Menyapulah!
BERITA-BERITA di koran dan televisi seperti memberi bukti bahwa jumlah orang menyapu di Indonesia “bertambah”, dari hari ke hari. Orang-orang menyapu itu mungkin tak memiliki kebiasaan menyapu di rumah, setiap hari. Mereka masih bingung memegang sapu dan menggerakkan sapu. Belasan hari, menyapu menjadi berita sering tampil di halaman-halaman koran. Foto beradegan orang menyapu ditonton publik tampak “memalukan” dan “lucu”. Para penyapu menjadi tontonan. Pengesahan adalah pengenaan rompi. Kita mulai meragu makna menyapu: peristiwa membersihkan sampah atau “teater hukuman” atas pelanggaran.
Berita dari Blora. Kita tak sedang mengingat Cerita dari Blora gubahan Pramoedya Ananta Toer. Sekian hari lalu, publik melihat adegan wagu oleh pejabat dan para pegawai BKD (Badan Kepegawaian Daerah) Blora. Peristiwa terekam telanjur beredar di media sosial. Pada 11 September 2020, belasan orang mengadakan acara di Kantor BKD. Mereka tak mengenakan masker saat membuat hiburan dengan menyanyi dan berjoget. Mereka dalam situasi berisiko berkaitan seruan-seruan pemerintah tentang penanggulangan wabah.
Mereka itu pegawai pemerintah tapi “ingkar” dengan serbuan seruan pemerintah, setiap hari. Di mata publik, mereka membuat peristiwa “meledek” kebijakan-kebijakan pemerintah. Mereka terbukti melakukan pelanggaran dalam kaidah-kaidah pemerintah: Perbup No 55 Tahun 2020 tentang penerapan disiplin dan penegakan hukum protokol kesehatan. Hukuman pun diberikan bermaksud memberi “malu” dan “jera” (Jawa Pos, 18 September 2020)
Dulu, kita berpikiran hukuman-hukuman berkaitan peraturan pemerintah sering “kejam” atau “berat”. Kita salah menduga hukuman bakal berat bagi belasan orang di BKD Blora. Pemberian hukuman pun menjadi berita. Kita seperti diundang mengikuti atau menonton “teater hukuman”. Pagelaran diadakan di Jalan Kolonel Sunandar, Blora, 16 September 2020. Belasan orang dalam busana necis mendapat tambahan mengenakan rompi. Ingat, mereka adalah pegawai terhormat, bekerja di kursi dan meja: menggunakan alat-alat kantor. Mereka dihukum menyapu di jalan. Menyapu itu peristiwa memicu malu. Satpol bertugas mengawasi. Kita “resmi” melihat “teater hukuman” garapan pemerintah. Menyapu tak lama. Sekian menit saja. Orang-orang melihat mereka belum mahir atau tak terbiasa menyapu. Di kantor, petugas kebersihan sudah ada: bekerja rutin menyapu. Mereka berpredikat ASN memiliki jenis pekerjaan harian berbeda, jarang berurusan dengan alat bernama sapu.
Berita dari Blora itu memalukan tapi hampir tanpa makna. Setiap hari, kita jenuh mengikuti berita hukuman-hukuman bagi para pelanggar peraturan mengenakan masker. Menyapu menjadi hukuman sering diberikan di pelbagai kota atau kabupaten. Menyapulah! Dulu, orang mengerti menyapu adalah membersihkan tempat dari segala kotoran. Raga bergerak menyapu memerlukan kemahiran, kesabaran, kekuatan, dan ketelitian. Menyapu tak bisa asal-asalan. Orang memiliki tata cara memegang dan menggerakkan sapu. Posisi raga juga dipertimbangkan agar tak lekas capek atau salah tingkah. “Teater hukuman” menyapu dianggap mengacu peraturan tapi berdampak “buruk” dalam kesejarahan menyapu berkaitan kebersihan, keluarga, ritual, sosial, kebahasaan, etika, dan lain-lain.
Kita berharap “tontonan” tak menjadikan bocah-bocah salah tafsir dengan menyapu. Di rumah dan sekolah, mereka diajari menyapu oleh orangtua dan guru melalui pelbagai cerita dan nasihat. Pada masa wabah, bocah-bocah mulai berpikiran sembarangan melihat orang-orang menyapu di jalan. Menyapu adalah hukuman, berbeda makna saat bocah menyapu di rumah dan sekolah. Ikhtiar mengajari bocah tentang kebersihan, keindahan, dan kesehatan bermula dari menyapu mudah pudar oleh tontonan-tontonan tak bermutu dan memalukan berdalih pelanggaran protokol kesehatan.
Ikhtiar mengajari bocah tentang kebersihan, keindahan, dan kesehatan bermula dari menyapu mudah pudar oleh tontonan-tontonan tak bermutu dan memalukan berdalih pelanggaran protokol kesehatan.
Kita mengingat sejenak ikhtiar AT Mahmud dalam buku berjudul Pustaka Nada (2008) mengajak bocah memberi arti benda bernama sapu dan kebiasaan menyapu setiap hari. Lagu itu berjudul “Membuang Sampah”. Kita mengutip lirik:
Jangan membuang sampah di mana-mana
Jagalah kebersihan di lingkunganmu
Sampah di rumahmu, sampah di halaman
Sapu dan bersihkan, buang di tempatnya.
Lagu mengajarkan kemauan menyapu. Bocah mengetahui misi menyapu. Pengetahuan dan pengalaman bocah berbeda dari para pegawai di Blora atau para pelanggar peraturan protokol kesehatan di pelbagai kota. Mereka mungkin tak memiliki (lagi) kebiasaan dan “filsafat” menyapu. Mereka hidup dalam tata kehidupan “dimanjakan” tanpa kerepotan menyapu. Publik perlahan menganggap menyapu itu peristiwa dikerjakan pembantu rumah tangga, tukang sapu di dinas kebersihan, atau pegawai digaji oleh pihak sekolah, kampus, dan kantor. Menyapu adalah “pekerjaan” meski lazim dipandang “rendahan” dengan gaji kecil. Kita belum rampung mengurusi cerita dan pemaknaan menyapu, pemerintah malah membuat pertunjukan “teater hukuman” menyapu.
Menyapu adalah “pekerjaan” meski lazim dipandang “rendahan” dengan gaji kecil. Kita belum rampung mengurusi cerita dan pemaknaan menyapu, pemerintah malah membuat pertunjukan “teater hukuman” menyapu.
Semula, menyapu peristiwa dalam kehidupan di rumah. Orangtua mengajak bocah-bocah berbagi tugas, sejak pagi. Menyapu menjadi peristiwa bermakna pagi hari. Menyapu lantai dan pekarangan rumah. Dulu, bocah-bocah juga menyapu di jalan masih tanah, belum beraspal. Mereka bisa mengartikan menyapu sebagai cara mengalami pagi, menikmati pemandangan, menghibur dengan bersenandung, belajar menggambar di tanah, atau melakukan pengamatan tanaman. Pada saat menyapu lantai di rumah, mereka semakin mengerti diri, keluarga, dan segala benda berada dalam rumah. Menyapu itu peristiwa keseharian, belum pekerjaan bergaji.
Pada masa bertumbuh dewasa, menyapu mulai jarang diselenggarakan berdalih kuliah atau bekerja. Pengertian-pengertian menyapu berubah. Kita perlahan memaklumi atas kehilangan adegan menyapu keseharian, setelah arsitektur rumah berubah, jalan-jalan beraspal, dan waktu dimiliki untuk kemalasan atau hal-hal menghasilkan untung. Menyapu bukan lagi “pengajaran” makna-makna seperti warisan para leluhur. Semua semakin berjarak dan menjauh setelah ditambahi berita dari Blora. Para ASN menyapu di jalan tampak “kewaguan” agak sulit berterima di akal dan adab mengacu “pengajaran” menyapu dari masa lalu.
Dulu, orang Jawa mengartikan sapu sudah ada kaitan dengan hukuman tapi tak berlebihan atau bersandiwara picisan seperti pada masa wabah. Poerwadarminta dalam Baoesastra Djawa (1939) mengartikan sapu: piranti dianggo reresik oewoeh sing digawe sada, doek, sepet, lan sakpitoeroete. Sapu itu benda digunakan dalam peristiwa menyapu. Orang di Jawa mengatakan “nyapu”. Orang-orang lawas mengartikan “disapoe” adalah “dioekoem sarana digeboegi”. Sapu digunakan untuk menghukum dengan cara digebuk ke raga. Sapu sempat mengingatkan hukuman tapi berbeda dari peristiwa pameran hukuman oleh satpol atau pelbagai pihak dalam pemenuhan peraturan protokol kesehatan menanggulangi wabah. Pada 2020, kita mendapat pengertian besar bahwa menyapu itu hukuman. Menyapu itu membuat malu. Menyapu adalah tontonan publik membikin jemu. Begitu.
_____________
Bandung Mawardi,
pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,
Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020)
FB: Kabut
Comments