"Medis" dan Politis
PADA 20 Mei 2021, koran-koran sepi dari artikel, iklan, dan berita bertema Kebangkitan Nasional. Situasi masih sulit. Orang-orang meributkan segala hal. Di Jawa Pos, 20 Mei 2021, kita membaca opini berjudul megah: “Kebangkitan Nasional dan Kencendekiawanan.” Penulis bernama Meithiana Indrasari terasa berlebihan membuat kalimat: “Cendekiawan dan bangsa ibarat dua pasang kaki kuda yang saling memacu kemajuan menuju cita-cita kebangsaan.” Kalimat sulit dimengerti tapi tersaji di lembaran koran minta direnungkan para pembaca. Kita ke masa lalu saja ketimbang bingung untuk merenung.
“Didikan dan pimpinan di dalam sekolahan ini begitu baik adanya, sehingga bukan saja sekolahan ini mencukupi akan maksudnya, yaitu memberi kepada masyarakat kita beberapa dokter yang banyak jasanya bagi nusa dan bangsa,” Soetomo menilai STOVIA, tempat ia belajar dan menggerakkan sejarah Indonesia. Soetomo tampil sebagai pemuka dalam pergerakan (politik) kebangsaan, selain menunaikan misi sebagai dokter dan membesarkan pers. STOVIA, tempat terpenting dalam pembentukan biografi dan mencipta sejarah di tanah jajahan. Kita membaca pujian Soetomo melalui buku berjudul Kenang-Kenangan Dokter Soetomo (1984) dengan editor Paul W der Veur.
Soetomo dan para murid STOVIA berikhtiar mengubah nasib dengan pembentukan Boedi Oetomo (1908). Sejarah kecil lekas membesar. Pada masa berbeda, tokoh-tokoh itu menjadi dokter, wartawan, penggerak politik, dan guru. Kita mengerti bahwa institusi pendidikan kedokteran mula-mula tak melulu berurusan kesehatan tapi berdampak jauh ke politik-kultural. Pada awal abad XX, orang-orang pernah belajar di STOVIA dan para dokter menentukan nasib tanah jajahan melalui ide, alat, busana, bahasa, dan buku. Mereka bergerak tapi sadar dilema, penghukuman, dan kebahagiaan. Kehadiran mereka makin bermakna saat gerakan politik membesar berbarengan wabah demi wabah. Kaum terjajah sakit dan korban wabah. Dokter-dokter lulusan STOVIA bekerja tanpa melupa misi-misi politik-kultural.
Sosok penting dan berpengaruh adalah Tjipto Mangoenkoesoemo. Ia turut dalam episode awal Boedi Oetomo tapi lekas meninggalkan gara-gara perbedaan pendapat. Ia tetap saja mengabdi sebagai dokter, tetap galak dalam berpolitik. Soetomo memuji meski pernah bersengketa secara politis: “Sebagai dokter partikelir di Solo, maka tidak sedikitlah kesenangan dan pendapatannya: orang-orang sakit dari macam-macam golongan dan bangsa menaruh kepercayaan padanya, hingga bertambah hari bertambah banyaklah bilangan handai tolannya.” Pujian tanpa turut mencantumkan keterangan bahwa musuh pun makin bertambah dalam kancah politik. Musuh di kalangan sesama bumiputra dan musuh di kubu pemerintah kolonial. Tjipto Mangoenkoesoemo memang pembuat “onar” dan mencipta sejarah pengabdian dalam kesehatan tanpa tanding. Ia sering ruwet dalam politik dan “terkalahkan” tapi menjadi panutan para penggerak bangsa.
Kita sejenak mengingat peran Tjipto Mangoenkoesoemo di Solo melalui buku garapan M Balfas berjudul Dr Tjipto Mangoenkoesoemo: Demokrat Sedjati (1952). Semua bermula dari kecewa atas kebijakan pemerintah kolonial dan gelagat kelembekan Boedi Oetomo. Tjipto Mangoenkoesomo meninggalkan Batavia, memilih hidup di Solo. M Balfas bercerita: “Masa ini adalah masa diam bagi djiwanja jang gelisah. Dengan djarum suntiknja ia dapat menolong si sakit dan dengan djarum suntiknja pula ia mendapat penghasilan jang baik… Dengan pekerdjaan ini tjuma sebagian sadja dari tjita-tjitanja dapat didjalankan: membantu meringankan penderitaan rakjat, dengan tidak memungut pembajaran jang tinggi atau dengan tjuma-tjuma sadja. Tetapi hidupnja tenang, terlalu tenang bagi djiwanja jang gelisah. Ia menunggu si sakit datang ke rumahnja atau pergi ke rumah mereka di kampung-kampung.” Kita mengimajinasikan Tjipti Mangoenkoesoemo tinggal di kota nglaras. Ia tak lagi bergejolak saat berperan menjadi dokter. Di Solo, ia pun lekas membuat onar berakibat terusir gara-gara pemahaman picik kaum feodal dan pemerintah kolonial.
Pada masa lalu, dokter lumrah rajin menulis, turut dalam pentas seni, mengurusi surat kabar, membesarkan pergerakan politik, dan mencipta pendidikan-pengajaran modern. Soetomo dan Tjipto Mangoenkoesoemo bisa menjadi panutan. Dua sosok pernah bersama tapi bersimpang jalan. Peran STOVIA dan para dokter pribumi terbukti menentukan arah sejarah Indonesia. Hans Pols dalam buku berjudul Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia (2019) mengingatkan sejarah bermetafora: “Dengan menggunakan alat intelektual yang mereka dapatkan selama pendidikan medis, para dokter dan pelajar kedokteran Hindia Belanda menjadi ahli diagnosis masyarakat kolonial. Mereka menganalisis proses evolusi sosial dan mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat menghambat atau mempercepatnya, dan mendiagnosis ancaman-ancaman terhadap kesehatan tubuh sosial kolonial sambil memikirkan cara untuk menetralisirnya.” Sejarah Indonesia mulai bermetafora kedokteran. Sejarah itu berlanjut sampai masa sekarang, pernah menguat pada masa revolusi saat Soekarno kelimpungan dalam membuat kebijakan kesehatan dalam situasi politik tak keruan.
Pada masa lalu, dokter lumrah rajin menulis, turut dalam pentas seni, mengurusi surat kabar, membesarkan pergerakan politik, dan mencipta pendidikan-pengajaran modern. Soetomo dan Tjipto Mangoenkoesoemo bisa menjadi panutan. Dua sosok pernah bersama tapi bersimpang jalan.
Terjajah itu “sakit”. Masa demi masa, tanah jajahan menanggungkan “sakit” akibat kebijakan-kebijakan kolonial. “Sakit” berkepanjangan. Kaum bumiputra perlahan mengerti nasib dengan kata-kata berkaitan sakit dan sehat dalam beragam bahasa di Nusantara. Kemunculan kaum terpelajar dan pengesahan profesi dokter bagi pribumi menandakan perubahan besar dalam urusan kesehatan dan politik-kolonial. Sekian kota di tanah jajahan menjadi tempat pergumulan dan sengketa kubu-kubu ingin sehat, mulia, dan bahagia tapi selalu mendapat “sakit”, hukuman, dan penghinaan dalam lakon kolonial. Tatanan hidup awal abad XX, sebelum dan setelah pendirian Boedi Oetomo, mengartikan kesadaran baru bertumbuh di Indonesia. Masa depan mulai terpikirkan secara “medis” tapi dibuktikan gamblang dalam tindakan-tindakan politis. Para tokoh berperan besar, menerima pujian dan makian dalam kerumitan mengartikan pengabdian kesehatan dan pemenuhan misi ideologi di tanah jajahan. Daniel Dhakidae (2003) menempatkan episode STOVIA dan Boedi Oetomo itu sebagai konsekuensi politik etis. Kaum bumiputra melek moderitas dan kedokteran tapi terbelit dalam kapitalisme, politik-kolonial, dan diskriminasi kultural. Dampak sejarah itu makin rumit pada masa 1950-an dan 1960-an.
Diksi-diksi kesehatan atau “medis” termiliki publik dalam arus sejarah Indonesia, sejak awal abad XX sampai sekarang. Pada sekian babak, publik makin mengerti bahasa-bahasa “sakit” melekat dalam politik, selain masalah kesehatan, sosial, dan pendidikan. Babak penting dalam masalah kesehatan dan politik terbaca dalam buku Vivek Neelakantan berjudul Memelihara Jiwa-Raga Bangsa (2019). Sejarah dalam masa kekuasaan Soekarno. Pada masa 1950-an, Indonesia mau “waras” dan mulia tapi segala keterbatasan dan kisruh membuat Indonesia “sakit” setelah sanggup bercerai dari kolonialisme. Kerja besar mutlak diselenggarakan demi Indonesia sehat: jiwa dan raga.
Pemerintah tak sanggup bekerja sendirian, memerlukan bantuan-bantuan asing atau uluran pihak-pihak partikelir. Kerja besar masih direpotkan dengan adu ideologi berlatar Perang Dingin. Pada saat Indonesia masih menderita gara-gara malaria, sekian kebijakan terasa dilematis. Misi politik dan ekonomi biasa mendikte program-program kesehatan di Indonesia dan negara-negara di dunia ketiga saat menerima atau terpaksa turut dalam paket bantuan Amerika Serikat dan WHO. Vivek Neelakantan mengingatkan babak 1950-an: “… kontrol penyakit tropis, termasuk malaria, adalah bagian vital untuk ekonomi pasca-Perang Dunia II dalam memastikan pasokan bahan baku yang tak terputus ke industri Amerika Serikat dan menciptakan pasar luar negeri. Selain itu, kontrol penyakit tropis seperti malaria dianggap sebagai senjata ampuh dalam perang melawan komunisme.”
Masa lalu terlalu ruwet. Kita masih menengok babak-babak sejarah saat mengetahui Indonesia masa sekarang terjerat dalam dilema-dilema: wabah, kesehatan, politik, dan investasi. Situasi-situasi masa lalu masih mungkin terbaca untuk mengerti masa sekarang. Selama wabah, kita sibuk dan bingung dengan segala polemik kebijakan-kebijakan pemerintah atau seruan-seruan dari pelbagai lembaga internasional. Di publik, keruwetan-keruwetan bertamabah berkaitan kesehatan dan tatanan hidup berubah drastis. Kita mengerti situasi abad XXI terlalu berbeda dengan situasi saat kaum bumiputra sekolah di STOVIA, pendirian Boedi Oetomo, dan kerja-kerja politik para dokter di tanah jajahan. Mereka dalam babak sejarah perlahan tersingkap meski tak utuh. Kini, Indonesia dalam sejarah dilematis berkepanjangan. Begitu.
Bandung Mawardi
pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,
Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020),
Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020)
FB: Kabut
Comments