Novel, Hotel, Wabah
Bandung Mawardi
DI Venesia, wabah belum diumumkan secara resmi. Penduduk dan para turis masih sulit memastikan tindakan-tindakan dalam situasi aneh. Tokoh buatan Thomas Mann sedang berada di Venesia, menginap sekian hari di hotel. Ia telah jalan-jalan di Venesia, melihat pemandangan, menikmati makanan-makanan lezat, bertemu orang-orang, dan berpredikat pencerita.
Ia datang dari Jerman. Perbincangan singkat dengan penjaga toko memberi pembenaran Venesia dilanda wabah tapi pemerintah membuat instruksi-instruksi belum terbuka dalam mengatasi situasi.
Tokoh bernama Aschenbach mendekam di lobi hotel “mengubur dirinya di balik koran". Berita mengenai wabah belum dimuat di koran-koran berbahasa asing.
Di hotel, para tamu mengetahui wabah dan memilih pergi. Sekian tamu belum mendapat pengumuman, masih saja menjadi penghuni hotel. Pemerintah masih bingung: merahasiakan atau mengumumkan wabah. Di novel berjudul Maut di Venesia (2019) gubahan Thomas Mann, kita diajari masalah manusia, wabah, hotel, pariwisata, dan kota. Kalimat-kalimat dituliskan saat si tokoh memilih berada di hotel: “Penyakit yang mewabah di gang-gang kotor Venesia disamarkan oleh pemerintah kota yang membungkam orang-orang dengan dalih pencegahan penyakit, memberi Aschenbach suatu kepuasan terlarang".
Penyakit yang mewabah di gang-gang kotor Venesia disamarkan oleh pemerintah kota yang membungkam orang-orang dengan dalih pencegahan penyakit, memberi Aschenbach suatu kepuasan terlarang.
Pada situasi wabah, orang-orang membaca (lagi) novel berjudul Sampar gubahan Albert Camus. Sekian orang mungkin memilih membaca novel gubahan Thomas Mann meski tak semoncer Sampar. Tokoh buatan Thomas Mann berpredikat pengarang. Kita simak: “Namun Venesia tak sedikit pun digoyahkan oleh sampar itu atau mempedulikan kesepakatan internasional terkait kesehatan. Pemerintah kota lebih takut tak mendapatkan uang dari para wisatawan, sebab ada pameran lukisan yang baru saja dibuka di taman kota, takut hotel-hotel kehilangan tamunya dan merugi, takut toko-toko yang mendapat pemasukan dari para pelancong menderita karena kepanikan dan blokade". Kita membaca kalimat-kalimat itu dalam novel, bukan berita di koran atau majalah.
Wabah menentukan nasib pariwisata dan hotel. Kejadian itu mirip di Indonesia sebelum “kedatangan” wabah. Kita mengikuti tafsir data bertema komunikasi disajikan Fajar Juanedi selaku editor buku berjudul Krisis Komunikasi dalam Pandemi Covid-19 (2020). Penjelasan ringkas dimuat di Suara Merdeka, 12 April 2020. Kita simak sambil membuka kliping berita-berita awal 2020: “Di saat China dan beberapa negara mulai terserang wabah Covid-19, pemerintah Indonesia mengambil jalan yang berbeda dengan negara-negara lain. Pemerintah memberikan pernyataan dan kebijakan yang dirancang seolah ingin memberi pesan bahwa bangsa ini akan aman dan baik-baik saja meski belahan dunia lain sedang panik dengan virus Corona". Buku itu dikerjakan “serius” dalam situasi tak keruan. Penerbitan didukung oleh sekian universitas memiliki program studi ilmu komunikasi.
Fajar Juanedi mengingatkan: “Lebih ironis lagi, pemerintah sempat mengeluarkan kebijakan menurunkan harga tiket pesawat, mendorong promosi pariwisata agar wisatawan asing yang tidak bisa berkunjung ke China dan negara terdampak Corona bisa beralih ke Indonesia. Dalam komunikasi publiknya, pemerintah bahkan menyiapkan dana miliaran rupiah untuk memanfaat influencer di dunia maya meredam isu Covid-19 di Indonesia". Buku itu mengenai ilmu komunikasi dan wabah. Kita seperti diingatkan dengan berita-berita terdahulu dan catatan atas penjelasan-penjelasan resmi dari pemerintah. Wabah dan pariwisata itu realis, tak dicuplik dari novel gubahan Thomas Mann. Situasi di Indonesia sebelum mencekam oleh wabah masih bertema pariwisata. Hotel pasti ada dalam kerja-kerja pariwisata.
Wabah dan pariwisata itu realis, tak dicuplik dari novel gubahan Thomas Mann. Situasi di Indonesia sebelum mencekam oleh wabah masih bertema pariwisata. Hotel pasti ada dalam kerja-kerja pariwisata.
Perubahan terlalu cepat. Para penekun ilmu komunikasi melakukan pencatatan dan tafsiran atas “ralat” atau perubahan komunikasi dari pemerintah setelah wabah mengubah nasib Indonesia, tak cuma berkaitan pariwisata atau hotel. Kita membuka lagi koran-koran terbit April. Kita mulai membaca berita di Kompas, 8 April 2020. Dua berita mengenai nasib hotel: “Perhotelan Amat Terpuruk” dan “Siasat untuk Bertahan di Tengah Pukulan Pandemi Covid-19”. Nasib itu seperti mendadak: “Sedikitnya 1.266 hotel di seluruh Indonesia berhenti beroperasi untuk sementara waktu dan mulai menawarkan cuti bagi pekerja tetapi di luar tanggungan. Ini gambaran umum karena tingkat hunian merosot sangat drastis". Hotel-hotel tampak tak benderang lagi saat malam.
Kita menatap hotel-hotel itu menanggungkan lesu, murung, dan suram. Hotel memang terpuruk.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama menjelaskan: “Kami sudah menyiapkan langkah pemulihan dan normalisasi yang bisa mempercepat proses pemulihannya". Nasib paling terpuruk mungkin hotel-hotel di Jakarta atau kota-kota sering dikunjungi turis. Hotel tak cuma turis. Hotel juga tempat dalam acara-acara seminar, rapat, konser musik, pengajian, dan lain-lain. Kini, hotel-hotel sepi dan “merugi”. Kita membaca deksripsi: “Daun kering berguguran di halaman Hotel Aston Cirebon, Jawa Barat, Senin (6/4/2020) siang, seperti menggambarkan suasana muram itu. Tak tampak lagi kendaraan para tamu. Mobil hotel yang biasanya sibuk menjemput tamu kini terparkir di lantai bawah tanah".
Kita membaca nasib hotel-hotel di Solo mengacu berita di Solopos, 7 April 2020. Sejumlah hotel menggeber paket spesial: Work From Hotel. Kita mengutip: “Meskipun demikian, paket bekerja dari hotel ini dibuat sedemikian rupa seperti konsep work from home dengan mengedepankan standar kebersihan fasilitas hotel hingga kenyamanan para tamu… beragam fasilitas ini siap menjadi hunian kedua bagi keluarga". Hotel masih ingin mendapatkan tamu dan pendapatan. Kita membaca berita itu sambil berpikiran-bandingan suasana rumah dan hotel.
Berita berbeda datang dari Bandung, Jawa Barat. Direktur Utama PT Jasa dan Kepariwisataan Jawa Barat berniat menjadikan Hotel Preanger sebagai tempat tinggal sementara bagi dokter dan medis berkaitan penanganan pasien Covid-19 (Media Indonesia, 8 April 2020). Hotel itu mewah dan bersejarah. Hotel bintang lima di Jalan Asia-Afrika, Bandung. Berita-berita mengenai hotel terbaca hari demi hari di koran-koran.
Kita mungkin ingin jeda, tak terlalu memikirkan wabah dan hotel. Kita bisa membaca novel gubahan Marco Kartodikromo, puisi gubahan Subagio Sastrowardojo, atau biografi Iwan Simatupang. Mereka mengisahkan hotel, sejak awal abad XX sampai masa revolusi. Iwan Simatupang malah menempatkan raga di hotel untuk menggubah novel dan menulis surat-surat. Hotel, cerita, dan sejarah sudah ratusan tahun di Indonesia. Pada abad XXI, gubahan teks sastra bertema atau menjadikan hotel adalah latar terus bertambah. Pemaknaan hotel semakin meriah asal kita membaca lagi sejarah hotel-hotel di Jakarta, Jogjakarta, Medan, Solo, Semarang, Surabaya, Bandung, dan pelbagai kota. Kita membaca sastra dan sejarah mengimbangi pemberitaan hotel sering berkaitan pariwisata, terpuruk akibat wabah. Begitu.
_________
Bandung Mawardi,
pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,
Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku
Pengisah dan Pengasih (2019)
FB: Kabut
Comments