top of page
Cari
Majalah Basis

"Meralat" Nyinyir?

Bandung Mawardi


KITA mengalami Agustus malah dengan nyinyir. Sekian pihak memahami omongan nyinyir dalam politik. Nyinyir belum dipikirkan serius dalam masalah kebahasaan. Hari demi hari, nyinyir menjadi “hiburan” bagi orang-orang suka perdebatan atau keributan. Sekian orang juga menjadikan nyinyir adalah “wabah” sulit ditanggulangi saat orang-orang mengalami hari-hari rumit akibat Covid-19.


Agustus belum selesai, nyinyir semakin menjadi perdebatan. Kita mulai dengan memberi perhatian untuk deklarasi KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) di Tugu Proklamasi, Jakarta, 18 Agustus 2020. Deklarasi menghadirkan tokoh-tokoh sering berkomentar masalah-masalah politik, melempar kritik terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Sekian tokoh sudah lama dikenali publik dengan omongan nyinyir dalam diskusi, obrolan di acara televisi, atau pembuatan komentar di media sosial. Peristiwa memicu tanggapan-tanggapan tetap mengandung masalah nyinyir. Sekian orang menuduh para deklarator mengesankan selebrasi kenyinyiran.


Di Media Indonesia, 19 Agustus 2020, kita membaca petikan dari opini ditulis Saur M Hutabarat: “Yang saya heran kenapa Din Syamsuddin berkata tidak perlu ada pihak yang sinis. Kenapa sensitif? Sinisme itu ekspresi yang tidak melanggar konstitusi. Kenapa keberatan? Terimalah dengan sama sinisnya, atau terimalah dengan lapang dada. Apakah tulisan ini mengandung sinisme? Atau sarkasme?” Kita diajak bingung untuk “hiburan” politik. Pihak sini menuduh pihak sana itu sinis. Pihak sana menuduh pihak sini itu sinis. Pihak-pihak saling “berbagi” sinis berdalih politik atau penegakan demokrasi. Opini tak memuat diksi nyinyir tapi pembaca bisa mengerti ada masalah-masalah kenyinyiran berkaitan para tokoh dan peristiwa-peristiwa politik di Indonesia. Di akhir tulisan, kita “dilempar” ke masa lalu saat belajar bahasa Indonesia di sekolah: sinisme atau sarkasme.


Pihak-pihak saling “berbagi” sinis berdalih politik atau penegakan demokrasi. Opini tak memuat diksi nyinyir tapi pembaca bisa mengerti ada masalah-masalah kenyinyiran berkaitan para tokoh dan peristiwa-peristiwa politik di Indonesia.

Kita terpaksa mencari lagi buku lama di kardus atau rak berdebu. Penulis atau guru otoritatif dalam menjelaskan masalah-masalah ruwet masa sekarang adalah Gorys Keraf. Para pelajar di seantero Indonesia mengenali Gorys Keraf dengan buku-buku bermutu: Tatabahasa Indonesia, Komposisi, Diksi dan Gaya Bahasa, Eksposisi dan Deskripsi, dan Argumentasi dan Narasi. Kita memilih membaca Diksi dan Gaya Bahasa (2004, cetakan keempat belas). Pada abad XXI, kemampuan kita dalam berbahasa Indonesia tampak berkurang. Kita sering “berantakan” dalam bicara dan menulis menggunakan bahasa Indonesia. Buku-buku tentang bahasa Indonesia susunan Gorys Keraf, JS Badudu, Harimurti Kridalaksana, Ramlan, dan lain-lain masih berfaedah bila kita masih mau membaca sambil mesem mengetahui diri masih bodoh. Pelajaran bahasa Indonesia sejak SD sampai kuliah belum berdampak besar dalam mencermati masalah politik, agama, pendidikan, wabah, artis, bisnis, dan lain-lain.


Buku-buku tentang bahasa Indonesia susunan Gorys Keraf, JS Badudu, Harimurti Kridalaksana, Ramlan, dan lain-lain masih berfaedah bila kita masih mau membaca sambil mesem mengetahui diri masih bodoh.

Gorys Keraf menjelaskan: “Persoalan gaya bahasa meliputi semua hierarki kebahasaan; pilihan kata secara individual, frasa, klausa, dan kalimat, bahkan mencakup pula sebuah wacana secara keseluruhan”. Di keseharian, kita mengaku mengerti gaya bahasa tapi sulit menjelaskan pengertian seperti di buku-buku pelajaran. Masalah nyinyir mungkin bisa kita lacak lagi dalam gaya bahasa sesuai dijelaskan dalam buku pelajaran. Gorys Keraf menjelaskan ironi, sinisme, dan sarkasme memiliki kemiripan. Ironi biasa disebut juga sindiran. Orang belajar bahasa lekas mengaitkan sindiran itu sinisme. “Sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati,” penjelasan sinisme oleh Gorys Keraf. Opini di Media Indonesia menantang kita menentukan sikap tulisan dan sikap orang-orang politik: sinisme atau sarkasme. Gorys Keraf mengartikan sarkasme: “Acuan yang mengandung kepahitan dan celaan yang getir”. Kita mulai berpikiran bahwa sarkasme itu nyinyir. Diksi dan Gaya Bahasa tak memiliki bab tentang nyinyir. Kita berusaha mengerti melalui ironi, sinisme, dan sarkasme.


Kita sengaja membuka buku pelajaran setelah “sulit” menerima pengertian nyinyir dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2018). Pengertian singkat tak memadai bagi kita mengikuti berita di koran, majalah, televisi, dan internet. Di media sosial, pengertian nyinyir dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sulit diterapkan. Pengertian resmi: “mengulang-ulang perintah atau permintaan; nyehnyeh; cerewet”. Kita kaget membaca contoh penggunaan dalam kalimat: “Nenekku kadang-kadang nyinyir, bosan aku mendengarnya”. Mengapa tokoh untuk pengertian nyinyir adalah nenek? Apa pembuat kamus mau membedakan peran: nenek itu nyinyir dan kakek itu bijak? Kamus pun bermasalah bagi kita ingin memahami nyinyir.

Mengapa tokoh untuk pengertian nyinyir adalah nenek? Apa pembuat kamus mau membedakan peran: nenek itu nyinyir dan kakek itu bijak? Kamus pun bermasalah bagi kita ingin memahami nyinyir.

Pengertian itu berdampak ke ingatan kita bahwa orang nyinyir cenderung berjenis kelamin perempuan. Ingatan bisa salah bila kita mengikuti lakon politik mutakhir. Orang-orang dicap nyinyir itu laki-laki. Jumlah mereka melebihi kaum perempuan suka nyinyir dalam masalah busana, agama, makanan, asmara, dan lain-lain. Politik di Indonesia berlimpahan nyinyir justru menghapus dan mengurangi pengharapan-pengharapan. Kita masih ingat penjelasan Gorys Keraf mengenai sinisme. Di situ, ada permasalahan keikhlasan dan ketulusan hati. Nyinyir dalam politik cocok dibaca sarkasme bila membuka buku pelajaran lama. Di situ, ada kepahitan dan celaan. Misi kebaikan absen.


Kita belum selesai dengan politik nyinyir, ada susulan nyinyir dalam film berjudul Tilik. Skenario oleh Bagus Sumartono dan disutradarai Wahyu Agung Prasetyo. Para penonton film seperti belajar (lagi) kenyinyiran melalui para tokoh ibu dan penggunaan bahasa Jawa. Komentar-komentar dipamerkan di media sosial “mengesahkan” tokoh bernama Bu Tejo itu nyinyir. Di atas truk, para ibu bergerak menuju rumah sakit untuk “tilik” atau menjenguk Bu Lurah. Selama perjalanan, Bu Tejo cerewet. Ia gampang menuduh orang lain dengan pilihan kata memicu tanggapan. Kata-kata khas pergosipan. “Focus” di Tribun Jateng, 22 Agustus 2020, menanggapi: “Pertanyaan tentang hubungan Dian dan Fikri, yang merupakan anak lurah, dari seorang ibu, memantik gibah berkepanjangan. Ini terjadi lantaran dalam percakapan berikutnya, Bu Tejo melempar pertanyaan bernada nyinyir …”


Para penonton menikmati obrolan seru kaum ibu mengenai politik tingkat desa, perempuan, asmara, pekerjaan, keluarga, dan lain-lain. Bu Tejo menjadi tokoh paling seru. Seribu kata terucap dan wajah memberi “kepastian” atau ledekan. Sekian ibu turut dalam obrolan menggunakan sumber-sumber dari internet dan pengamatan sepintas. Truk menderu di jalan tapi deru kata-kata para ibu lebih kencang. Penonton sembrono mungkin mengira kumpulan ibu di truk itu persekutuan nyinyir meski ada pihak bertentangan. Dampak dari kenyinyiran adalah fitnah.


Film tamat, “kenyinyiran” berlanjut di media sosial. Para penonton saling berbagi pendapat. Mereka “nyinyir” gara-gara perbedaan pendapat atas film. Sekian penonton menganggap film “menempatkan” para ibu dalam posisi tak untung. Film mirip kamus. Tokoh berlaku nyinyir adalah perempuan. Lelaki sebagai sopir truk “lolos” dari kenyinyiran tapi terdampak dalam lelucon. Ia mungkin dianggap lelaki memilih kalem ketimbang mengumbar kata-kata membadai dalam jemaah gosip. Nyinyir itu tema membesar di media sosial saat Agustus belum selesai.


Kita semakin dibingungkan dengan nyinyir-nyinyir bermunculan setiap hari. Hidup menjadi terlalu ramai dan ruwet. Kita ingin hening dan tulus tapi godaan nyinyir terus berdatangan setiap detik melalui gawai, televisi, koran, dan pertemuan-pertemuan bersama orang lain. Kita terlalu gampang terkena wabah nyinyir. Buku pelajaran dan kamus belum sanggup menghindarkan kita dari salah pengertian tentang nyinyir dan dampak-dampak buruk silih berganti. Begitu.


_____________

Bandung Mawardi,

pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,

Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020)

FB: Kabut







153 tampilan

Comments


bottom of page