Oh, Rekor Lagi!
Bandung Mawardi
Pendiri Muri, Jaya Suprana, mengatakan PAN tercatat sebagai parpol yang melakukan rapat kerja secara daring pertama di Indonesia. Model pertemuan itu belum pernah dilakukan partai besar di dunia, seperti Partai Republik dan Partai Demokrat di Amerika Serikat.
(Kompas, 10 Mei 2020)
HARI-HARI masih berurusan wabah. Orang-orang tetap bekerja, belajar, dan beribadah. Sekian peristiwa terus terselenggara dengan perubahan cara, tempat, suasana, dan durasi. Kita maklum untuk mematuhi kebijakan-kebijakan pemerintah dalam menanggulangi wabah. Di rumah, jutaan orang diminta terus “bergembira” dengan segala cara. Bergembira itu capaian ketimbang murung, meratap, dan malas. Di rumah, orang tetap memerlukan pemenuhan kebutuhan pokok dan menginginkan ada rangsang-rangsang untuk sampai di kegembiraan. Kejenuhan pasti melanda saat puluhan atau belasan hari di rumah.
Kita tak melulu mengisahkan wabah dan rumah. Kini, kita mulai berpikiran tentang dua istitusi: partai politik dan universitas. Wabah masih masalah tapi kerja-kerja politik jalan terus. Berita datang dari PAN (Partai Amanat Nasional). Para petinggi di partai politik itu “bergembira” dalam menunaikan program-program politik secara internal. Kegembiraan dibagikan ke publik tapi mengesankan “lelucon”. Pada 5 Mei 2020, ada Rakernas PAN di Jakarta. Kita menganggap itu agenda wajar di partai politik.
Pada situasi wabah, rapat kerja nasional itu menjadi tak biasa. Hal tak biasa itu berlaku pula dalam kerja birokrasi, perusahaan, organisasi, atau komunitas. Presiden menggelar rapat bukan dengan berkumpul di Istana Kepresidenan. Teknologi-komunikasi menjadi perantaraan rapat penting untuk nasib negara. Presiden, menteri, dan para pejabat berada di rumah atau suatu tempat tapi bisa rapat daring. Cara itu biasa meski mula-mula mengejutkan. Gubernur pun menggelar rapat daring dengan para bupati dan walikota. Komunitas-komunitas pun mengadakan rapat daring sebelum melakukan kerja-kerja kemanusiaan melalui pementasan seni, aksi sosial, atau diskusi. Kita memastikan segala peristiwa berdaring itu biasa saat situasi wabah.
“Biasa” itu dijadikan berbeda oleh PAN. Di koran dan situs-situs berita, kita melihat Ketua Umum PAN Zulkifli Hassan mengenakan busana partai, berpeci, dan berkacamata. Ia tak mengenakan masker saat menerima pigura berisi piagam. Tokoh politik itu mendapat penghargaan? Kita boleh menduga beliau meraih prestasi atau memberi persembahan besar bagi Indonesia sedang lara oleh wabah. Dugaan kita bisa meleset. Zulkifli Hassan ada dalam peristiwa pemberian piagam penghargaan Muri dalam Rakernas PAN di Jakarta (Jawa Pos, 6 Mei 2020). Wabah di mata kaum politik dijadikan dalih mendapat rekor. Kita jangan lekas memberi tuduhan jelek atau menebar gosip. Rekor itu diberikan gara-gara PAN tercatat sebagai partai politik pertama menggelar rakernas secara daring di Indonesia. Peserta rapat 645 orang.
Kita menunduk sejenak. Partai politik belum cuti atau istirahat sejenak saat wabah. Oh, para petinggi di partai politik malah membuat kejutan mirip “lelucon”. Kita sengaja menunduk untuk berhitung malu atau kepantasan dalam menanggapi wabah dan kerja-kerja politik. Rakernas itu penting bagi partai politik. Rekor? Partai politik memiliki hak mendapat seratus atau seribu rekor tapi “wajib” di rekor-rekor bermutu. Kita pun berpikiran raihan rekor itu di situasi normal saja.
Jutaan orang berduka dan berdoa wabah lekas rampung. Di kerja politik, orang-orang itu masih berpikiran rekor dan dipamerkan ke publik. Kita belum ingin mendalilkan atau mengajukan argumentasi kesopanan politik. Rekor telanjur diraih dana acara pemberian piagam sudah menjadi foto tersebar ke segala penjutu. Ingat wabah, ingat partai politik. Ingat wabah, ingat rekor.
Partai politik memiliki hak mendapat seratus atau seribu rekor tapi “wajib” di rekor-rekor bermutu.
Tuhan, ampuni kami dari benih-benih curiga, mengejak, atau bergosip. PAN mendapatkan rekor mungkin bakal disusul oleh sekian partai politik. Kita berharap Presiden Jokowi rajin mengadakan rapat daring tak menginginkan piagam rekor. Kita pastikan juru bicara dalam penanggulangan wabah emoh piagam rekor dalam kriteria sering tampil di televisi dengan tatanan kalimat hampir sama, setiap hari. Para pejabat atau tokoh publik kita minta membuang, menangguhkan, atau membatalkan berpikiran rekor selama wabah. Tuhan, lindungi kami dari “wabah” rekor.
Kita masih menunduk, kebingungan dengan situasi wabah dan rekor terus saja diraih oleh tokoh dan institusi. Berita berasal dari Unika Soegijapranata, Semarang, Jawa Tengah, 5 Mei 2020. Kalangan akademik di universitas itu membuat acara pembacan puisi daring dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional. Para pejabat kampus, mahasiswa, dosen, dan pelbagai pihak terlibat dalam membacakan puisi dan menonton. Acara itu disiarkan sekian jam. Mereka memang tak berkumpul di suatu tempat tapi tetap merasa bersama di tata cara daring. Misi mulia dalam memaknai pendidikan. Mereka memilih puisi, bukan pidato. Puisi demi puisi dibacakan untuk mengingatkan tema pendidikan. Kita memuji insitusi pendidikan itu lumrah mengadakan acara demi pendidikan.
Berita itu memastikan universitas terus bergerak atau bekerja meski Indonesia dilanda wabah. Pembacaan puisi itu memiliki niat luhur. Pihak universitas malah menjanjikan bakal menerbitkan puisi-puisi untuk terbit dan diacarakan saat peringatan Hari Kebangkitan Nasional. Pada saat kita memberi pujian atau tanggapan lumrah, muncul keraguan dan kebingungan. Acara pembacaan puisi demi Hari Pendidikan Nasional itu mendapatkan pengakuan memecahkan rekor dari LEPRID (Lembaga Prestasi Rekor Indonesia-Dunia). Oh, institusi pendidikan masih berpikiran rekor dalam memuliakan pendidikan saat wabah belum tamat! Rekor itu memuat penjelasan: pagelaran puisi terbanyak secara daring, 205 puisi dibacakan 105 orang, selama 5 jam. Konon, 205 itu berarti tanggal 2 dan bulan 5: 2 Mei (Suara Merdeka, 8 Mei 2020). Ah, acara mulia tapi membutuhkan pengakuan rekor!
Acara pembacaan puisi demi Hari Pendidikan Nasional itu mendapatkan pengakuan memecahkan rekor dari LEPRID (Lembaga Prestasi Rekor Indonesia-Dunia). Oh, institusi pendidikan masih berpikiran rekor dalam memuliakan pendidikan saat wabah belum tamat!
Pada 2020, kita mencatat partai politik dan universitas mendapat rekor dalam situasi wabah. Kita diminta mengingat dan kelak menceritakan ke anak-cucu. Ajakan “aneh” itu malah membuktikan kita melupa leluhur telah mengajarkan pendidikan dalam situasi politik-kolonialisme. Ia bernama Willem Iskander. Kita masih beruntung mendapatkan cetak ulang buku berjudul Si Bulus-Bulus, Si Rumbuk-Rumbuk (1987). Semula, buku itu terbit pada 1872.
Tokoh pendidikan mendirikan sekolah di Tapanuli Selatan dan menulis buku berisi puisi-cerita. Ia mendahului kerja-kerja pendidikan oleh Ki Hadjar Dewantara dan Mohammad Sjafei. Di buku, ia memberi puisi berbahasa Mandailing berjudul “Sikola” atau “Sekolah”. Kita mengutip dalam terjemahan bahasa Indonesia: Di sana sebuah rumah/ Berbangku bermeja-meja/ Di situ kita duduk/ Untuk menuntut ilmu// Segenap anak yang baik budi/ Hatinya senang di rumah itu/ Sebab ia sudah mengetahui/ Beroleh ilmu kita di situ. Willem Iskander tak hidup di zaman gampang mendapatkan rekor. Ia berpikiran pendidikan bagi kaum bumiputra, tak bermimpi rekor. Kita saja terlalu lama melupakan ketokohan, sekolah, dan buku puisi-cerita. Begitu.
__________
Bandung Mawardi,
pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,
Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku
Pengisah dan Pengasih (2019)
FB: Kabut
Comentários