Lari, Lari, Lari
JALAN beraspal dengan warna hitam, mulus, dan bersih sering milik mobil dan sepeda motor. Jalan dibuat menggunakan ongkos mahal, memiliki pula undang-undang. Sepotong jalan diadakan dengan rapat, dana, undang-undang, mesin, slogan, dan lain-lain. Jalan itu mula-mula menakjubkan, sebelum memicu perkara-perkara rumit. Kita mengaku saja mustahil paham undang-undang atau segala anjuran bertema jalan beraspal.
Pada suatu masa, jalan-jalan digunakan untuk demonstrasi, lomba, kirab, olahraga, dan lain-lain. Konon, para pembuat acara di jalan diwajibkan membuat laporan atau meminta izin pada pihak-pihak memiliki otoritas mengatur jalan: dinas-dinas pemerintah dan polisi. Pada jalan, kita berpikiran manusia, alat transportasi, bendera, makanan, busana, bahasa, benda, musik, dan lain-lain. Jalan pun memiliki “larangan-larangan” jarang terpahami publik, setelah “pusing” mendapat seribu peraturan setiap hari.
Sekian hari, kaum muda di Solo dan pelbagai kota ingin memberi arti jalan saat malam hari. Mereka berkumpul dan membuat peristiwa: lari. Di jalan beraspal, sekian orang bakal mengadu kecepatan lari mendapat teriakan dan tepuk tangan. Mereka juga dipotret. Peristiwa diinginkan dan diangankan menggirangkan malah lekas menjadi berita. Mereka mengaku mengalami masalah rumit menanggung hari-hari buruk gara-gara wabah. Berkumpul dan lari mungkin sejenis hiburan. Taruhan duit dengan lari itu mendebarkan. Di mata para pejabat dan pihak kepolisian, ulah mereka mendapat sebutan lari liar. Penggunaan diksi “liar” mengesankan ada pelanggaran hukum alias ilegal. Kita mendapat tambahan masalah: kaum muda, jalan, lari, masker, duit, hiburan, undang-undang, dan lain-lain. Orang-orang ingin lari dan melihat tontonan ditimpa komentar-komentar, bergerak menjadi polemik.
Di mata para pejabat dan pihak kepolisian, ulah mereka mendapat sebutan lari liar. Penggunaan diksi “liar” mengesankan ada pelanggaran hukum alias ilegal. Kita mendapat tambahan masalah: kaum muda, jalan, lari, masker, duit, hiburan, undang-undang, dan lain-lain. Orang-orang ingin lari dan melihat tontonan ditimpa komentar-komentar, bergerak menjadi polemik.
Pada masa wabah, “apa dan siapa” mudah bermasalah. Kita diharapkan maklum meski sempat berpikir atau merenung. Hari demi hari, masalah demi masalah. Kita seperti dikutuk wabah demi “wabah”. Kita mendingan iseng berpikiran lari. Pikiran bisa bergerak ke sembarang arah, boleh berkaitan polemik “lari liar” atau “berlari” ke arah-arah berbeda asal tetap mengenai lari. Keisengan berpikiran lari mungkin “melarikan” kita dari ruwet-ruwet belum jua berakhir. Iseng saja ketimbang marah, gelisah, dan kalah.
Kita mulai masuk ke puisi berjudul “Ibu Mendulang Anak Berlari” gubahan Cyntha Hariadi (2016). Puisi sederhana bercerita ibu dan anak. Peristiwa lazim dialami kita saat bocah. Ibu mendulang tapi bocah malah berlarian membikin ibu berteriak, kesal, capek, dan ngambek. Bocah tak cuma makan tapi berada dalam permainan belum tentu dimufakati ibu. Lari! Pada saat didulang ibu, bocah biasa lari ingin menggoda dan membuat ibu “menderita”. Tawa diinginkan ketimbang marah atau omelan. Peran ibu sebagai pendulang terbukti tak gampang.
Bocah (mungkin) menjengkelkan atau menggemaskan. Ia perlahan menjadi dewasa. Ibu tetap saja ingin “mendulang” meski sadar ada masalah-masalah baru. Kita mengutip dari puisi:
Sampai anak besar pun, ibu mendulang
bukan nasi, tapi wejangan
seakan ibu tahu yang terbaik, setiap wejangan
disajikan di sendok nasi.
“Aa!” Anak emoh, ibu mengekor, anak kabur, ibu terkecoh.
“Aa!” Anak jengah, ibu mengejar, anak pikir dari dulu ibu edan.
Sampai tua ibu mendulang
sampai ingatan hilang baru mengerti
bahwa anaknya sudah pergi sejak bisa makan sendiri.
Kita mengingat bahwa remaja sering “lari” bila bapak atau ibu memberi nasihat. Lari! Kabur! Si remaja emoh “makan” kata-kata sering berulang, basi, dan menambahi pusing. Dulu, ia berlari saat didulang nasi. Pada saat remaja, ia “lari” dari sekian petunjuk, nasihat, dan peringatan ibu. Lari mungkin kodrat, sejak kecil sampai dewasa.
Kita paksa saja kutipan puisi berguna untuk turut menanggapi polemik “lari liar”. Para remaja atau kaum muda memiliki setumpuk masalah. Mereka ingin lari! Mereka ingin melihat orang-orang lari. Mereka mau gembira. Malam dan jalan beraspal dipilih. Keinginan itu tiba-tiba mendapat “nasihat” dan “peringatan” dari para pejabat, pihak kepolisian, dan tokoh-tokoh kondang. Semula, lari dipikir sederhana tapi meruwet. Mereka bukan bocah-bocah lagi, pantang “didulang” dengan kata-kata sok bijak. Para pemberi nasihat terduga mengacu undang-undang dan ketertiban sosial. Mereka terbukti tak bisa “lari” dari cara berpikir dan sikap formal. Mereka mungkin malu meniru kerepotan ibu saat mendulang nasi tapi si bocah malah berlari. Remaja lari itu anggap saja kelaziman, tak usah terlalu diributkan berdalih hal-hal berat. Mereka berpikir lari itu sederhana dan jalan halus itu berhak mereka gunakan. Pikiran tentang lari lekas disalahkan undang-undang dan omelan bercorak birokratis. Konon, segala komentar menjadikan pemerintah ingin memfasilitasi demi menghilangkan diksi “liar” (Solopos, 21 September 2020).
Para pemberi nasihat terduga mengacu undang-undang dan ketertiban sosial. Mereka terbukti tak bisa “lari” dari cara berpikir dan sikap formal. Mereka mungkin malu meniru kerepotan ibu saat mendulang nasi tapi si bocah malah berlari.
Renungan dilanjutkan dengan membaca buku berjudul Ragawidya: Religiositas Hal-Hal Sehari-Hari (1986) susunan YB Mangunwijaya. Buku tak terbaca oleh pejabat. Para remaja abad XXI mungkin tak pernah mengetahui ada buku apik mengisahkan raga dan religiositas. Kita kutipkan saja tanpa bermaksud serius turut merampungi polemik remaja dan lari: “Yang mereka lakukan biasanya cenderung pada berlari-lari, bergerak ke sana ke sini, sering maju tetapi terbalik pantat di muka, atau meloncat-loncat main-main bahkan menari-nari. Itu sudah dengan jiwa dan tubuh mereka yang sedang mencari pertumbuhan cepat ke arah mana pun…” Lari itu kodrat menjadi manusia. Lari menandai raga, lari untuk hiburan, lari berdalih sehat, dan lari membuang frustrasi biasa dialami orang-orang.
Orang-orang Jawa memiliki sebutan dan peristiwa tentang lari: playon (bermain lari) dan oyak-oyakan (kejar-kejaran). Di pekarangan rumah, bocah-bocah biasa playon atau bermain lari. Mereka kadang masuk rumah. Orangtua memergoki bocah-bocah bermain lari di rumah berhak marah. Mereka khawatir lari itu bisa membikin rusak, berantakan, dan kehancuran benda-benda dalam rumah. Playon dianjurkan di luar rumah. Pada pengertian hampir sama, oyak-oyakan itu lari memiliki gengsi, hiburan, dan tantangan. Para murid SD atau SMP oyak-oyakan di halaman sekolah atau jalan saat pulang itu kelumrahan. Mereka makhluk memiliki kemauan dan keberanian lari. Sejak mula, mereka insaf bahwa lari memiliki capaian dan konsekuensi tanpa harus tiba-tiba disodori undang-undang atau omelan para pejabat.
Kita menguatkan anggapan dengan mengutip puisi berjudul “Playon” gubahan F Aziz Manna (2015):
garis awal, garis pintu, satu kaki di depan, satu di belakang,
kepala lurus…… garis belokan, satu kaki membumi, satu
kaki mengawang, kepala lurus, angin bersidorong, yang lalu
lintaslah, yang lintas lalulah.
Dulu, lari di jalan sudah teranggap mengganggu para pengguna jalan. Di desa dengan jalan-jalan masih tanah, orang-orang kadang marah gara-gara para bocah atau remaja lari menghasilkan debu-debu beterbangan jika musim kemarau. Kemauan lari kadang bisa dibenarkan dalam pelajaran olahraga di sekolah atau mereka ikut lomba. Lari kadang benar. Lari kadang salah.
Kini, kita bergerak ke negeri jauh, tak selalu masalah lari di Solo atau masa lalu sebagai manusia Jawa memiliki nostalgia playon dan oyak-oyakan. Kita pun tak lagi bocah didulang ibu tapi malah suka lari. Lari itu terjadi di Jepang, Amerika Serikat, Yunani, dan pelbagai tempat dengan tokoh utama bernama Haruki Murakami. Konon, ia dianggap pengarang taraf dunia, berulang diusulkan menjadi peraih Nobel Sastra. Ia menulis buku berjudul What I Talk About When I Talk About Running (2016). Buku bukan novel. Buku memuat biografi dan pelajaran-pelajaran tentang lari. Semula, ia menganggap lari adalah tema samar-samar, sulit untuk dituliskan secara memikat dibandingkan dengan cerita pendek atau novel. Haruki Murakami memutuskan tetap menulis bermisi itu “memoar tentang berlari.”
Lari itu membahagiakan bagi novelis. Ia menulis: “Kadang-kadang, saat aku memang ingin, aku berlari dengan cepat, tetapi jika aku meningkatkan kecepatan berlari, waktu berlari akan kukurangi agar kegembiraan yang kurasakan usai berlari akan terbawa hingga esok hari. Ini sama dengan poin penting ketika menulis novel. Aku selalu berhenti pada saat aku merasa bisa menulis lebih banyak.” Lari itu kehendak. Lari itu baik. Pada suatu hari, lari berpengaruh dalam pasang-surut menulis novel. Kita berlebihan bila mengajukan Haruki Murakami sebagai tokoh untuk diperbincangkan kaum muda mau lari di jalan beraspal saat malam hari, para pejabat, dan polisi. Kita mengaku saja memang jarang belajar atau “bodoh” dalam masalah-masalah mengenai lari. Nah, “bodoh” itu membuat kita tak ingin terlalu meributkan lari saat wabah belum tamat. Begitu.
_____________
Bandung Mawardi,
pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,
Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020)
FB: Kabut
Comentários