top of page
Cari
Majalah Basis

Nasi: Sebutan dan Peristiwa

Maksud berbagi kadang mengakibatkan sengsara tak terduga. Solopos, 29 Mei 2019, memuat berita mengenai tragedi nasi kotak berjudul “89 Warga Keracunan, 1 Meninggal Dunia.” Di Duwet Kidul Baturetno, Wonogiri, diselenggarakan kenduri dengan mengundang orang-orang untuk berdoa dan bersantap bersama, 26 Mei 2019. Tuan rumah membagikan “nasi kotak berisi nasi, ayam goreng kremes, sambal, dan lalapan.” Dinas Kesehatan Wonogiri menduga keracunan itu bersumber dari sambal dan lalapan. Duka itu terasakan dengan kelanjutan pesan agar para pemilik warung membikin nasi kotak mengurus izin ke Dinas Kesehatan.


Di tempat dan peristiwa berbeda, Ramadan itu bulan berbagi makanan. Di Tribun Jateng, 27 Mei 2019, kita membaca berita Brionesia Chapter Semarang mengadakan Sahur on The Road. Mereka berkeliling Semarang membagi 100 nasi kotak ke warga. Mereka ingin membagi rata ke sudut-sudut Semarang. Sebutan “nasi kotak” mengartikan menu untuk sahur itu memadai: nasi, sayur, dan lauk. Kita tak ingin mengurusi isi atau jenis makanan tapi sebutan sudah lazim: nasi kotak.


Kita sandingkan dengan berita berbeda. Pembaca kadang bingung setelah membaca berita mengenai artis. Hal-hal mengejutkan sering membuat pembaca penasaran. Berita berjudul “Raffi Ahmad Sahur dan Buka Pakai Nasi Kotak” dimuat di Suara Merdeka, 9 Mei 2019. Berita kecil membingungkan. Kutipan perkataan Raffi Ahmad: “Gue tiap sahur sama buka selalu makan dari nasi kotak ataupun katering dari stasiun televisi yang mengontrak gue. Jadi gue irit.” Apakah Raffi Ahmad makan nasi berbentuk kotak?


Artis kondang itu mungkin makan nasi dalam kotak. Kita memastikan kotak itu berbahan kardus. Benda sering digunakan dalam suguhan makanan, selain nasi dibungkus dengan daun atau kertas. Pemberian sebutan nasi kotak mungkin dianggap lazim seperti sebutan nasi bungkus. Sekian warung kadang memberi sebutan asing: nasi box menggantikan sebutan nasi kotak atau nasi kardusan. Dulu, nasi dalam kotak dibuat dari kardus disuguhkan ke orang-orang sedang rapat. Di acara diskusi, pembicara kadang mendapat nasi dalam kotak kardus tapi peserta cuma mendapat bungkusan nasi atau nasi bungkus. Di desa-desa, kenduri mulai memilih kotak kardus untuk diantarkan ke para tetangga, tak lagi menggunakan besek dibuat dari bambu atau dibungkus menggunakan daun jati.


Sebutan nasi bungkus, nasi kotak, atau nasi kardus termasuk baru tapi agak sulit dicarikan penjelasan dalam kamus-kamus. Sebutan-sebutan itu tak mengharuskan kita membuat sebutan nasi piring. Kita tetap memilih sebutan sepiring nasi. Wadah untuk nasi menimbulkan sebutan-sebutan belum memiliki kaidah baku. Ada sebutan gampang dipahami meski ada pula sebutan membingungkan dalam bahasa dan wujud makanan. Nasi kotak itu sebutan sudah lazim digunakan, tak seaneh sebutan nasi box.


Kita ingin mengerti nasi dan piring dalam sejarah di Jawa. Buku berjudul Kehidupan Dunia Keraton Surakarta, 1830-1939 (1989) garapan Darsiti Soeratman memuat informasi kebiasan makan di Keraton Surakarta Hadiningrat: “Sunan biasa makan dengan tangan. Sebelum makan nasi diakhiri, telah menjadi kebiasaan Sunan untuk memberi nasi dari piringnya sebanyak satu sendok kepada permaisuri.” Dulu, raja dan keluarga makan nasi diwadahi piring. Mereka itu terhormat sudah dipengaruhi adab modern. Kebiasaan makan di pincuk atau lembaran daun tak berlaku di keraton. Di piring-piring, nasi disajikan dilengkapi benda-benda lain meniru adab makan seperti di Eropa.


Ingat nasi dan piring, ingat rijsttafel. Fadly Rahman dalam buku berjudul Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial, 1870-1942 (2016) menjelaskan rijjstafel adalah “kebiasaan makan nasi” bagi orang-orang Belanda di tanah jajahan. Rijst berarti nasi. Tafel berarti “meja” untuk kiasan dari “hidangan”. Nasi ditaruh di piring. Orang makan menggunakan sendok dan garpu. Puluhan piring ditaruh di meja. Nasi di piring. Lauk di piring. Sayur di piring. Sejak pembentukan adab makan baru di tanah jajahan, kita belum pernah diwarisi sebutan kondang “nasi piring”. Nasi ditaruh di piring tak menghasilkan sebutan “nasi piring”. Kita malah dikenalkan sebutan sepiring nasi. Pengertian sepiring cenderung ke kuantitas dibandingkan dengan sesuap nasi, segenggam nasi, atau sebungkus nasi.


Umar Kayam pernah menulis nasi bungkus dalam buku berjudul Mangan Ora Mangan Kumpul (1990). Umar Kayam berkunjung ke Riau untuk acara penting. Pengalaman mengejutkan: “Waktu makan siang itu dihidangkan di guest-house yang dingin ber-ac, berarsitektur West Coast USA itu, eh, lhadalah, masing-masing kita mendapat nasi bungkus sakpetutuk-sakpetutuk, setinggi gunung anakan. Begitu dahsyat bin kolosal!” Isi bungkusan besar itu nasi dan daging rendang berukuran besar. Umar Kayam pulang ke Jakarta membawa oleh-oleh nasi bungkus untuk kejutan kepada keluarga. Oleh-oleh istimewa membuat keluarga pesta makanan. Sebutan nasi bungkus tak bermasalah. Di rumah Umar Kayam, keluarga makan nasi bungkus itu menggunakan piring. Di tulisan, kita tak membaca ada sebutan tambahan: nasi piring.


Di rumah Umar Kayam, keluarga makan nasi bungkus itu menggunakan piring. Di tulisan, kita tak membaca ada sebutan tambahan: nasi piring.

Nasi bungkus terkenal dulu, sebelum nasi kotak. Kita penasaran dengan kemunculan sebutan-sebutan untuk nasi. Raffi Ahmad makan nasi kotak seperti minta pujian dari kita. Ia ingin dianggap artis mau makan sederhana. Nasi kotak itu sederhana. Orang boleh membedakan derajat kesederhanaan antara nasi kotak dan nasi bungkus. Orang-orang miskin mendapat nasi bungkus sudah senang.


Mereka berpikiran nasi kotak untuk orang-orang berderajat lebih tinggi atau memiliki duit. Umar Kayam mau makan nasi bungkus. Apakah pengarang tenar itu miskin?

Mereka berpikiran nasi kotak untuk orang-orang berderajat lebih tinggi atau memiliki duit. Umar Kayam mau makan nasi bungkus. Apakah pengarang tenar itu miskin?

Perkara nasi bisa juga kita pelajari di Kamus Umum Bahasa Indonesia (1994) susunan JS Badudu dan Sutan Mohammad Zain. Di halaman 933-934, kita membaca ada nasi goreng, nasi gurih, nasi kebuli, nasi kuning, nasi lengat, nasi liwet, nasi rames, nasi rawon, nasi tumpeng, nasi uduk, dan nasi ulam. Kita tak menemukan nasi bungkus, nasi kotak, atau nasi piring. Kita masih penasaran dengan sejarah kemunculan sebutan-sebutan untuk nasi dalam sekian peristiwa. Begitu.


Bandung Mawardi,

kuncen Bilik Literasi Solo

FB: Kabut

171 tampilan

コメント


bottom of page