Mencicipi Rasanya Kuliah di Negeri Ratu Elizabeth
BAGI seorang pelajar atau mahasiswa, awal tahun merupakan waktu yang tepat untuk sedikit meregangkan badan dan pikiran karena sudah memasuki saat liburan setelah menempuh satu semester yang panjang. Namun, nampaknya hal tersebut tidaklah dapat diyakini benar sepenuhnya karena justru sebagian kecil dari mereka harus memasuki saat-saat yang cukup menyibukkan. Banyak lembaga, institusi, atau perusahaan yang membuka pendaftaran beasiswa untuk dapat studi di luar negeri pada waktu awal tahun ini. Sebagian dari pelajar atau mahasiswa kemudian berbondong-bondong mengakses website beasiswa studi luar negeri tersebut untuk mencari tahu seputar syarat dan benefit apa yang dapat mereka peroleh darinya. Cukup banyak dari mereka yang kemudian tampak percaya diri karena sudah memenuhi persyaratan teknis seperti dokumen, kemampuan bahasa, dan/atau sertifikat-sertifikat pendukung guna melanjutkan studi ke luar negeri.
Perihal kuliah di luar negeri ini memang menjadi sangat penting untuk seorang yang menomor satukan pendidikan dalam hidupnya. Entah demi tujuan pekerjaan atau sekadar mencari ilmu, kuliah di luar negeri menjadi suatu kebanggaan tersendiri karena untuk lolos harus melewati seleksi yang sangat ketat. Namun, apakah setelah dinyatakan lolos alias diterima sebagai mahasiswa di luar negeri dapat menjamin hidup yang mulus? Apa sebenarnya yang mahasiswa Indonesia alami ketika berkuliah di luar negeri? Wisnu Prasetya Utomo melalui bukunya yang berjudul La La La Leeds!: Catatan Perjalanan Mahasiswa Indonesia di Inggris barangkali dapat sedikit menjelaskan perihal menempuh kuliah di luar negeri tersebut terutama di negeri Ratu Elizabeth tempatnya menimba ilmu, Inggris.
Namun, apakah setelah dinyatakan lolos alias diterima sebagai mahasiswa di luar negeri dapat menjamin hidup yang mulus? Apa sebenarnya yang mahasiswa Indonesia alami ketika berkuliah di luar negeri?
Wisnu menempuh program master Communication and Media di University of Leeds pada kurun waktu 2017 sampai dengan 2018. Dalam waktu hanya sesingkat dua tahun itu, Wisnu mengalami banyak hal yang dapat membuka mata kita bahwa menempuh pendidikan tinggi di Eropa terkhusus Inggris ternyata tidak seindah yang dibayangkan. La La La Leeds! ini merupakan serpihan perjalanan Wisnu saat berkuliah di Kota Leeds, Inggris.
“Jika dirangkum, tulisan-tulisan dalam buku ini mewakili apa-apa saja yang menurut saya menarik dari Inggris: buku, sepakbola, sejarah, dan politk ...” tulis Wisnu (Hlm. 170). Sama seperti bocah laki-laki kebanyakan, masa kecil Wisnu penuh dengan semangat dan antusiasme terhadap klub-klub sepak bola Eropa. Ia sangat menggemari Manchester United, sebuah klub bola yang berdomisili di kota industri Manchester, Inggris. Siapa sangka, ternyata kegemaran terhadap MU ini membawanya menempuh pendidikan di Inggris. Wisnu mengakui sendiri bahwa kegemarannya terhadap MU dan sepak bola Inggrislah yang memupuk harapan untuk terbang ke negeri Ratu Elizabeth. Sepak bola pula yang akhirnya membuat Wisnu ingin mencari tahu lebih banyak mengenai sejarah, politik, dan kehidupan di Inggris saat ia masih kecil hingga beranjak remaja dan kemudian memutuskan untuk melanjutkan S2 di Unversity of Leeds.
Wisnu mengakui sendiri bahwa kegemarannya terhadap MU dan sepak bola Inggrislah yang memupuk harapan untuk terbang ke negeri Ratu Elizabeth.
Namun, bayangan manis mengenai Inggris dan sepak bolanya ternyata tidak mencerminkan hidup yang benar-benar indah sebagai seorang pelajar di Inggris. Sebagai mahasiswa dari luar negeri, dunia akademis Inggris yang ketat dan padat langsung memaksa Wisnu beradaptasi secara cepat. “... Euforia karena bisa kuliah di Inggris tidak terlalu lama saya rasakan, apalagi begitu masuk masa perkuliahan yang segera menuntut konsentrasi karena daftar bacaan dan tugas-tugas yang sudah menunggu ...” jelasnya (Hlm. 10). Dalam La La La Leeds! Ini, Wisnu memang dengan gamblang menjelaskan seputar dunia akademis kampus Inggris yang sangat menuntut kerja keras.
“... Jika tidak pandai-pandai menambah bahan bacaan, pada akhirnya kita tetap akan kesulitan. Kalau kamu mahasiswa ilmu sosial, bayangkan saja harus membaca atau mengulas buku-buku Theodore Adorno, Juergen Habermas, Stuart Hall, sampai Michel Foucault dalam waktu yang tidak terlalu lama ...,” terang Wisnu (Hlm. 11). Dengan literatur yang seabrek dan harus dituntaskan dalam waktu yang singkat membuat kuliah menjadi sebuah tantangan yang cukup berat. Bahasa Inggris tentunya merupakan kendala yang cukup signifikan karena semua literatur akademis di Inggris hanya tersedia dalam bahasa itu. Tidak cukup kendala bahasa dalam mengakses dan menerima informasi bacaan, persoalan lain adalah dalam menulis karya atau tugas akademis yang memiliki kaidah atau aturan yang sangat ketat. Wisnu menjelaskan bahwa penguasaan bahasa Inggris yang sangat baik belum tentu dapat menjamin akan menghasilkan tugas akademik yang sangat baik pula. Penyusunan ide atau gagasan dalam bahasa Inggris secara akademis pada tugas-tugas yang diberikan oleh dosen merupakan tantangan nyata yang mau tidak mau harus dihadapi setiap mahasiswa internasional di kampus-kampus Inggris.
Wisnu menjelaskan bahwa penguasaan bahasa Inggris yang sangat baik belum tentu dapat menjamin akan menghasilkan tugas akademik yang sangat baik pula.
Terlepas dari dunia akademis Inggris yang menguras tenaga dan pikiran, Wisnu menerangkan bahwa yang juga menjadi beban dari setiap mahasiswa internasional terkhusus Indonesia ialah perihal depresi. Mungkin akan terdengar klise jika dikatakan bahwa kuliah di luar negeri itu jauh dari keluarga, teman, dan sanak saudara sehingga menimbulkan rasa rindu yang berlebihan. Wisnu mengatakan hal tersebut memang benar terjadi dan sangat mempengaruhi mental seorang mahasiswa Indonesia di Inggris. Rasa rindu yang terakumulasi dengan banyak persoalan pribadi dapat menimbulkan depresi. Hal inilah yang pada fase lebih jauh dapat memantik tindakan-tindakan abnormal semacam bunuh diri. “... Banyak hal yang bisa menyebabkan depresi, yang sampai tahap terjauh berujung pada pikiran atau bahkan tindakan bunuh diri ...” jelas Wisnu (Hlm. 115).
Maka, dari sepenggal penjelasan Wisnu tersebut dapatlah diambil sebuah pemahaman baru bahwa cerita klise mengenai rasa rindu terhadap keluarga di Indonesia ternyata juga begitu berpengaruh terhadap mentalitas seorang pelajar Indonesia di luar negeri. Hal ini bukan merupakan suatu hal yang remeh karena sudah terdapat beberapa kasus mahasiswa Indonesia yang depresi lantas kemudian melakukan tindakan-tindakan yang abnormal seperti yang sedang hangat diberitakan belakangan. Entah, yang pasti setelah membaca bagian “depresi” dalam La La La Leeds! ini kita menjadi sama-sama harus berpikir ulang bahwa soal rindu kampung halaman, depresi, pikiran untuk bunuh diri, atau tindakan abnormal ialah merupakan aspek yang juga meliputi kehidupan seorang pelajar Indonesia di luar negeri. Maka, hal ini pulalah yang seharusnya dipikirkan betul oleh pelajar yang ingin melanjutkan studinya ke luar negeri terutama Inggris.
Entah, yang pasti setelah membaca bagian “depresi” dalam La La La Leeds! ini kita menjadi sama-sama harus berpikir ulang bahwa soal rindu kampung halaman, depresi, pikiran untuk bunuh diri, atau tindakan abnormal ialah merupakan aspek yang juga meliputi kehidupan seorang pelajar Indonesia di luar negeri.
Studi di Inggris isinya juga bukan melulu soal tuntutan akademis atau hal lain yang membuat pikiran menjadi pusing tujuh keliling. Tidak. Banyak sekali pengalaman yang hanya bisa didapatkan jika berkuliah di Inggris. Sebagai contoh ialah pengalaman merasakan secara langsung atmosfer historis Inggris. Sejarah pergerakan sosial dan politik Inggris yang Wisnu pelajari semenjak ia masih studi di Indonesia dapat dirasakannya secara rebih riil di sana. Pemikiran progresif ke Kiri-Kirian menjadi salah satu mesin yang menjalankan roda-rodan kehidupan sosial-politik di Inggris. Hal tersebut dialami oleh Wisnu secara nyata dan ia tuliskan dalam La La La Leeds! ini. Ia mengatakan bahwa ide atau gagasan Kiri di Inggris tidak diberangus, melainkan dipelihara dengan baik. Di kota Manchester, terdapat sebuah museum bernama People’s History Museum yang memiliki koleksi sejarah panjang masyarakat Inggris terkhusus ide-ide Kiri yang ada padanya. Hal ini menjadi sesuatu yang positif karena pada akhirnya sejarah atau gagasan yang hadir di tengah-tengah masyarakat menjadi berkembang dan tidak satu arah. “Museum, perpustakaan, film, toko buku, monumen, dan berbagai hal lain menjadi bagian penting dalam merawat ide-ide progresif. Ia tidak menjadi makam bagi ide-ide kiri, tapi justru menghidupkannya ...” tulis Wisnu (Hlm. 58).
Tentu masih banyak lagi serpihan-serpihan perjalanan di Inggris yang Wisnu tulis dalam La La La Leeds! ini. Namun, ide besar yang dapat diambil dari sekian banyak cerita tersebut ialah bahwa kuliah di Inggris tidak sepenuhnya menyenangkan atau pun sepenuhnya menyedihkan. Tidak, tidak seperti itu. Kuliah di luar negeri terkhusus Inggris ialah tentang belajar terhadap banyak hal baik di kampus maupun di luar kampus. Tekanan akademis merupakan tantangan yang cukup berat, pun demikian dengan depresi akibat persoalan pribadi di luar kampus. Oleh karena itu, tindakan abnormal seperti bunuh diri atau kejahatan seksual yang Reynhard lakukan tidaklah terjadi jika pengelolaan diri dan kesehatan mental dapat dijaga.
Dengan gaya penulisan yang mengalir dan tidak membosankan, Wisnu berhasil membuat sebuah featured book yang sangat menarik dan nyaman untuk dibaca. Cerita-cerita yang ditampilkan juga segar sehingga berbeda dari kisah pengalaman mahasiswa Indonesia di luar negeri kebanyakan. La La La Leeds! adalah buku yang insightful bagi pelajar atau mahasiswa yang ingin melanjutkan studinya ke luar negeri terutama Inggris. Buku ini wajib dibaca bagi siapapun yang ingin mencoba peruntungan untuk mencicipi bangku kuliah di negeri Ratu Elizabeth tersebut.
----------
Rahman Cahaya Adiatma
Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada,
Sedang membaca sejarah Indonesia periode abad ke-16 sampai dengan abad ke-18.
Menyukai dan mengikuti karya serta pemikiran Emha Ainun Nadjib.
@rahmancahayaa (Instagram dan Twitter)
Comments