-gara limbah mode. Pembaca boleh berpikiran ingin membuat kamus baru atau mengusulkan ada entri limbah mode di kamus-kamus mau cetak ulang. Kemauan membuat percakapan atau tulisan bertema limbah mode mungkin pengakuan ada masalah atas segala benda di raga. Kita boleh membuka kitab suci, mendengar dongengan orang sepuh, atau melihat foto-foto tempo doeloe. Kita mungkin perlahan mau mengakui limbah mode itu masalah bakal mencipta neraka di dunia sebelum kiamat. Begitu.
Bandung Mawardi,
pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,
Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku
Pengisah dan Pengasih (2019)
FB: Kabut
Comments