"Nenek Bernama Nusantara"
KITA mungkin melihatnya sebagai tren, bisa juga bentuk keprihatinan akut pada generasi-generasi baru yang semakin menjauh dari akar kulturalnya, atau ada semacam politik kewilayahan untuk menguatkan cara (pikir) berkisah. Itulah alasan-alasan yang mungkin ada saat menemukan istilah mahaluhur “Nusantara” di sampul buku-buku bacaan anak mutakhir. Misteri di Pasar Terapung garapan Eva Y. Nukman dan Ella Elviana adalah salah satu bacaan bergambar dari seri “Bianglala Anak Nusantara” terbitan Yayasan Litara yang mendapat grand prize winner di ajang Samsung Kids Time Author’s Award 2015. Sekaligus, Litara menjadi salah satu penerbit yang bekerja sama untuk laku kemanusiaan penggarapan buku dengan lembaga nirlaba dunia Room to Read.
Sebelum ada (negara modern) Indonesia, setiap wilayah di Indonesia memiliki kedaulatan, tentu termasuk dalam hal bertamsil. Istilah Nusantara menjadi cakupan yang secara geopolitis terdengar berdaulat, digdaya, dan kaya. Kita bisa mengingat upaya pelbagai pihak untuk “mengonservasi” cerita Nusantara (seringkali tidak disebut Indonesia) atau penulisan ulang sebagai cara untuk tidak melupakan. Kita bisa mengingat yang digarap pakar sastra anak, Murti Bunanta, lewat tesis yang dibukukan berjudul Problematika Penulisan Cerita Rakyat untuk Anak di Indonesia (1998). Murti membabar 22 versi penulisan Bawang Merah, Bawang Putih oleh 21 pengarang.
Penekanan konsep kenusantaraan di sini, justru datang dari Wardiman Djojonegoro, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu. Ia menulis di halaman sambutan, “Cerita Rakyat Nusantara dapat dijumpai di setiap pelosok tanah air, dan merupakan bagian dari tradisi bangsa kita yang sekaligus merupakan warisan budaya dan kekayaan bangsa Indonesia. Seperti kita ketahui, cerita rakyat seringkali dijadikan acuan, parameter dan mengandung nilai luhur mengenai kebajikan, budi pekerti, dan lain-lain. Oleh karena itu, pelestarian dan pengkajian cerita rakyat merupakan hal yang penting bagi masyarakat.” Wardiman, mewakili negara yang berotoritas memberi pesan tentang suatu yang berharga dari Nusantara.
Eva, lewat Misteri di Pasar Terapung, mengimajinasikan Nusantara dalam dua tema besar sekaligus; tata ekonomi tradisional dan konservasi ekologi berlatar di Kalimantan. Keduanya diwakili oleh pasar terapung dan konservasi orangutan. Eva menciptakan tokoh anak laki-laki bernama Mawi yang ikut ibunya ke pasar terapung (tanpa keterangan pasti di sungai mana pasar berada). Ilustrasi Ella menampakkan penampakan para bakul di masing-masing jukung (perahu). “Misteri” yang menaut ke judul ternyata “gerak misterius” mengambil buah dan sayur para bakul. “Aha! Akhirnya mata Mawi menangkap gerakan gesit di salah satu jukung,” tulis Eva.
Di salah satu jukung, Mawi terkejut mendapati dua anak orangutan. Merekalah sosok-sosok misterius yang membuat para bakul kesal. Dua anak orangutan ditemukan Pak Badu saat mencari kayu bakar di hutan. Diceritakan, “Induk orangutan terluka parah terkena jerat. Pak Badu tidak berhasil menyelamatkannya. Kedua anak orangutan itu masih terlalu kecil untuk hidup sendiri.” Mawi pun mengusulkan kedua anak orangutan dibawa ke pusat konservasi sebelum dilepas kembali ke hutan.
Terlihat penulis sangat menghindari kehadiran ujaran manusia dewasa sebagai penyuluh atau pemecah masalah. Memang, penulis belum menemukan kata lain dari “misteri” demi mewakili kejadian yang menguak penasara, enigmatik, dan ganjil. Misteri tetap menjadi istilah populer bagi penulis cerita anak untuk membangun ketegangan. Tokoh Mawi dihadirkan sebagai inisiator dari permasalahan yang dihadapi tanpa ujaran-ujaran patriotis berlebih. Apakah pengajaran moralitas ada, semua ditentukan aktualisasi cara pikir dan tindak dari para pembaca kanak atau orangtua yang bertugas membacakan buku ini.
Tokoh Mawi dihadirkan sebagai inisiator dari permasalahan yang dihadapi tanpa ujaran-ujaran patriotis berlebih. Apakah pengajaran moralitas ada, semua ditentukan aktualisasi cara pikir dan tindak dari para pembaca kanak atau orangtua yang bertugas membacakan buku ini.
Masih cukup menggembirakan bahwa penulis ataupun penerbit tidak memberikan penjelasan yang formal tentang label (anak) Nusantara. Cukup diwakili keterangan deskriptis tambahan di halaman akhir tentang orangutan dan pasar apung di Kapuas atau Barito yang seharusnya dikemas dalam bahasa anak nan menyenangkan sekalian. Cerita dari Nusantara memang diperlukan konservasinya, tapi digarap dengan strategi alur berpikir, kebahasaan, ilustrasi, dan tentu bentuk fisik (buku cetak) yang sangat mutakhir.
Anak-anak membaca atau dibacakan buku ini dengan identitas sebagai anak Indonesia. Mereka sangat mungkin menganggap “Nusantara” sebagai “nenek” jauh yang dibayangkan dalam angan tapi selalu bisa ditemui di cerita rakyat, makanan tradisional, atau pelbagai ritual tradisional yang dilestarikan sebagai kultur. Anak-anak masa kini diajak merengkuhnya lewat para tokoh sebaya mereka yang (masih) mengalami kehidupan dengan sistem ekonomi, transportasi, ekologi, atau pangan tradisional yang bertahan selama bertahun-tahun.
Yang pasti ada semacam “pertukaran identitas” dengan saling mengerti tata moral dan sosial lewat politik kewilayahan yang diambil oleh penulis serta akhirnya dikuatkan oleh label dari penerbit. Anggap saja “Nenek Nusantara” bertugas menyampaikan konsep kebijaksanaan, kebaikan hati, empati, kegembiraan, antikekerasan secara sederhana yang diaksarakan dalam buku-buku cetak. Tidak hanya bagi anak Indonesia, tapi juga anak-anak asing yang ingin mengenal nenek yang bernama Nusantara.
Setyaningsih,
penulis buku anak
FB: Setya Ningsih
Comments