Pasar yang Memudar
SELAIN menjadi penghidupan dan kegembiraan bagi banyak orang, pasar juga kerap menjadi yang disalahkan perihal kemacetan dan kekumuhan. Kadang, pasar juga tempatnya sumpah serapah dan perselisihan. Rebutan jatah parkirlah, rebutan trotoar untuk disewakanlah! Setidaknya, begitulah yang teringat menyusul setelah membaca novel Pasar dari Kuntowijoyo. Dulu, pasar-pasar tradisional diurus oleh mantri pasar. Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988) menerangkan mantri pasar sebagai kepala administrasi pasar. Pembaca menemukannya sebagai Pak Matri dalam novel Pasar. Ia yang mengurus karcis, kebersihan, kemacetan jalan, sampai “moral” pedagang pasar.
Anehnya, justru Pak Mantri yang membuat onar: “Sumber dari burung-burung itu–seperti sungai mempunyai mata air–ialah kantor pasar. Sebuah bangunan dari tembok yang warna aslinya putih, bercak-bercak tahi burung, dengan atap hitam penuh daun kering. Jangan ditertawakan, karena di situlah pula, di bagian atas tembok, atau di bawah atap, atau di mana saja yang mungkin, burung-burung dara itu berkandang. Atau katakanlah bersarang, sebab Pak Mantri pasar boleh dikatakan tak lagi dapat menempatkan burung-burung itu di pagupon.” Ratusan burung daranya itu menahi di selasar bank pasar, ngerampok beras, katul, dan jagung pedagang. Ya, ngerampok, kalau seekor segenggam maka ratusan bisa sebagor. Pria tak kawin usia 60 tahunan itu juga mulai memiliki akal bulus. Pada saat tahu genting bocor di sana, pagar bolong di sini, tahi dara di mana-mana, ia tak lagi keliling pasar. Ditugasilah Paijo, anak buahnya, untuk keliling.
Ratusan burung daranya itu menahi di selasar bank pasar, ngerampok beras, katul, dan jagung pedagang. Ya, ngerampok, kalau seekor segenggam maka ratusan bisa sebagor.
Paijo ini tugasnya mengeluarkan burung-burung bersangkar dari dalam kantor Pak Mantri, kebersihan pasar, dan memunguti uang karcis. Burung milik Pak Mantri, tapi Paijo yang kena “tahi”-nya. Ia jadi bulan-bulanan Siti Zaitun, gadis manis pekerja bank, karena dinding bank yang seharusnya bersih malah banyak kotor kena tahi. Oleh pedagang beras, katul, dan jagung, selain karena Paijo tiap saat meminta untuk pakan burung Pak Mantri yang berkandang, yang tak lepas liar pun ikut prasmanan di lapak mereka. Juga dimaki oleh pedagang pasar yang lapaknya kotor kena tahi.
Dasar mental penguasa, bukannya menanggapi keluhan pedagang pasar, Pak Mantri balas menyangkal. “Mana mungkin pasar sepi karena dara?” Tidak ada hubungan, katanya. Sampai Paijo membawa seekor dara sekarat, bekas digebuk, tapi Pak Mantri tak percaya. Selanjutnya, Paijo membawa seekor yang sudah terkapar, lainnya digondol anjing dan kucing. Pak Mantri tetap tak percaya pedagang pasarnya melawan. Paijo yang percaya, sebab pedagang mulai menolak bayar karcis, sebab habis untung mereka dimakan dara. Malah mereka sedia gebuk di lapak, begitu dara datang mereka usir meski membuat daranya terkapar. Pak Mantri tak lekas benahi diri, merasa sebagai pengelola pasar pemerintah, makin arogan ia menyalah-nyalahkan pedagang pasar, malah ia libatkan camat dan polisi untuk membantunya menertibkan siapa saja yang menolak bayar karcis. Muncullah si saudagar gaplek, Kasan Ngali yang membuka pasar baru dan bank kredit di halaman rumahnya. Katanya, swasta lebih bonafit daripada negeri. Katanya lagi, pembeli adalah raja, harus dilayani sebaik-baiknya.
Pak Mantri tak lekas benahi diri, merasa sebagai pengelola pasar pemerintah, makin arogan ia menyalah-nyalahkan pedagang pasar, malah ia libatkan camat dan polisi untuk membantunya menertibkan siapa saja yang menolak bayar karcis.
Novel ini agaknya tak jauh dari nyata. Para saudagar republik ini membangun mal, supermarket dan minimarket. Seperti Kasan Ngali, tak lupa dibangun juga bank untuk mendukung transaksi dagang korporasi besar mereka. Pertumbuhan ekonomi mendorong masyarakat lebih suka belanja di pasar atau toko modern, karena ada kepastian harga, tempatnya bersih dan dingin, produknya lengkap dan murah (Herman Malano, Selamatkan Pasar Tradisional, 2011). Pemerintah juga punya program revitalisasi (proses membuat penting kembali) pasar, yaitu dengan merombak pasar menjadi lebih bersih, terang, dan teratur. Program ini menarget 5.000 pasar selama 2015 hingga 2019 dengan kebutuhan dana Rp 3,1 triliun.
Dulu namanya Mantri Pasar, sekarang Dinas Pasar, lembaga resmi pemerintah untuk mengelola pasar, merawat gedung, dan mengembangkan pasar. Aspirasi komunitas pedagang pasar jarang ditanggapi oleh dinas dengan alasan pengambil keputusan adalah walikota atau bupati, dan tentu saja pejabat setingkat itu sudah banyak kesibukan dan hal lain yang dipikirkan. Sama seperti Pak Mantri yang cuek pada pagar yang bolong dan genting bocor. Ada pula Dinas Perparkiran yang lebih sering jadi bancakan preman oknum pemerintah. Masih ada juga Dinas Perhubungan yang mengurus lalu lintas bersama kepolisian. Pasar yang becek, kumuh, pengap, dan kotor itu ternyata diurus banyak sekali oleh lembaga pemerintah.
Kalau di novel Pasar, Pak Mantri dipuji karena membongkar pagupon burung dara mengecat pasarnya menjadi lebih bersih. Nyatanya, revitalisasi ternyata malah membuat para pedagang pasar mengeluh, mereka sepi pembeli. Sebabnya, untuk menjaga ketertiban lalu lintas, pedagang kaki lima di depan pasar dipindah ke lantai 2 pasar. Lahan parkir dibuat terpusat, bergaya seperti mal, parkir memutar ke atas atau ke bawah. Perkara parkir jangan disepelekan, naik turun tangga mencari belanjaan dan akhirnya menuju parkiran model begitu, menyulitkan ibu-ibu yang belanja banyak, apalagi kalau terpaksa membawa anak. Pedagang juga repot. Motor mereka dipasangi rombong untuk mengangkut barang lebih banyak, motor dengan rombong dan dipaksa berputar-putar seperti pegas tentu berisiko.
Nyatanya, revitalisasi ternyata malah membuat para pedagang pasar mengeluh, mereka sepi pembeli. Sebabnya, untuk menjaga ketertiban lalu lintas, pedagang kaki lima di depan pasar dipindah ke lantai 2 pasar. Lahan parkir dibuat terpusat, bergaya seperti mal, parkir memutar ke atas atau ke bawah.
Revitalisasi yang malah membuat pasar sepi bukanlah tafsiran cenayang. Pasar Ir. Soekarno di Sukoharjo yang dibangun megah tahun 2014 malah sepi pembeli. Selain persaingan dengan pasar modern, pengunjung juga enggan ke lantai dua. Dana revitalisasi miliaran rupiah jadi sia-sia. Pemkab Sukoharjo yang mengelola 26 pasar tradisonal tetap melanjutkan revitalisasi, namun sejak 2017 mereka hanya membangun pasar berlantai satu (Jawa Pos, 4 Juni 2019).
Karena sepi pengunjung, pedagang kembali berdagang di trotoar dan badan jalan, kucing-kucingan dengan Satpol PP atau diusir paksa saat ada penertiban. Kesannya, pemerintah tak mendengarkan aspirasi pedagang pasar melalui dinas pasar, program yang dilakukan malah semakin membuat pasar makin semrawut, dagangan sepi, dan jalanan semakin kacau. Seperti Kasan Ngali yang membangun pasar dan bank kredit untuk bergaya sebagai orang kaya, akhirnya dibongkarnya sendiri pasar di pekarangan rumahnya. Pedagang kemudian kembali ke pasar tradisional mereka.
Seperti Kasan Ngali yang membangun pasar dan bank kredit untuk bergaya sebagai orang kaya, akhirnya dibongkarnya sendiri pasar di pekarangan rumahnya. Pedagang kemudian kembali ke pasar tradisional mereka.
Jika pasar sekadar kerumunan orang bertransaksi, maka pasar mudah sekali diatur oleh tatanan dan undang-undang, serta sedikit ancamam. Gunawan Mohammad dalam esai “Zarathustra di Tengah Pasar” menyebut pasar sebagai kerumunan yang mulanya intim dan penuh rasa kekeluargaan berubah menjadi massa, massa yang dijadikan arena perdagangan yang seru. Kerumunan masyarakat ekonomi yang akhirnya disebut juga sebagai sebuah pasar. Pasar sebagai tempat transaksi dan pasar yang berarti kerumunan masyarakat ekonomi menjadi pusat pertukaran komoditas, mulai dari cabe kriting, tahu, tempe, daging, motor, mobil BMW, kelas-kelas managemen, paket umrah, dan fesyen. Inovasi pasar seperti cashback, angsuran ringan, tanpa down payment, midnight sale, beli satu gratis satu, all you can eat, tak putus-putus menggoda mata dan pikiran, yang akhirnya mengubah keinginan jadi keperluan.
Yohanes Bara Wahyu Riyadi,
Redaktur Majalah Utusan
Comments