"Masinis" di Sidang Sejarah
Bandung Mawardi
HARI Lahir Pancasila itu tanggal merah atau liburanl. Jawa Pos tetap terbit, memuat artikel berjudul “Meneguhkan Ideologi Saat Pandemi” oleh Suparto Wijoyo. Kita membaca tanpa tergesa. Di situ, dicantumkan nama-nama penting: Soekarno, M Yamin, dan Soepomo. Para tokoh berpengaruh dalam Sidang BPUPKI (29 Mei-1 Juni1945). Artikel itu “melupakan” nama penting dalam sidang. Pada 1 Juni 1945, pidato bersejarah memang disampaikan oleh Soekarno. Kita mengingat sejarah itu “menghasilkan” dasar negara: Pancasila. Kita memastikan mengingat Pancasila dan Soekarno. Di peristiwa sejarah, Soekarno tak sendirian. Ia bersama para tokoh pemikir dan penggerak bangsa. Di ruangan sidang, orang-orang mendengar, merenung, dan tepuk tangan. Sejarah hampir mirip “teater” paling menakjubkan dalam sejarah Indonesia.
Di peristiwa sejarah, Soekarno tak sendirian. Ia bersama para tokoh pemikir dan penggerak bangsa.
Kini, kita ingin mengingat tokoh penting di peristiwa bersejarah. Ia bertugas “meminta” jawaban dari para tokoh berkaitan dasar negara. Ia memimpin sidang dan mengarahkan acara memuliakan ide-imajinasi Indonesia. Tokoh itu bernama Radjiman Wediodiningrat (1879-1952). Pada saat tua, ia masih memiliki peran besar dalam arus sejarah Indonesia. Penampilan rapi dan tutur kata sopan menjadikan Radjiman Wediodiningrat sosok disegani oleh kaum tua dan kaum muda dalam gejolak politik nasionalisme. Tokoh memiliki masa lalu sering mendapat pujian dan kecaman dari sesama kaum pergerakan dengan haluan intelektual dan ideologi berbeda.
Penampilan rapi dan tutur kata sopan menjadikan Radjiman Wediodiningrat sosok disegani oleh kaum tua dan kaum muda dalam gejolak politik nasionalisme.
Pada peringatan Hari Pancasila, orang-orang cenderung mengingat melulu Soekarno. Kita sengaja mengajukan Radjiman Wediodiningrat mumpung peringatan untuk sejarah Boedi Oetomo dan Hari Pancasila berdekatan (Mei-Juni). Radjiman Wediodiningrat terlibat dalam sejarah “berkaitan”, sejak 1908 sampai 1945. Kita ingin menghormati melalui pembacaan (ulang) melalui Babad Wedyadiningratan. Pada 1938, buku berbahasa Jawa itu terbit, memuat biografi sang tokoh, sejak kecil sampai masa pensiun sebagai dokter. Pada 1980, buku itu diterjemahkan ke bahasa Indonesia diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Buku jarang menjadi referensi atau dikutip dalam tulisan-tulisan mengenai sejarah Indonesia dan ketokohan berlatar Jawa memiliki pijakan sastra, teosofi, dan nasionalisme.
Pada masa remaja, Radjiman Wediodiningrat memiliki cita-cita sebagai masinis. Sejak akhir abad XIX, Jawa berubah oleh kereta api. Si remaja itu terpana dengan “kemadjoean”, mengartikan kereta api adalah keajaiban di dunia. Pada saat kesulitan ongkos sekolah dan berkemungkinan putus sekolah, ia tabah dan mulai merancang masa depan: “… selanjutnya ingin bekerja sebagai masinis kereta api, suatu pekerjaan yang diidam-idamkannya sejak kecil.” Ia ingin menghasilkan nafkah, sungkan menjadi beban keluarga dan kerabat. Konon, ia memahami pekerjaan masinis adalah “mengatur pelbagai peralatan yang banyak”. Pada masa dewasa dan profesi terhormat sebagai dokter, ia memilih terlibat dalam pergerakan kebangsaan. Ia malah menjadi “masinis” menggerakkan sejarah.
Ia tetap bersekolah, berlanjut menempuh studi di Sekolah Dokter Jawa. Radjiman Wediodiningrat belajar kedokteran berbarengan mengembangkan kemahiran bermain gamelan dan bersastra. Ia lulus pada 22 Desember 1898. Nasib baik dimiliki dengan pengangkatan menjadi dokter Jawa di Batavia, 14 Januari 1899. Pada tahun berbeda, Radjiman Wediodiningrat berdinas di Banyumas, Semarang, Madiun, Sragen, dan Surakarta. Pada saat bertugas sebagai dokter, ia larut dalam studi filsafat dan teosofi.
Pada saat dinas di Sragen, Radjiman Wediodiningrat semakin keranjingan seni Jawa. Ia mendapat sokongan dari bupati di Sragen, KRT Sumanagara. Sekian tokoh diajak oleh Radjiman Wediodiningrat mendirikan Wedha Sanjaya, komunitas sering mengadakan sarasehan mengenai seni, ilmu, dan filsafat Jawa. Ia pun sering bepergian ke Solo menghadiri acara-acara perkumpulan teosofi. Jalan hidup mendapatkan terang. Ia terus bergerak dan terlibat dalam pelbagai perkumpulan sampai menggerakkan Budi Utomo (1908).
Pada 26 Agustus 1906, ia mendapat pangkat sebagai Mantri Nayaka Luar dengan pemberian nama Mas Ngabehi Dokter Mangunhusada. Pangkat memberikan sokongan hidup: “sawah gaduh seluas lima jung yang berpenghasilan delapan ratus setiap setengah tahun, ditambahi gaji bulanan f 50”. Selama berdinas di Surakarta, ia menjadi tokoh tenar dan dihormati. Radjiman Wediodiningrat dalam keadaan hidup sudah mapan. Ia semakin ingin meningkatkan kemampuan intelektual dan terlibat dalam gerakan sosial-kultural.
Pada saat pendirian dan kongres Budi Utomo (1908), Radjiman Wediodiningrat usul mengenai dasar-dasar organisasi. Ia mengamati kaum terpelajar di Hindia Belanda “sedang sangat silau terhadap sinar dari Barat”. Usulan diberikan agar Budi Utomo berpijak peradaban Timur mengacu ke wayang. Pemikiran kejawaan itu mendapat bantahan dan ejekan. Pembantah paling keras adalah Tjipto Mangoenkoesoemo. Keinginan berperan besar dalam Budi Utomo justru menimbulkan polemik seru. Radjiman Wediodiningrat (1908) menganjurkan harus ada keseimbangan peradaban Barat dan Timur.
Usulan diberikan agar Budi Utomo berpijak peradaban Timur mengacu ke wayang. Pemikiran kejawaan itu mendapat bantahan dan ejekan. Pembantah paling keras adalah Tjipto Mangoenkoesoemo.
Laporan di Jong Indie memuat deskripsi pidato Radjiman Wediodiningrat bermasalah: “…ilmu pengetahuan Barat bukan saja tidak perlu tetapi juga tak masuk akal bagi penduduk pribumi, sangat menjengkelkan para peserta kongres karena merasa Radjiman Wediodiningrat memperolok-olok semangat mereka. Kedudukannya sebagai dokter keraton agaknya menjadi bukti lebih lanjut bagi kongres bahwa Radjiman Wediodiningrat itu seorang reaksioner. Lalu, mereka melampiaskan kenjengkelan melalui pekik-pekik ketidaksetujuan serta suat-suit riuh rendah” (Akira Nagazumi, Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918, 1989). Kepriyayian dan “kekolotan” mengakibatkan pembedaan kubu-kubu berseberangan di Budi Utomo. Kritik keras diberikan oleh Tjipo Mangoenkoesoemo sebagai “anak si kromo”. Ia ingin kemajuan dan pendidikan itu digerakkan bersama kaum kromo, tak cuma di kalangan priyayi.
Langkah belum rampung. Pada 1909-1910, Radjiman Wediodiningrat melanjutkan studi kedokteran ke Belanda. Ia masih kukuh dengan pemikiran berdasarkan Jawa untuk memajukan tanah jajahan. Pada saat di Belanda, ia memberi ceramah berjudul “Tambahan Studi tentang Hidup dan Jiwa Orang Jawa”. Petualangan berlanjut dengan belajar dan mengunjungi negara-negara di Eropa. Pada 1921, ia memberi pidato dalam kongres Budi Utomo. Makalah berjudul Reconstructie idee der Javaansche Maatschappij atau “Pengembalian sebagai Semula Gagasan Masyarakat Jawa”. Ia sering mengutip sastra-sastra klasik di Jawa, terutama Yasadipura. Pada masa 1930-an, ia semakin tekun mempelajari sastra Jawa dan mengadakan ceramah-ceramah. Ia mahir menafsirkan ajaran-ajaran dalam Dewaruci, Tus Pajang, Cebolek, Arjunawiwaha, dan lain-lain. Peran bagi Indonesia belum selesai. Ia terus bergerak menuju masa 1940-an.
Pada 1945, Radjiman Wediodiningrat semakin tua tapi masih kuat dan berpengaruh menggerakkan gerbong-gerbong ide Indonesia. Ia memimpin sidang BPUKPI dengan kesantunan. Radjiman Wediodiningrat bertugas meminta jawaban paling berterima mengenai dasar negara bila Indonesia merdeka. M Yamin, Soepomo, dan Soekarno memberi jawaban. Kita simak deksripsi dan perasaan Soekarno saat berada dalam sidang: “Aku duduk mendengarkan pembitjaraan simpang-siur ini dan membiarkan setiap orang mengeluarkan pendapatnja. Buluku berdiri tegak mendengarkan mereka mendjelaskan rentjana masing-masing jang mengemukakan segala matjam perkara ketjil-ketjil. Mereka terlalu banjak men-djika dan terlalu banjak mengira-ngira. Melihat semua ini semua kukira tak seorangpun dari kami jang akan mengenal kemerdekaan hingga masuk keliang kubur”.
Ia memimpin sidang BPUKPI dengan kesantunan. Radjiman Wediodiningrat bertugas meminta jawaban paling berterima mengenai dasar negara bila Indonesia merdeka.
Soekarno pun menjawab dengan pidato menakjubkan. Ia menjelaskan menggunakan diksi dan sikap raga seperti “aktor terbesar” di ruangan sedang penat. Pada 1 Juni 1945, pidato itu mengubah segala ragu dan curiga. Radjiman Wediodiningrat mendengar saksama dan memberi hormat atas jawaban menawan. Soekarno selesai berpidato, ruangan itu meriah. Ingatan Soekarno: “Tepuk tangan menggegap gempita. Wakil-wakil dari daerah ini melompat dari korsinja dan menerima falsafah negara jang kuusulkan dengan suara aklamasi” (C Adams, Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat Indonesia, 1966). Sidang rampung tapi tugas Radjiman Wediodiningrat belum selesai. Ia masih bersama Soekarno dan kaum pergerakan menunaikan misi-misi kemerdekaan. Semua memuncak dalam keberanian “lepas” dari pengaruh Jepang dengan mengadakan proklamasi. Sejarah pun terus bergerak. Begitu.
_________
Bandung Mawardi,
pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,
Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku
Pengisah dan Pengasih (2019)
FB: Kabut
Comentários