Menghitung Gaji, Hari Demi Hari
SEMULA, kita mengenali sosok itu artis. Ia moncer dengan suara merdu menghasilkan uang. Di Indonesia, penghasilan dalam industri musik itu jarang disebut gaji. Pada masa berbeda si artis berada di lakon politik. Ia menjadi orang bergaji di DPR.
Kita simak masalah diungkap artis berpolitik di Media Indonesia, 15 September 2021: “Uang senilai Rp 16 juta didapatkannya dari gaji pokok, sedangkan Rp 59 juta sebagai tunjangan. Namun, ia mengatakan ada potongan dari upah yang diperolehnya sebagai anggota dewan.” Kita diajak berpikiran pemerolehan uang dengan beragam sebutan. Berita kecil tapi membuat pembaca geleng-geleng atau menutup mata berimajinasi memiliki duit puluhan juta saat wabah belum sirna. Sekian orang mungkin membuka kamus untuk mengetahui gaji, tunjangan, dan upah. Sekian orang membaca peraturan-peraturan bertema pekerjaan di Indonesia.
Di editorial Media Indonesia, kita juga membaca masalah gaji: “Tuntutan kompetensi ASN yang lebih baik sesungguhnya kewajaran dari kesejahternaan yang terus meningkat. Gaji pokok telah beberapa kali dinaikkan, terakhir pada 2019 dan kini juga berembus kabar adanya kenaikan lagi pada tahun depan. Ditambah lagi dengan gaji ke-13, sudah saatnya pemerintah tidak lagi memanjakan ASN.” Gaji selalu saja masalah berkaitan pekerjaan, kehormatan, negara, dan lain-lain. Hari demi hari, gaji itu tema keterlaluan bagi kita mengetahui kecurangan, kemalasan, kebusukan, keamburadulan, dan kesombongan dalam lakon-lakon pekerjaan mendapat gaji tinggi.
Hari demi hari, gaji itu tema keterlaluan bagi kita mengetahui kecurangan, kemalasan, kebusukan, keamburadulan, dan kesombongan dalam lakon-lakon pekerjaan mendapat gaji tinggi.
Urusan uang dan sebutan-sebutan membuat pusing, sebelum kita tersadarkan ada permasalahan bahasa. Kita iseng meluangkan waktu membaca buku berjuduk Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia (1975) susunan JS Badudu. Kita sejenak belajar bahasa untuk kecewa dan sebal mengetahui pamrih-pamrih duit di Indonesia. JS Badudu memberi contoh kalimat: “Selama menunggu keputusan pensiunnya, dia menerima uang buta setiap bulan.” Dulu, orang-orang memiliki babak pensiun sering berpredikat PNS. JS Badudu mengartikan uang buta: “gaji yang diterima walaupun tidak aktif lagi bekerja.” Uang buta bisa pula disebut gaji buta. Kita lanjutkan membaca contoh lain: “Anggota DPR menerima uang duduk tiap kali menghadiri sidang.” Pengertian dibuat JS Badudu: “uang sidang, honorarium bersidang.” Kita tak menemukan “uang sidang” dalam penjelasan artis berpolitik bernama Krisdayanti.
Kita tinggal si artis berganti berpikiran tentang orang-orang bekerja sudah mengadakan “bekal-bekal” saat pensiun. Kita mengartikan “bekal” adalah uang. Nurhali mengatakan: “Pensiun itu waktunya istirahat, masak bekerja lagi.” Ia adalah kepala SMKN 5 Tangerang. Di Jawa Pos, 16 September 2021, ia diberitakan gara-gara memiliki harta 1,6 triliun rupiah sesuai laporan disampaikan ke KPK. Kita mengutip: “Menurut undang-undang, kepala sekolah seperti Nurhali sejatinya tak masuk kategori pejabat negara yang wajib melaporkan kekayaan. Tak terbersit ikut pemilihan umum kepala daerah. Nurhali cuma ingin istirahat saat pensiun dua tahun lagi.” Sosok mau pensiun tapi sudah memiliki uang. Berita berbeda dengan contoh kalimat diajukan JS Badudu dalam menerangkan “uang buta” atau “gaji buta”. Kita mungkin iri dengan orang-orang mengerti pensiun, setelah sekian tahun mendapat gaji.
Kita lupakan artis, orang di DPR, atau ASN mau pensiun. Kita “dihibur” oleh Remy Sylado dengan puisi berjudul panjang. Puisi masih memasalahkan uang. Kita membaca tanpa keinginan tertawa meremehkan puisi berjudul “Seorang Penyair Lapar Mengirim Puisinya Kepada Sebuah Suratkabar Pagi Lantas Dimuat Setelah Enam Bulan Menunggu Honornya Selama Tiga Bulan Pas Untuk Beli Tahu Sumedang Dua Keranjang dan Setelahnya Memakannya Semua Ia Teurab Sebisanya.” Judul melelahkan bagi pembaca susah mengatur napas. Kita sampai isi puisi: Aaaa! Sejak lama, kita mengenal istilah honor bagi para penulis puisi, cerita, atau esai di koran dan majalah. Konon, honor tak searti dengan gaji.
Berita dan puisi menimbulkan masalah bagi kita belum terbiasa membuka kamus-kamus atau melakukan studi kebahasaan. Kita iseng lagi membuka Kamus Indonesia (1951) susunan E. St. Harahap. Gaji berarti “upah, gandjaran pekerdjaan.” Kita teringat si artis bicara dengan diksi gaji, tunjangan, dan upah. Ia tak memasalahkan honor. Kamus itu memuat pengertian cepat berubah atau bertambah. Di kamus-kamus terbaru, gaji tak lagi memiliki arti sederhana seperti masa lalu.
Kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988). Gaji diartikan: “upah kerja yang dibayar dalam waktu yang tetap; balas jasa yang diterima pekerja dalam bentuk uang berdasarkan waktu tertentu.” Kita dikenalkan sekian istilah: gaji bulanan, gaji buta, dan gaji pokok.” Orang menulis puisi seperti diungkapkan Remy Sylado tak menerima gaji tapi honor. Kita lanjutkan mengutip pengertian honorarium: “upah sebagai imbalan jasa (yang diberikan kepada pengarang, penerjemah, dokter, pengacara, konsultan, tenaga honorer); upah di luar gaji.” Kita mulai mengerti dan mengangguk.
Hari-hari masih wabah, kita berpusing uang. Kita mengaku mengerti gaji dan honorarium mesti bertambah mencari pengertian “imbal tunai”. Kita mengikuti berita di Kompas, 16 September 2021. Kasus (tak) aneh gara-gara dunia bergawai: “Mereka membuat akun untuk membeli barang dari toko sendiri. Dari transaksi itulah didapatkan cashback.” Istilah berbahasa Inggris itu diterjemahkan imbal tunai. Siasat curang demi menghasilkan uang seolah dari perniagaan. Dulu, kita pernah mengetahui “imbalan”. Pada masa berbeda, sebutan-sebutan baru bermunculan dipengaruhi bahasa Inggris setelah sibuk dengan aplikasi-aplikasi.
Kita mengutip lagi berharap makin mengerti: “Tersangka HM, misalnya, mengoperasikan enam gawai dengan delapan akun pembeli. Semua akunnya terhubung ke satu nomor untuk mengumpulkan imbal tunai.” Orang-orang belum terbiasa dengan hidup berakun dan membeli dengan tata cara baru cukup dipusingkan dengan gagasan uang menggunakan sebutan dari aplikasi atau sistem bergawai. Pada 20219, pelajaran belum selesai berurusan pekerjaan, kedudukan, uang, dan sebutan. Kita masih harus “berkamus” sebelum kewalahan dalam mengingat dan menerima pengertian-pengertian baru. Begitu.
Bandung Mawardi
pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,
Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020),
Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020)
FB: Kabut
コメント