Penanam dan Pemanen
BOCAH dan sawah, cerita masa lalu. anggapan itu bisa salah bila kita masih sregep ke desa-desa. Bocah-bocah masih ke sawah dengan sekian peristiwa dan kemauan. Sawah tetap tempat terindah bagi mereka meski semakin jarang diceritakan dalam buku pelajaran atau sempat termunculkan dalam acara televisi meski menuruti kemauan sutradara. Di sawah, bocah-bocah seperti memiliki dunia. Mereka berlarian, berteriak, mencari tanaman, memburu binatang, bersenandung, dan lain-lain. Sawah tentu tetap bercerita padi tanpa mewajibkan masih ada kerbau dan gembala.
Padi di sawah itu lumrah. Pada suatu masa, padi berada di pot-pot atau di tempat tak dinamakan sawah. Pengertian itu diumumkan bertokoh bocah melalui foto jepretan Asprilla Dwi Adha (Antara) dimuat di Tribun Jateng, 23 November 2020. Bocah dihadirkan dengan adegan menanam padi di Padepokan Restu Bumi, Ciracas, Jawa Timur, 21 November 2020. Kita menduga adegan belum menjadi kebiasaan atau bersifat kewajaran gara-gara ada keterangan terbaca: Dinas Lingkungan dan Kehutanan Jakarta Timur mengadakan acara Hari Pohon Sedunia. Nah, bocah menanam padi bukan di sawah dijadikan bukti dinas itu melakukan “program edukasi urban farming”. Kita menjadi senewen, belum ikhlas memberi pujian dan menerima pemaknaan bocah, padi, dan sawah. Foto itu apik, belum tentu menuntun pembaca di jalan pemaknaan mendalam bertumpu pertanian.
Di foto, kita melihat padi ditanam rapi-berjajar dengan jarak sudah ditentukan. Pemandangan memberi kesan-kesan kita masih makan nasi, bermula dari padi-padi di tanam di sawah atau tempat bukan sawah. Padi-padi bertumbuh mengabarkan jutaan orang masih mungkin makan nasi, setiap hari. Pemandangan bocah menanam padi itu “menggembirakan” tapi tak memastikan pengajaran padi terselenggara secara baik bagi bocah-bocah di keluarga, sekolah, atau komunitas. “Ajaran” belum bermakna tetap masalah kebiasaan makan nasi setiap hari. Sekian hal mengenai padi dan sawah masih sering tertinggal jauh dalam nostalgia.
Padi-padi bertumbuh mengabarkan jutaan orang masih mungkin makan nasi, setiap hari. Pemandangan bocah menanam padi itu “menggembirakan” tapi tak memastikan pengajaran padi terselenggara secara baik bagi bocah-bocah di keluarga, sekolah, atau komunitas.
Kita mampir ke sejarah. Pada masa pendudukan Jepang, perubahan cara menanam padi berlangsung di Jawa. Perubahan demi “wajib serah padi.” Aiko Kurasawa dalam buku berjudul Mobilisasi dan Kontrol: Studi Tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945 (1993) mencatat kebijakan-kebijakan pemerintah pendudukan Jepang bertema padi. Jepang jengkel mengetahui produksi beras di Jawa (terlalu) rendah. Kebijakan mencengangkan adalah perubahan teknik penanaman padi, diberlakukan dengan memaksa. Kita simak: “… teknik penanaman yang diperkenalkan Jepang ialah memindahkan bibit tanaman padi pada garis-garis lurus dengan jarak tanam tertentu di antara bibi tersebut (larikan). Di Jawa sebelum perang, petani menanam padi secara acak (tidak menuruti garis lurus) di sawah, dan Jepang menemukan bahwa hal itu merupakan salah satu sebab rendahnya tingkat produktivitas padi.” Jarak ditentukan: 20 cm. Sejarah itu mengubah peristiwa di sawah, terselenggara sampai sekarang. Di sawah, kita melihat penanaman padi itu rapi dan berjarak. Foto bocah menanam padi di Tribun Jateng juga menampilkan rapi dan berjarak meski orang-orang belum tentu mengingat kebijakan pada masa pendudukan Jepang.
Di sawah, kita melihat penanaman padi itu rapi dan berjarak. Foto bocah menanam padi di Tribun Jateng juga menampilkan rapi dan berjarak meski orang-orang belum tentu mengingat kebijakan pada masa pendudukan Jepang.
Para peminat atau kolektor majalah-majalah lawas bisa membuka majalah Pandji Poestaka edisi Februari 1944. Di kulit muka, disajikan foto Gusti Nurul dari Mangkunegaran tampak berada di sawah. Ia bersama sekian perempuan dengan beragam busana. Gusti Nurul tampak anggun. Foto itu mengisahkan agar orang-orang kagum dan mau menanam padi demi memenuhi seribu perintah Jepang. Foto menjadi propaganda politik-pertanian. Foto para perempuan menanam padi menambahi usaha Jepang mencapai kemenangan dalam pangan. Di situ, kita melihat padi ditanam berjarak dan rapi.
Hari demi hari berganti, bocah menanam padi kelak mungkin menjadi pemanen. Kita tak mengetahui saat panen bakal dibuatkan acara oleh pemerintah atau berlangsung biasa-biasa saja tanpa pemotretan dan pemberitaan. Bocah memanen padi memiliki kegembiraan tapi wajib mengetahui teknik. Sejarah pun mencatat ada perubahan cara memanen: dari anai-anai berganti sabit, dari sabit berganti dengan traktor-pemanen.
Kita tak ingin lagi membuka buku-buku sejarah: tebal dan menggemaskan. Ingatan memanen padi mendingan bersumber lagu. Di buku berjudul Pustaka Nada 3 (2000) berisi lagu-lagu anak gubahan AT Mahmud, kita menemukan lagu berjudul “Musim Panen”. Lagu sederhana mungkin terlupa. Kita mengutip lirik lagu:
padi nan bernas buai di tangkai
kuning mengemas langsing semampai
ayu terayun-ayun di sentuhan bayu
desir mengalun sepantun lagu
lagu petani riang bersuka
jerih semusim selama ini berhasil sudah berlipat ganda
gembira tani handai tolan gembira rakyat padi menjadi
seluruh negeri suka cita berpesta nyanyi dan tari.
Lagu itu kegembiraan. Jejak-jejak derita petani pada masa kolonial dan masa pendudukan Jepang tak selalu terbaca. Petani berhak bahagia. Adegan menanam dan memanen padi menandai “ibadah” memenuhi kebutuhan pangan jutaan orang.
Pada masa Orde Baru, potret pembangunan nasional dalam bidang pertanian sering bertokoh Soeharto dan pejabat sedang panen padi. Kebiasaan itu masih berlangsung sampai sekarang. Menteri, gubernur, bupati, dan sekian pejabat masih sering dipotret saat panen padi menggunakan sabit atau traktor pemanen. Kita mengakui bosan di atas bosa melihat mereka. Foto-foto itu semakin membikin sejarah menjadi amburadul oleh pamrih-pamrih picik birokrasi. Ingat, para petani atau buruh tani menanam padi. Nah, peristiwa memanen padi malah menghadirkan tokoh-tokoh bukan penanam padi bersama lumpur.
Berita demi berita membuat kita paham telah terjadi perubahan besar dalam lakon pertanian di Indonesia. Adegan tangan menanam padi dan tubuh membungkuk bergerak mundur perlahan tergantikan alat menanam padi. Konon, kerja alat itu rapi, gampang, dan murah. Keluhan bisa terdengar dan terbaca adalah kesulitan mencari buruh tani dalam kerja-kerja di sawah. Mesin atau alat menggantikan berkaitan kesulitan mencari buruh dan perhitungan anggaran. Kita pasti menganggap foto orang menanam padi dengan alat baru itu terasa wagu, tak lagi puitis.
Kangen pemandangan sawah dan adegan menanam padi masih mungkin dipenuhi dengan melihat lukisan-lukisan dan album foto tempo doeloe. Pada masa kolonial, menanam dan memanen padi itu pemandangan memikat berlatar misi-misi kolonial dan pariwisata. Kesenian turut dalam merekam sekian peristiwa di sawah belum tentu menokohkan petani. Lukisan dan foto mungkin puitis tapi nasib para petani tak terjamin manis. Mereka justru ada dalam tatapan tak peka agraris atau mengacu adab manusiawi. Pada abad XXI, foto bocah menanam padi diinginkan memikat tapi kita kadang sudah salah mengerti dengan tema-tema pertanian dan kesibukan menghasilkan foto dimaksudkan menebar pesan. Begitu.
_____________
Bandung Mawardi
pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,
Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020)
FB: Kabut
Comments