Makanan Berjudul Mubazir
Berita-berita global kadang sesalan dan lara. Pada saat publik berpikiran tentang sampah plastik bakal menghancurkan dunia, ada susulan duka. Kita diundang merenungi sampah makanan, tak cuma sampah plastik telah mengakibatkan petaka-petaka. Makanan masih bisa disantap justru “terbiarkan” jadi sampah gara-gara kegagalan mengelola atau membagikan ke pihak-pihak paling berhak. Kaum kelaparan masih ada di pelbagai negara, menanti pangan untuk hidup. Di sekian negara, makanan-makanan lekas menjadi sampah atau sengaja “disampahkan” dengan dalih-dalih membikin luka kemanusiaan.
Kita membaca di Kompas, 21 September 2019: “Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) memperkirakan sepertiga makanan yang diproduksi di dunia untuk konsumsi manusia setiap tahun, atau sekitar 1,3 miliar ton, hilang karena menjadi sampah, bukan dikonsumsi. Mayoritas makanan itu adalah buah dan sayuran, termasuk umbi-umbian.” Kita pun berpikiran tentang makanan pokok berbeda jenis di sekian negara atau komunitas etnik. Pengetahuan pangan dan tata cara mengonsumsi pelbagai hal di keseharian terasa mengalami “pengacauan”. Pengetahuan pangan bersumber dari alam, kitab suci, kekuasaan, teknologi, dan lain-lain membuat masalah pangan sering rawan, dari masa ke masa. Pengetahuan itu bersua dengan deretan masalah-masalah besar membuat manusia di adab-kemajuan atau berada di tindak-tindak kebiadaban.
Masalah itu menggawat saat musim kemarau, bencana, dan perang. Salah kelola di industri atau bisnis diatasi dengan pembuatan kebijakan-kebijakan mendesak dan wajib. Sasaran kebijakan adalah keluarga, sekolah, perusahaan, instansi pemerintah, komunitas, dan lain-lain. Kebijakan mengarah ke undang-undang mengandung perintah dan larangan. Penentu penting pula praktik bersumber dari ajaran leluhur, agama, atau permufakatan sosial-kultural berpijak ke religiositas, alam, dan kemanusiaan. Makanan itu tema besar! Di kubu ingin memuliakan hidup dan kemanusiaan, makanan diperlukan tanpa pamrih-pamrih pemujaan selera-kenikmatan atau persaingan gengsi. Di seberang kewajaran, industri makanan kadang di pemanjaan dan keberlebihan menuruti kapital dan pembuatan “rekor-rekor” kedustaan.
Kesalahan demi kesalahan terkuak bagi orang-orang tersengat oleh berita-berita mutakhir bertema makanan itu mubadzir. Kita perlahan mengusut di pengasuhan keluarga, pendidikan di sekolah, kesusastraan, iklan, ceramah keagamaan, lagu, dan lain-lain sebagai perkara memberi pengaruh baik-buruk di pengetahuan pangan, sejak bocah sampai menua. Kita mengingat dulu masalah makanan itu pelajaran di sekolah-sekolah. Makanan cuma dicantumkan di halaman-halaman buku pelajaran atau pengisahan dari guru mendapat imbuhan dari pengalaman keseharian. Di sekolah, makanan itu “terlalu” menentukan di angan mengajak murid-murid menjadi pintar, bijak, rasional, nasionalis, dan religius.
Makanan di sekolah mengingatkan sarapan, kantin, “katering”, dan pedagang di depan sekolah. Bocah-bocah ke sekolah masih membawa pengertian minta uang saku untuk jajan. Di jeda belajar, mereka jajan. Pihak sekolah kadang membuat kebijakan menentukan jenis jajanan dengan pengelolaan serius, menghindarkan murid dari jajan sembarangan dan berlebihan. Makanan di buku pelajaran, keteladanan guru, situasi sekolah, dan bisnis “katering” berada di “perjumpaan” makna mungkin bermasalah. Kita mungkin menduga buku-buku pelajaran belum terlalu berpengaruh bagi pengetahuan dan sikap murid atas makanan. Sejarah perbukuan pelajaran di Indonesia selama puluhan tahun masih cenderung mengarah ke hal-hal muluk demi cerdas, disusul pamrih pembentukan karakter.
Lemah di “pelajaran” pangan, murid digoda dan dihajar keranjingan makanan di televisi, media sosial, ruang publik, dan lain-lain. Kita mendingan menjenguk ke kemungkinkan ada gejala pengajaran makanan di buku pelajaran masa lalu, sebelum makanan terasa berada di luar buku pelajaran akibat godaan-godaan mutakhir. Kita membuka buku berjudul Tiga Sekawan (1951) susunan Abdoelgani Asjik, Bermawi Gelar Soetan Radja Emas, dan FW Slijper. Makanan berkaitan kebutuhan pokok, ritual, kebersamaan, rezeki, kemanusiaan, dan kehormatan. Contoh pengetahuan makanan dan religiositas bagi murid-murid sedang belajar membaca: “Abangku akan berchatam Quran. Kami akan kenduri besar. Kira-kira sepuluh hari lagi. Banjak orang dipanggil… Abangku akan diarak ketika itu. Tentu ramai benar nanti. Akan dibuat bangsal dimuka rumah.”
Peristiwa orang-orang berkumpul untuk makan dan berdoa. Peristiwa itu dinamakan kenduri. Makanan mengingatkan ke kitab suci. Makanan itu tanda terima kasih dan kebersamaan. Orang-orang tak cuma makan tapi berdoa. Kita mengandaikan peristiwa itu memiliki kaidah-kaidah agar sajian makanan bisa dibagi rata dan habis. Kuantitas makanan sudah diperhitungkan cukup bagi puluhan sampai ratusan orang, menghindari mubadzir atau dibuang menjadi sampah gara-gara cepat basi. Di buku pelajaran lawas, kita berimajinasi Indonesia sedang menjalankan revolusi dan bocah-bocah belum terlalu disihir iklan-iklan makanan. Pengetahuan pangan masih memiliki pijakan-pijakan religius dan sosial-kultural di buku dan kemampuan guru memberi imbuhan penjelasan. Mubadzir diusahakan tak terjadi dalam peristiwa-peristiwa makan bersama (kenduri) untuk mengajarkan kebaikan-kebaikan. Mubadzir perlahan dimengerti bocah adalah kesalahan atau dosa.
Bergerak jauh dari buku pelajaran lama, mubadzir mulai menjadi kewajaran bagi murid-murid masa sekarang disituasikan rajin jajan, selama di sekolah dan rumah. Lakon jajan sulit diberantas akibat kemudahan dan pembesaran puja selera makanan. Iklan-iklan makanan emoh libur, sejak pagi sampai malam. Keranjingan makan semakin membesar dengan pelbagai jenis tawaran cara memesan makanan. Pesta-pesta makan diselenggarakan dengan segala pamrih. Hajatan pernikahan sampai pertemuan akbar bercap politik, olahraga, bisnis, atau hiburan memungkinkan keberlimpahan makanan dan terjadi pembuangan alias kemubadziran. Bocah dan remaja dalam situasi tak keruan. Orangtua mengalami sulit mencegah atau melakukan pembatasan-pembatasan di jebakan-jebakan industri makanan cenderung mengajarkan kemubadziran.
Lakon jajan sulit diberantas akibat kemudahan dan pembesaran puja selera makanan. Iklan-iklan makanan emoh libur, sejak pagi sampai malam. Keranjingan makan semakin membesar dengan pelbagai jenis tawaran cara memesan makanan.
Kini, berita mengenai petaka kelaparan dan sampah makanan menuai sesalan-sesalan sulit dipahami. Masalah mubadzir atau sampah makanan itu memang darurat. Pembuatan undang-undang, seruan moral, atau khotbah-khotbah mungkin diinginkan menjadikan makanan itu disantap memberi kebaikan tanpa sisa-sisa terbuang memicu kotor, jijik, dan sakit. Makanan di edisi petaka berjudul mubadzir memberikan bukti-bukti manusia pun bisa berlaku biadab. Begitu.
Bandung Mawardi,
Kuncen Bilik Literasi Solo
FB: Kabut
Comments