top of page
Cari
Majalah Basis

"Langit" dan Kematian

Bandung Mawardi

SAPARDI Djoko Damono, lahir dan menikmati masa bocah-remaja di Solo. Di pelbagai diskusi dan pengakuan dalam film dokumenter buatan Lontar, ia mengaku senang menikmati permainan layang-layang saat sore di Alun-Alun Kidul, Solo. Peristiwa membahagiakan bersama para bocah dan orang-orang dewasan berada di tanah lapang. Mereka memandangi layang-layang, mengarahkan mata ke langit, kaki tetapi berpijak di tanah. Celotehan-celotehan terdengar dalam permainan layang-layang sambil menikmati sentuhan angin dan terpaan sinar matahari meredup. Ia mengaku itu bukan pengalaman istimewa untuk diri sendiri. Ribuan bocah pun mengalami masa kegirangan bermain layang-layang, dari masa ke masa.


Peristiwa-peristiwa di masa kecil sering terbawa saat Sapardi Djoko Damono tekun menggubah puisi-puisi. “Si penyair tidak bisa mengelak dari kecenderungan menjadi anak kecil,” tulis Sapardi Djoko Damono dalam Sihir Rendra: Permainan Makna (1999). Di kesusastraan Indonesia, ia memang dianggap paling fasih menggubah puisi bereferensi bocah. Masa lalu di Solo dan pengalaman-pengalaman lugu perlahan menjadi puitis, termasuk bermain layang-layang. Ia menerawang masa lalu: “Kesulitan membedakan lambang dari yang dilambangkan itu tentunya hanya terjadi di masa kecil, setidaknya hanya terjadi pada orang yang memandang diri dan sekelilingnya dengan mata anak kecil. Orang bilang, mengenang masa kecil itu mengasyikkan. Saya kira masa kecil itu sendiri benar-benar mengasyikkan: kita tinggal dalam dunia yang tersusun dari lambang-lambang meskipun sangat sering tidak tertangkap oleh orang dewasa, bahkan oleh kita sendiri setelah dewasa.”


Pada abad XXI, Sapardi Djoko Damono berumur tua menggubah puisi berjudul “Layang-Layang”. Masa kecil teringat dan terceritakan, menguak lambang lugu atau pelik:

Layang-layang barulah layang-layang jika ada angin

memainkannya. Sementara terikat pada benang panjang,

ia tak boleh diam–menggeleng ke kiri ke kanan, menukik,

menyambar, atau menghindar dari layang-layang lain.


Sejak membuatnya dari kertas tipis dan potongan bambu,

anak-anak itu telah menjanjikan pertemuannya dengan

angin. Peristiwa mengingatkan kondisi lahir-batin bocah untuk bergembira dalam membuat dan bermain layang-layang. (Melipat Jarak, 2015).


Kegembiraan milik bocah. Ingatan dan puisi itu terbaca lagi saat kita membaca berita mengenaskan berkaitan layang-layang. Leher pengendara motor melintas di Jalan Tangkuban Perahu, Mojosongo, Jebres, Solo, 11 Juni 2020, tersayat benang layangan melintas di tengah jalan. Orang itu terjatuh. Menit-menit berlalu, kabar beredar bahwa orang itu meninggal dunia. Benang biasa digunakan dalam bermain layang-layang itu “mematikan” gara-gara tajam. Peristiwa lekas memicu obrolan dan polemik kebiasaan para bocah dan dewasa bermain layang-layang di pelbagai tempat: jalan kampung, pinggiran rel, dan permukiman padat. Semula, bermain layang-layang itu kegembiraan bagi mereka ketimbang dikutuk bosan selama wabah. Risiko atas ulah sembrono dan keteledoran mengakibatkan kematian. Kita perlahan berpikiran maut saat mengingat layang-layang, tak selugu atau menggirangkan seperti dalam puisi gubahan Sapardi Djoko Damono.


Risiko atas ulah sembrono dan keteledoran mengakibatkan kematian. Kita perlahan berpikiran maut saat mengingat layang-layang, tak selugu atau menggirangkan seperti dalam puisi gubahan Sapardi Djoko Damono.

Peristiwa itu menguak masalah ruang publik di Solo. Orang-orang tetap ingin bermain layang-layang tapi pilihan tempat sering terbatas. Solopos, 13 Juni 2020, menampilkan berita berkaitan tragedi layang-layang: “Solo Minim Ruang Publik" bermain layang-layang itu dianjurkan di lapangan, alun-alun, atau tanah lapang. Di Solopos, 16 Juni 2020, terbaca: “Kasus benang layangan melukai warga kembali terjadi, Senin (15/6/2020). Kali ini korban adalah seorang perempuan warga Sumber, Banjarsari, Solo". Pemerintah semakin memiliki argumentasi melarang bocah-bocah bermain layangan di jalan atau perkampungan. Di desa-desa, bocah-bocah biasa bermain di persawahan dengan kesadaran tak ingin menimbulkan gangguan pada warga. Layang-layang dan benang sering mengganggu kabel-kabel listrik bila orang nekat bermain di jalan kampung atau permukiman padat. Benang atau layang-layang tersangkut di kabel listrik mungkin memicu petaka-petaka dan menimbulkan pemandangan buruk. Kini, pengamat perkotaan dan pemerintah berpikiran tentang bermain layang-layang dan ketersediaan ruang publik di Solo.


Benang atau layang-layang tersangkut di kabel listrik mungkin memicu petaka-petaka dan menimbulkan pemandangan buruk. Kini, pengamat perkotaan dan pemerintah berpikiran tentang bermain layang-layang dan ketersediaan ruang publik di Solo.

Sejak awal abad XX, buku-buku pelajaran di sekolah-sekolah dengan murid kalangan Eropa atau bumiputra sering memiliki cerita dan gambar bermain layang-layang. Buku-buku mengandung ajaran. Bermain layang-layang di alun-alun atau lapangan. Bocah berhak membuat dan bermain layang-layang tapi mengetahui ketentuan-ketentuan tak menimbulkan kerugian, kerusakan, atau kematian. Dokumentasi bermain layang-layang di Nusantara sejak awal abad XX bisa kita pelajari dalam dua buku dokumentatif terbitan Bentara Budaya: Kitab Si Taloe: Gambar Watjan Botjah 1909-1961 (2008) dan Djalan ke Barat: Jawa di Mata C Jetses (2014). Para bocah beragam bangsa ditemani orangtua, pembantu, atau saudara tampak bermain layang-layang di alun-alun. Mereka tampak girang. Ajaran dalam pilihan tempat itu mulai terabaikan saat kampung atau kota semakin padat. Para bocah kehilangan ruang bermain. Hasrat bermain layang-layang nekat dituruti dengan berlari di sepanjang jalan atau di pinggiran rel kereta api. Permainan terlalu berisiko!


Ajaran dalam pilihan tempat itu mulai terabaikan saat kampung atau kota semakin padat. Para bocah kehilangan ruang bermain. Hasrat bermain layang-layang nekat dituruti dengan berlari di sepanjang jalan atau di pinggiran rel kereta api. Permainan terlalu berisiko!

Ajaran-ajaran bermain layang-layang disampaikan melalui bacaan, ilustrasi, dan lagu. Sejak masa 1950-an, para seniman menggubah lagu-lagu bertema layang-layang dengan lirik berbahasa Jawa dan Indonesia. Lagu-lagu mengajak gembira, mengajarkan ke bocah-bocah agar mengetahui aturan. Kita simak lirik lagu gubahan C. Hardjasoebrata berjudul “Lajanganku Muluk”. Lagu berbahasa Jawa:

Lajanganku muluk, ringas djedjogedan

Ringeh njiruk-njiruk, mangulon bali ngetan

Angine sumijut, lajangan djengkerut.


Hardjasoebroto dan A Sp pun menggubah tembang berbahasa Indonesia, berjudul “Lajang-Lajang”. Lagu lazim disenandungkan bocah-bocah. Kita simak lirik sederhana:

Lajang-lajang dilangit biru

melajang menari

merah, hidjau, kuning, ungu/ aneka sekali


Lihat itu seperti ikan

mata bulat besar

sirip pandjang kiri kanan

mulut sangat lebar


Ada lagi seperti burung

sajapnja terbentang

bebasa lepas tak terkurung

terbang dengan senang.


Pada masa berbeda, AT Mahmud menggubah lagu berjudul “Layang-Layang” dimuat dalam buku berjudul Pustaka Nada (2008). Lagu menggembirakan:

Layang-layangku ditiup angin

Kuulur benang sepanjang mungkin

Lenggok ke kiri, lenggok ke kanan

Semakin meninggi mencapai awan.


Puluhan lagu bercerita layang-layang selalu saja tentang bocah dan girang. Layang-layang kadang bercerita sedih bila putus dan layang-layang itu menghilang di tempat jauh. Bocah mungkin memangis dan malu bila kalah dalam “pertarungan” layang-layang. “Pertarungan” memerlukan siasat dan pilihan benang. Kita memaklumi benang-benang tajam terpilih meski sadar berkemungkinan menimbulkan tragedi.


Cerita dan lagu mengajak bocah berimajinasi layang-layang terbang di langit adalah kebebasan. Angin menerpa layang-layang memberi kesenangan. Di mata bocah, menatap gerak dan rupa layang-layang merangsang imajinasi ke segala arah. Kaki di tanah dan layang-layang di atas mengartikan ada rasa “memiliki” dunia. Pengalaman itu wajar membuat bocah-bocah tak sadar bermain layang-layang, dari siang sampai sore atau surup. Waktu tak terasa saat bermain. Bocah memilih senang, tak menggubris letih, panas, atau lapar. Bermain layang-layang seperti memberi “sihir” tak kuasa ditampik bocah. Kaum dewasa pun gandrung bermain layang-layang, enggan kehilangan nostalgia atau menuruti kegembiraan tiada ujung.


Di mata bocah, menatap gerak dan rupa layang-layang merangsang imajinasi ke segala arah. Kaki di tanah dan layang-layang di atas mengartikan ada rasa “memiliki” dunia.

Peristiwa mengenaskan di Solo memberi duka. Publik mengerti ada masalah rumit dalam bermain layang-layang, ruang publik, dan jalan. Polisi sedang bekerja dan pemerintah mulai berpikiran membuat kebijakan-kebijakan baru meski mendadak. Kita sudah belajar tema layang-layang melalui bacaan, gambar, dan laku. Selama di sekolah, kita pun mendapatkan anjuran dan ajaran mengenai bermain memberi kesenangan ketimbang petaka. Bermain itu perlu. Di Solo, bermain layang-layang sedang menjadi masalah rumit, masalah mengimbuhi suntuk saat wabah belum tamat. Kita mungkin memilih bernostalgia saat kecil bermain layang-layang sambil memikirkan kaidah-kaidah mutakhir agar bermain tanpa dampak luka dan kematian. Begitu.


__________


Bandung Mawardi,

pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,

Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku

Pengisah dan Pengasih (2019)

FB: Kabut

153 tampilan

Komentar


bottom of page