"Pedas" dan Pedas
Bandung Mawardi
BERITA “pedas” mengenai pedas menutup 2020. Semua gara-gara cabai dan duit. Di pasaran, harga cabai rawit merah sedang mahal. Sekian hal memungkinkan harga menjadi mahal, mencipta kerumitan bagi orang-orang selalu ingin makan berasa pedas. Makan pedas mengeluarkan duit puluhan ribu atau menunda sampai situasi pasar berubah? Ketagihan makan apa-apa harus pedas adalah dalih orang tetap membeli cabai merah. Harga mahal dianggap tak terlalu bermasalah. Orang itu mungkin sudah terbiasa dengan warta naik-turun harga cabai, dari tahun ke tahun.
Situasi “pedas” dan duit justru menggoda orang melakukan kejahatan. Di Temanggung, Jawa Tengah, orang itu mengecat cabai rawit hijau menjadi merah. Harga cabai rawit lebih mahal ketimbang hijau. Ia ingin berlimpahan untung. Pengecatan dilakukan dengan “mata duitan”. Cabai berwarna palsu telanjur beredar di pelbagai pasar. Para pedagang dan pembeli geger. Cabai rawit tampak berwarna merah tapi palsu. Cat itu merusak kesehatan bila telanjur dimakan. Polisi lekas bertindak. Pada akhir tahun, kita memiliki catatan “terpedas” tentang ulah tolol demi tumpukan uang. Kini, pengecat cabai sudah diurusi polisi, kelak mungkin menanggung hukuman penjara atau denda mencapai miliaran rupiah (Jawa Pos, 2 Januari 2021).
“Pedas” tak cepat berakhir. Di Jawa Pos, 7 Januari 2021, kita masih membaca berita pedas dan “pedas”. Pecandu cabai rawit merah sedih berkepanjangan: “Data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional menunjukkan bahwa harga rata-rata cabai rawit merah di pasar tradisional ibu kota Rp 96.650 per kilogram. Harga tersebut sekitar Rp 20 ribu lebih mahal dari catatan sepekan sebelumnya. Normalnya harga cabai rawit merah Rp 40 ribu-Rp 45 rbu per kilogram”. Cabai mahal tak mencipta “neraka dunia.” Orang-orang tetap saja membeli cabai memenuhi hasrat merasakan pedas ketimbang makan tanpa gairah. Cabai terlalu penting.
Berita itu ramai jadi perbincangan para ibu terbiasa berbelanja cabai ke warung atau pasar. Mereka pihak berkepentingan mengetahui lakon cabai di pergantian tahun. Orang-orang tak terbiasa berbelanja atau berperan sebagai tukang makan saja ikut meramaikan pengecatan cabai di media sosial. Mereka pamer pendapat, kemarahan, ejekan, dan nasihat. Orang mengikuti keramaian masalah cabai di media sosial mungkin tak bermisi belajar. Cabai terpahamkan sebagai dagangan atau sumber pedas dalam beragam makanan. Kita menganggap itu kelumrahan meski ada rangsang berbeda untuk belajar (lagi) masalah cabai. Kita ingin mengerti cabai, tak cuma cabai rawit merah.
Orang-orang tak terbiasa berbelanja atau berperan sebagai tukang makan saja ikut meramaikan pengecatan cabai di media sosial. Mereka pamer pendapat, kemarahan, ejekan, dan nasihat. Orang mengikuti keramaian masalah cabai di media sosial mungkin tak bermisi belajar.
Kita mendingan membuka halaman-halaman dalam buku berjudul Upaboga di Indonesia (2003) susunan Suryatini N Ganie. Kita membaca saat hari-hari berhujan. Suasana menggoda bagi orang memasak nasi goreng, membuat mi dadakan, atau makan gorengan. Cabai diimajinasikan dan diinginkan bagi orang-orang menganut selera pedas. Buku bisa menjadi bekal bagi kaum muda ingin mengenang 2020 dan mengawali 2021 dengan makan bareng di warung-warung mengandalkan menu pedas. Di pelbagai kota, ada puluhan warung makan sengaja mengutamakan sambal atau pedas. Berkunjung ke situ, orang makan dan kepedasan, belum tentu ada ajakan belajar cabai. Makan pedas wajib membawa duit untuk diserahkan di meja kasir atau pedagang. Peristiwa pedas itu selesai. Sekian orang mungkin menceritakan “keberanian” atau “kenekatan” makan pedas. Kebanggaan tersampaikan meski ada risiko-risiko sakit perut atau mencret.
Upaboga di Indonesia memuat keterangan: “Di Indonesia, daerah-daerah yang terkenal menggunakan banyak cabai adalah Sumatra Barat dan Sulawesi Utara. Cabai pun mempunyai peran dalam adat-istiadat setempat. Misalnya saja, di Jawa Tengah, cabai ditusukkan pada sapu lidi yang telah direnggangkan, lalu ditaruh di halaman sebagai pencegah turunnya hujan pada acara-acara tertentu. Tumpeng tradisional juga diberi cabai merah pada puncaknya sebagai lambang kesuburan”. Cabai memang berkaitan makanan. Cabai pun bertema tradisi.
Pada saat kita mengikut berita-berita mutakhir pengecatan cabai, lembaran koran-koran nasional memuat iklan sehalaman penuh dari perusahaan rokok terkenal di Indonesia. Foto berkaitan ucapan selamat tahun baru: empat lelaki mengenakan busana khas Jawa membawa gunungan hasil bumi. Di puncak, kita melihat padi. Gunungan molek dan menggiurkan: pisang, salak, jagung, terung, kacang panjang, nanas, apel, cabai, dan lain-lain. Di situ, ada cabai merah dan cabai hijau. Cabai memang terlalu penting dalam kehidupan orang-orang di Indonesia, terutama bagi lakon agraris.
Kita menengok penjelasan cabai rawit di buku susunan Ganie: “Merupakan tanaman perdu, tingginya dapat mencapai 1,5 meter. Berdaun tunggal, bunganya berbentuk bintang berwarna putih, buahnya beraneka ragam bentuk, warna, dan rasa. Ada yang lancip, lonjong, bulat, dan warnanya kuning, putih kehijau-hijauan, hijau tua, oranye, dan merah”. Konon, tanaman cabai rawit berasal dari Meksiko. Kita mengandaikan orang-orang di Amerika Latin tentu menggemari cabai. Mereka dalam selera pedas. Ganie melanjutkan: “Cabai rawit lebih sering digunakan sebagai campuran membuat sambal, bumbu masak, acar, asinan, dan digunakan untuk teman makan tahu, tempe goreng, lumpia, dan lain-lain.” Lumrahlah kebutuhan cabai memang tinggi meski harga sedang mahal. Orang-orang tetap ingin pedas. Hari demi hari, hidup mereka bercabai.
Kita keterlaluan mengartikan cabai cuma pedas. Cabai tentu bukan urusan dagangan di warung atau pasar saja. Orang-orang menggemari dan rajin makan dengan cabai memiliki dalih-dalih klise atau mengacu kesehatan. Kita simak saja faedah cabai melalui buku berjudul Sehat dengan Rempah dan Bumbu Dapur (2016) susunan Made Astawan. Sejak lama, orang-orang menganggap cabai ibarat “raja” dalam setiap masakan. Anggapan boleh terbantah. Kita cenderung mufakat saja: “Di tanah Sunda, sambal menjadi teman makan lalapan yang paling baik. Masakan Padang akan kehilangan pamornya tanpa kehadiran sambal hijaunya yang enak. Hidangan ayam taliwang akan terasa hambar tanpa kehadiran sambalnya yang pedas”. Orang-orang Indonesia suka makan pedas. Kita jangan gegabah menuduh mereka menanggung dampak suka omong “pedas” atau ketagihan mengumbar komentar-komentar “pedas” di media sosial.
Orang-orang Indonesia suka makan pedas. Kita jangan gegabah menuduh mereka menanggung dampak suka omong “pedas” atau ketagihan mengumbar komentar-komentar “pedas” di media sosial.
Kita mulai serius saat simak penjelasan: “Karena itu hobi menyantap sambal dapat memperkecil kemungkinan terkena penyumbatan pembuluh darah (aterosklerosis) sehingga mencegah munculnya serangan stroke dan jantung koroner, serta impotensi.” Kita mengerti dan maklum mengetahui orang-orang suka makan sambal atau mengonsumsi cabai. Mereka mungkin pantang absen meski harga sedang mahal. Konon, sehari tanpa cabai, hidup orang bisa berantakan. Kita pastikan saja makan sambal atau cabai dalam takaran cukup. Nekat makan berlebihan tentu sakit perut. Adegan paling sedih adalah bolak-balik ke toilet atau berlanjut mengunjungi dokter. Kita makin sadar bahwa nasib dan selera jutaan orang Indonesia dipengaruhi cabai. Begitu.
_____________
Bandung Mawardi
pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,
Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020)
FB: Kabut
Comments