Kronologi Jalan Hidup Heidegger
A. Setyo Wibowo
Heidegger menolak pendekatan historis-kritis yang memusatkan analisis pada pencarian informasi biografis dan psikologis guna menerangi sebuah teks. Di matanya, keinginan mengetahui sesuatu lewat “pengalaman hidup” merupakan “kerakusan psiko-biologis di zaman ini” yang muncul akibat sentralitas ego modern, di mana ego dianggap menjadi pusat rujukan realitas di dunia. Pendekatan seperti itu bukan hanya membuat manusia terlalu berlebih-lebihan mengakui kekuatan rasio, tetapi juga membuat orang tidak bisa lagi membedakan antara “pengalaman hidup” dan “pemikiran (la pensée)”. Orang melupakan pensée (yang dalam Heidegger merujuk pada aktivitas berpikir yang pasif dan meditatif), dan cenderung menyamakannya dengan “pengalaman hidup” (yang merupakan tafsiran rasionalistik). Pada saat mengajar tentang Nietzsche, Heidegger berkata, “Kita tidak membahas tentang psikologi para filsuf, tetapi hanya tentang sejarah Ada.”
Sang Ada Non-Onto-teo-logis
Perhatian utama Heidegger adalah tentang Sang Ada (Sein, to be, Be-ing). Secara paradoksal ia menyatakan, di satu sisi, seluruh sejarah filsafat Barat selalu membicarakan Sang Ada, dan dengan demikian justru melupakan Sang Ada itu sendiri. Apa maksudnya, kok tampak bertentangan begitu?
Pertama, sebagai kritik, Heidegger memperlihatkan bahwa sejarah filsafat Barat adalah sejarah Metafisika, di mana obsesi para filsuf adalah mencari dasar segala sesuatu, dan sebagai dasar (bahasa Yunani: to on atau being). Platon menemukan idea, Aristoteles substansi, kaum agamis menemukan Tuhan sebagai zat paling akhir, Hegel menemukan Roh Absolut dan Nietzsche Kehendak Kuasa. Dan apa yang paling mendasar (on, genetif: ontos) kemudian diberi derajat yang paling tinggi (theos) serta dipikirkan, diargumentasikan, diwacanakan secara rasional (logos). Dengan demikian, Metafisika Barat, oleh Heidegger, disebut berciri onto-teo-logis. Sang Ada yang dibicarakan filsafat sejauh ini adalah Ada yang bersifat ontoteologis.
Kedua, sebagai tawaran pemikiran Heidegger sendiri, ia menunjukkan bahwa sebenarnya kategori terdasar realitas, yang dalam bahasa Pra-sokratik bernama phusis (nature, Alam dalam arti kodrat maupun keselarahan alam semesta), sebenarnya tidak pernah bisa dibekukan dalam satu konsep. Fakta bahwa sejak Thales, Anaximenes, Demokritos phusis di namakan sebagai air, udara, atau atom menunjukkan bahwa phusis selalu dilihat berbedabeda. Maka bisa disimpulkan, dengan mengikuti pemikiran Herakleitos, bahwa phusis selalu menyembunyikan dirinya (phusis krupthestai philei).
Selanjutnya dapat dibaca di BASIS 07-08 2018
Dapat dibeli di Toko Daring Tjappetroek.com atau hubungio CS kami 081225225423
Comments