Pelajaran (Imajinasi) Matematika
Bandung Mawardi
ANDREA Hirata memberi persembahan novel baru di awal 2020. Novel diberi judul Guru Aini, bercerita matematika. Guru itu bernama Desi mengajar di pelosok. Sang guru berpikiran ingin mendapatkan murid pintar alias genius. Matematika masih ilmu terampuh dalam pendidikan-pengajaran di seantero Indonesia. Sang guru pasti mengetahui matematika itu pelajaran penting di SD, SMP, dan SMA. Murid pintar matematika teranggap memiliki jalan mulus menuju masa depan. Kepintaran mendapat pengakuan dan penghormatan di olimpiade matematika. Keinginan sang guru sulit terpenuhi. Guru Desi malah menanggungkan dilema gara-gara mendapat murid bernama Aini. Murid itu lemah dalam matematika. Kita menduga Guru Aini menjadi bacaan remaja dan para guru dalam merenungkan matematika, dari masa ke masa. Matematika berlatar pendidikan dan kehidupan keseharian.
Kabar penerbitan novel berjudul Guru Aini tak pernah disangka bakal disusul berita pedih di SMP beralamat di Jogjakarta. Para murid di acara susur sungai mendapat petaka. Hari demi hari, berita mengandung duka, marah, dan sesalan disampaikan di koran dan televisi. Di Solopos, 27 Februari 2020, kita sejenak mendapat berita mengenai ikhtiar memulihkan ratusan murid dari trauma. Permainan matematika “terbukti” mujarab mengajak murid-murid berpikir dan gembira. Matematika itu ilmu dan permainan. Ada keseruan dalam menggerakkan logika, tak lupa di sentuhan imajinasi saat cerita dan permainan mengandung matematika memberi reda atas ingatan-ingatan petaka. Matematika bisa mengurangi derita, berharaplah manjur ketimbang lagu pop mutakhir berpesan bahwa peluk meringankan pelik.
Permainan matematika “terbukti” mujarab mengajak murid-murid berpikir dan gembira. Matematika itu ilmu dan permainan. Ada keseruan dalam menggerakkan logika, tak lupa di sentuhan imajinasi saat cerita dan permainan mengandung matematika memberi reda atas ingatan-ingatan petaka.
Puluhan tahun sebelum novel berjudul Guru Aini terbit, kita bertemu puisi berjudul “Matematika” gubahan Sitok Srengenge. Puisi termuat dalam buku berjudul Gembala Waktu dan Madah Pereda Rindu (2013). Puisi digubah Sitok Srengenge pada 1984, mengajak kita mengimajinasikan matematika di kalangan remaja masa Orde Baru dengan kurikulum terlalu muluk. Puisi cenderung “bermain kata” ketimbang jadi bahan pengajaran matematika di kelas. Kita membaca: Bermain matematika/ menerka tanda-tanda/ di atas jajaran genjang/ mengambang di tengah ruang. Pada bait-bait lanjutan matematika “diperalat” dalam membahasakan hasrat-asmara. Kita maklumi puisi digubah orang sedang menanggungkan kasmaran. Kita simak lagi: Getar jantung gambar diagram/ turunan dan tanjakan curam/ irama gerak cepat dan lambat/ melesak ke pusat hasrat. Dulu, kita mengenang bahwa murid pintar matematika sering jadi idaman di SMP dan SMA. Si pintar matematika bisa saja cewek atau cowok. Ia pasti dikagumi oleh teman-teman dan guru. Sekian murid malah berani mengidamkan si pintar matematika sebagai pacar. Pintar matematika memudahkan penciptaan lakon asmara. Konklusi milik kaum remaja picisan masa lalu.
Di Indonesia, matematika masih tetap dianggap pelajaran sulit alias pelik. Murid-murid takut matematika. Sekian murid mengaku senang matematika dengan dalih memiliki ribuan tantangan. Girang matematika biasa berlanjut ke membaca buku-buku tebal, mengikuti bimbingan belajar, atau berani turut dalam lomba cap olimpiade. Di situ, murid mulai memiliki pengalaman menakjubkan saat menekuni matematika. Di Republika, 28 Februari 2020, kita simak: “Klinik Pendidikan MIPA menjadi penyelenggara kompetisi matematika internasional bernama International Mathematics Championship (IMC) 2020.” Kompetisi itu diperkirakan diikuti seribu peserta dari 34 negara. Pesta matematika!
Di Indonesia, matematika masih tetap dianggap pelajaran sulit alias pelik. Murid-murid takut matematika. Sekian murid mengaku senang matematika dengan dalih memiliki ribuan tantangan.
Selama puluhan tahun, matematika masih saja buku pelajaran berukuran besar berpenampilan menjemukan. Pengajaran matematika di SD, SMP, SMA jarang menempuhi jalan cerita atau selebrasi imajinasi. Kita pun maklum sulit mendapat puisi, cerita pendek, atau novel dalam arus kesusastraan Indonesia abad XX dan XXI. Penekun sastra dan matematika selalu menengok ke negara-negara jauh untuk memenuhi hasrat berimajinasi matematika atau bertualang di jagat matematika. Pelajaran matematika di sekolah dan olimpiade matematika di Indonesia tampak belum memiliki gereget menjadi cerita atau memperkenankan ada sastra sebagai “juru pengisah”.
“Mitos” murid itu pintar asal menguasai matematika berlaku sampai sekarang. Murid bodoh matematika gampang mendapat kutukan atau penghinaan. Murid pun semakin takut matematika, bisa saja menambahi benci pada matematika. Kita diingatkan dilema mengajarkan matematika melalui novel berjudul Setan Angka: Sebuah Petualangan Matematika (2007) gubahan Hans Magnus Enzensberger. Novel gubahan pengarang Jerman, terbaca oleh kita tapi menguak “kemiskinan” berimajinasi matematika di kalangan bocah-bocah Indonesia.
“Mitos” murid itu pintar asal menguasai matematika berlaku sampai sekarang. Murid bodoh matematika gampang mendapat kutukan atau penghinaan. Murid pun semakin takut matematika, bisa saja menambahi benci pada matematika.
Bocah bernama Robert malas dan sebal matematika. Di sekolah, ia sering uring-uringan dalam pelajaran matematika. Ia belum menemukan pikat atau merasa ada di kubangan takjub gara-gara matematika. Pengalaman dan pikiran tak keruan atas matematika berdampak ke mimpi-mimpi di malam hari. Robert mengaku diri “dungu” tapi berhak berbahagia di sekolah dan rumah. Ia ingin bahagia tanpa diganggu atau ditakuti oleh matematika. Pada suatu malam, ia justru bermimpi matematika. Di mimpi, Robert ditemui dan digoda Setan Angka. Percakapan sengit terjadi antara Robert dan Setan Angka. Robert mengatakan: “Kamu ingin tahu sesuatu? Sebagian besar ahli matematika sejati tak pandai berhitung. Lagi pula, mereka tidak punya waktu mengurusi soal itu. Itulah gunanya kalkulator saku".
Novel menokohkan Setan Angka sebagai pemberi “gangguan” dan memberi keinsyafan ke Robert agar menerima matematika tanpa permusuhan dan dendam. Perkatan Setan Angka kadang bijak: “Yang membuat angka begitu sukar justru karena ia benar-benar sederhana. Dan, kamu tidak perlu kalkulator untuk membuktikannya. Yang kamu perlukan cuma satu hal: satu. Dengan satu – tentu angka yang kumaksud – kamu bisa melakukan hampir apa saja". Mula-mula kedatangan mimpi-mimpi itu menjengkelkan tapi Robert perlahan “tersesat” di permainan Setan Angka. Bocah terjerat di misteri dan ketegangan matematika setiap malam.
Mula-mula kedatangan mimpi-mimpi itu menjengkelkan tapi Robert perlahan “tersesat” di permainan Setan Angka. Bocah terjerat di misteri dan ketegangan matematika setiap malam.
Novel itu bacaan meski memiliki menu angka, rumus, dan gambar. Ingat, novel matematika itu digubah pengarang Jerman, belum tentu bisa ditiru pengarang-pengarang Indonesia. Pada 2020, kita dibujuk menjadi pembaca novel berjudul Guru Aini gubahan Andrea Hirata agar mengerti biografi guru, biografi murid, dan pendidikan di Indonesia. Kita bisa menjadi penikmat novel tapi bakal semakin seru asal khatam dulu buku berjudul Matematika (1981) susunan David Bergamini. Pembaca diberi nasihat: “Anak-anak memiliki peluang yang jauh lebih baik untuk merasa akrab dengan bahasa-matematika bila dibandingkan dengan orang dewasa, sebab anak-anak sudah dapat mendalami kosakata lambang dan tata bahasanya sebelum mereka mulai khawatir tidak perlu tentang sebab musabab dan hubungan-hubungannya.” Kita boleh berpikiran bahwa kehadiran novel Guru Aini belum cukup untuk menjadikan matematika itu cerita bergelimang makna. Begitu.
______
Bandung Mawardi,
pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,
Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku
Pengisah dan Pengasih (2019)
FB: Kabut
Comentários