Monumen (Bercerita) Angkringan
Bandung Mawardi
KITA di zaman (gandrung) digital tetap ingin memiliki monumen. Nalar dan imajinasi para pendahulu dengan penandaan monumen-monumen masih dianggap mujarab di semaian makna. Johny A. Khusyairi (2013) mengingatkan: “Monumen memantulkan beragam penafsiran atas keberadaannya sepanjang masa. Monumen tidak hanya menjadi penjaga memori, namun menjadi ajang perebutan makna atas pendiriannya. Monumen kerap menjadi titik temu antara pandangan resmi dan pandangan alternatif atas masa lalu.” Puluhan tahun, kita membuat daftar panjang monumen-monumen melulu berkaitan sejarah atau tokoh (pernah) berkuasa: sipil dan militer. Di pelbagai kota, monumen terasa politis ketimbang pelajaran sejarah memikat.
Semula, Batavia adalah kota terpenting di pembuatan monumen-monumen, sejak abad XIX. Monumen-monumen pun dibangun di kota-kota kecil. Di Sumedang (12 Maret 1812) resmilah berdiri monumen Daendels-Kornel. Pada abad XX, monumen-monumen bertambah di tanah jajahan, bersebaran di kota besar dan kecil. Monumen semakin terpilih sebagai simbol bermakna politis. Pada masa kolonial, monumen ditaburi makna oleh pemerintah kolonial Belanda. Siasat ingin mematuhkan kaum terjajah dengan membentuk imajinasi-sejarah diajarkan dari penguasa. Pada masa Indonesia bercerai dari kolonialisme, pemerintah dan pelbagai institusi justru rajin mendirikan monumen-monumen berdalih nasionalisme. Sekian monumen dimaksudkan menandingi warisan monumen kolonial, menghapus ajaran kolonial berganti ke penguatan nasionalisme. Indonesia menjadi ruang pameran monumen, dari masa ke masa.
Pada masa kolonial, monumen ditaburi makna oleh pemerintah kolonial Belanda. Siasat ingin mematuhkan kaum terjajah dengan membentuk imajinasi-sejarah diajarkan dari penguasa. Pada masa Indonesia bercerai dari kolonialisme, pemerintah dan pelbagai institusi justru rajin mendirikan monumen-monumen berdalih nasionalisme.
Kini, kita memiliki monumen baru. Monumen di Ngerangan, Bayat, Klaten, Jawa Tengah. Alamat itu mungkin belum diakrabi publik bila selalu mengartikan monumen harus mengisahkan peristiwa-peristiwa sejarah besar. Monumen wajib bertokoh politik atau militer hampir dikultuskan. Di desa bernama Ngerang, monumen itu “biasa”, menjauhi imajinasi kekuasaan. Monumen tanpa senapan, bambu runcing, pakaian militer, bendera merah-putih, dan tangan mengepal. Pilihan mendirikan monumen tetap bereferensi sejarah tapi mulai membelok dari ketetapan-ketetapan monumen ditentukan oleh pemerintah kolonial dan para penguasa di Indonesia.
Di Ngerangan, monumen angkringan diresmikan oleh Bupati Klaten Sri Mulayani, disaksikan para pejabat dan warga, 26 Februari 2020. Monumen mengingatkan makanan dan minuman, mengelak dari perang atau peristiwa heroik. Dana ratusan juta rupiah digunakan untuk monumen. Kepala Desa Ngerangan Sumarno ingin monumen angkringan itu “legalitas cikal bakal angkringan” memang di Ngerangan, bukan tempat-tempat lain. Bupati mengartikan monumen adalah pengingat angkringan itu sumber kesejahteraan. Camat Bayat memastikan sejarah angkringan di Ngerangan terbukti mewabah ke pelbagai desa dan kota di seantero Indonesia (Solopos, 27 Februari 2020). Monumen mula-mula dimaknai orang-orang terhormat selaku pemimpin: bupati, camat, dan kepala desa. Warga mungkin bakal mengikuti pemberian makna oleh para pejabat. Makna mengalami pembakuan.
Pengumuman mengejutkan disampaikan Kepala Desa Ngerangan. Monumen angkringan mendongkrak kebijakan pariwisata di desa. Pihak pemerintahan desa berencana mau mendirikan restoran di dekat monumen. Semula, kita mengimajinasikan angkringan adalah tumbu dan tambir dipikul orang. Angkringan di masa berbeda adalah gerobak makanan. Pada masa desa-desa memilih pariwisata di pendapatan dan kemonceran, monumen angkringan malah dimaknai oleh restoran. Sejarah orang berjualan, makanan, minuman, dan benda-benda ingin digantikan restoran. Kepala desa lekas menerangkan bahwa bangunan dan fasilitas memang restoran tapi sajian hidangan model angkringan. Kebaruan disodorkan ke turis atau konsumen ketimbang kelawasan dan pembentukan suasana “tempo doeloe”.
Pada masa desa-desa memilih pariwisata di pendapatan dan kemonceran, monumen angkringan malah dimaknai oleh restoran. Sejarah orang berjualan, makanan, minuman, dan benda-benda ingin digantikan restoran.
Pemberian arti oleh kalangan pemerintahan berbeda dengan “kenekatan” di institusi-institusi pendidikan di Solo. Di SMP kondang, gerobak angkringan berubah peran. Di situ, orang tak bakal menemukan makanan dan minuman. Pihak sekolah sengaja menaruh gerobak angkringan di atas lantai bersih di bagian depan. Gerobak angkringan dekat dengan kantor dan kelas-kelas belajar. Di situ, “menu” berupa buku dan majalah. Kebijakan dinamakan Angkringan Literasi. Kebijakan mirip berlaku pula di universitas kondang di Solo. Pimpinan perpustakaan mengumumkan telah ada angkringan buku di perpustakaan. Pengumuman mengandung pesan agar para mahasiswa rajin datang ke perpustakaan dan jajan kelas angkringan. Pihak pengelola menginginkan suasana angkringan termiliki para pengunjung perpustakaan. Mereka belum tentu memegang buku atau membaca. Urusan makan dan minum itu utama.
Gerobak-gerobak angkringan memiliki tempat-tempat khas. Kita bisa menandai kelaziman gerobak angkringan berada di trotoar, sudut di perempatan jalan, di atas selokan atau kali, di kebun, di bawah pohon besar, pinggiran alun-alun, atau di halaman kantor. Para pedagang angkringan kadang diberi tempat khusus oleh pemerintah kota atau pihak-pihak berkepentingan. Sejarah angkringan dengan kaum lelaki sebagai pemikul berubah ke pemandangan gerobak di pelbagai tempat. Sekian gerobak angkringan bertahan di tempat, ada pula mangkal di jam-jam tertentu saja. Di pelbagai tempat, angkringan berani buka 24 jam.
Sejarah dan perkembangan angkringan dipilih di peristiwa-peristiwa seni. Para peminat seni terbiasa melihat dan ikut bersantap saat gerobak angkringan sengaja ditempatkan di depan Balai Soedjatmoko (Solo). Pada acara-acara pameran seni rupa atau seni pertunjukan, panitia mengajak para penikmat seni bersantap makanan dan minuman khas angkringan. Siasat itu menggantikan kerepotan memberi suguhan berurutan ke tamu. Orang-orang bisa memesan minum ke pedagang dan mengambil makanan sesuai selera. Di Taman Budaya Jawa Tengah beralamat di Kentingan (Solo), angkringan berada di sekitaran pendapa besar menandai ada acara-acara seni.
Segala perkembangan dan pemaknaan atas angkringan di Solo itu “wajib” kembali mengingat cikal bakal di Ngerangan (Klaten). Kita sulit memastikan para pedagang angkringan di Solo dan pelbagai kota bakal memerlukan “ziarah” ke monumen angkringan. Para panitia acara seni dan penikmat angkringan belum tentu tergoda ingin mengunjungi monumen angkringan: menengok sejarah dan berpotret. Pihak sekolah dan angkringan telah nekat bermisi literasi belum terjamin membuat kebijakan mengajar murid dan mahasiswa piknik ke Ngerangan.
Para panitia acara seni dan penikmat angkringan belum tentu tergoda ingin mengunjungi monumen angkringan: menengok sejarah dan berpotret.
Monumen angkringan sudah diresmikan dengan pesan dan pemaknaan para pejabat. Ikhtiar bisa sia-sia saat tak ada kebijakan-kebijakan sederhana tapi bernalar kultural. Rencana mendirikan restoran dengan hidangan khas angkringan terasa wagu. Keinginan mewartakan simbol sejarah dan ketokohan para pedagan angkrinan di Ngerangan “disaingi” selebrasi turisme menuruti kaidah-kaidah baru berupa restoran. Kita tak perlu kaget memikirkan restoran dan menu angkringan. Sekian tahun, kita terbiasa mendapat pengumuman di hari-hari besar agama atau nasional, pengelola mal-mal mengadakan festival pangan dengan mengundang pedagang angkringan di ruangan bersih, terang, dan dingin. Hotel-hotel pun bersaing membentuk kekhasan dengan mengadakan hidangan-hidangan khas angkringan. Kita menduga pemaknaan angkringan semakin amburadul. Sejarah angkringan tetap saja “sepi” perhatian meski sejarawan Solo mengajar di Universitas Sanata Dharma (Jogja) sering menulis artikel-artikel bertema angkringan dan berkhotbah di pelbagai ruang seminar.
Ingatan sejarah di monumen angkringan mungkin tergesa diurusi menggunakan pamrih pariwisata. Para pejabat turut memberi pembenaran bahwa angkringan itu kesejahteraan. Cerita-cerita mengenai angkringan belum genap dialbumkan. Foto-foto angkringan masa lalu belum terkumpul lengkap. Pembuatan buku atau film dokumenter anggaplah siasat bermutu ketimbang terlena di angan pariwisata. Monumen sudah ada tapi kerja pemaknaan bisa serampangan bila tanpa ada ikhtiar-ikhtiar di keaksaraan dan dokumentasi rupa.
Monumen angkringan terus menanti pemberi makna, sebelum retak, berlumut, dan lusuh. Di Indonesia, monumen-monumen sering telantar atau sepi. Di pelbagai tempat, angkringan-angkringan terus ramai tapi monumen angkringan itu mungkin saja sepi dan perlahan terlupakan. Begitu.
__________
Bandung Mawardi,
pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,
Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku
Pengisah dan Pengasih (2019)
FB: Kabut
Comments