Ketika Benar Saja Tidak Cukup
KETIKA seorang bocah cilik spontan menjerit ketakutan lalu menangis saat melihat bocah lain dengan kelainan pada wajahnya, itulah momen bagi orang tua bocah pertama tersadar akan kesalahannya yang fatal. Entah bagaimana, tentu, jauh sebelum itu, ke dalam diri si bocah sudah ditanamkan nilai akan sesuatu yang dianggap “buruk”, “menakutkan”, “seram”, sehingga ia boleh berteriak ngeri saat menghadapinya. Bagaimana ia sebagai orang tua bisa memperbaiki ini? Ia lalu menuliskannya sebagai kisah emosional yang viral, Wonder.
Entah bagaimana, tentu, jauh sebelum itu, ke dalam diri si bocah sudah ditanamkan nilai akan sesuatu yang dianggap “buruk”, “menakutkan”, “seram”, sehingga ia boleh berteriak ngeri saat menghadapinya.
Dari maksud mengungkap ke tengah anak-anak sisi rumit bocah dengan kelainan tulang tengkorak wajah (kraniofasial), sekaligus melatih mereka bersikap ramah padanya, Palacio melahirkan August Pullman. Auggie yang baik hati, usil seperti anak sepuluh tahun kelas V lain, fans star wars, suka membaca, gemar sains dan seni, tapi menyandang sindrom treacher collins (TCS), kelainan langka yang terjadi pada 1 dari 50.000 orang. Maafkan pemilihan kata ini. Saya harusnya tak menggunakan “tapi”, melainkan “dan”. Namun, inilah kita. Hanya untuk menyebut seseorang berbeda, kita enak saja memilih kata yang bukannya sejuk, malah menonjolkan kesenjangan atau merendahkan, tak peduli akibat jangka panjangnya.
Wonder membujuk anak-anak dan dewasa untuk berpura-pura menjadi Auggie, Via kakak Auggie, teman-teman dekatnya, dan bahkan Miranda teman Via. Dari berbagai karakter yang bercerita dari sudut pandang masing-masing, Palacio berusaha memahami situasi semacam Auggie dari banyak sisi, bukan cuma dari tokoh sentral. Karena dalam keadaan seperti ini, setiap orang di sekitar Auggie niscaya terdampak permanen. Misalnya Via yang dipaksa mandiri sejak kecil karena orang tuanya mesti memusatkan energi pada adiknya dengan rangkaian terapi dan operasi. Atau Jack Will yang jatuh bangun mencari jati diri sebagai teman Auggie sekaligus tak mau kehilangan teman-teman lama yang masih sulit menerima Auggie.
Kekesalan demi kekesalan, amarah, kesalahpahaman, kekecewaan, kesedihan, tapi juga kelegaan, keriangan, kegembiraan, bahkan kebahagiaan sejati, seperti kita rasakan sehari-hari, melengkapkan kisah-kisah mereka. Masing-masing ditempa kenyataan hidup untuk mengubah dirinya, menemukan dirinya yang sebenarnya. Auggie bisa jadi merasakan perubahan yang paling penting. Tapi kakak dan teman-temannya pun belajar tak kalah banyaknya dari sini.
Dibantu guru bahasa Inggris yang membagi pedoman, yaitu “apa pun yang membantu menuntun kita saat membuat keputusan mengenai hal-hal yang sangat penting” (halaman 65), anak-anak dilatih untuk mengenali dirinya sendiri. Pada awal tahun pelajaran itu, tepatnya bulan September, pak Browne membagikan pedoman berikut: SAAT DIBERI PILIHAN ANTARA BERSIKAP BENAR ATAU BAIK, PILIHLAH BERSIKAP BAIK. (halaman 68). Apa pentingnya ini buat anak-anak, berkaitan situasi Auggie?
Masing-masing ditempa kenyataan hidup untuk mengubah dirinya, menemukan dirinya yang sebenarnya. Auggie bisa jadi merasakan perubahan yang paling penting. Tapi kakak dan teman-temannya pun belajar tak kalah banyaknya dari sini.
Andai saja anak-anak bertahan dengan kepolosannya, maka masalah yang kita punya akan banyak berkurang. Sayangnya semakin besar anak, bertambah pula nilai-nilai bentukan lingkungan dalam mentalnya. Nilai-nilai yang tidak sepenuhnya baik. Menghadapi orang lain yang berbeda penampilan, bagi anak kecil itu biasa. Penasarannya mendorong jutaan tanya. Setelah dijawab lugas, penasaran itu berhenti. Tak sempat jadi curiga apalagi benci. Ini berubah drastis begitu benih nilai artifisial tumbuh.
Di tengah anak-anak (juga dewasa) yang mengembangkan konsep bikinan tentang yang normal-aneh, bagus-jelek, cantik-buruk, Auggie dengan kelainan kraniofasial jenis “mandibulofacial dysostosis tak dikenal yang disebabkan oleh mutasi autosomal resesif pada gen TCOF 1, yang terletak pada kromosom 5, diperumit oleh karakteristik hemifacial microsomia pada spektrum OAV” (halaman 145-146) yang membuatnya seperti “makhluk rawa prasejarah” saking berantakannya saat makan (halaman 72) tentu jadi pusat perhatian dan omongan sepanjang waktu. Bukan jenis perhatian yang membanggakan pastinya.
Dengan begitu, anak-anak yang memilih untuk tidak duduk di sebelahnya di dalam kelas meskipun bangku lain sudah terisi, atau tidak bermain dengannya ketika istirahat siang, tampak “benar” (wajar). Siapa juga mau terseret jadi bahan omongan memalukan? Anak-anak akan belajar dari sikapnya sendiri tentang cara memperlakukan anak seperti Auggie: apakah mereka menjauhinya? Apakah mereka mau bertukar bekal dan cerita dengannya? Apakah mereka akan mengundangnya ke pesta? Jika tidak, mengapa? Apakah karena dia jahat, ataukah hanya karena wajahnya tidak sedap dipandang? Dan seterusnya. Pada akhir bulan mereka bisa menjadikan pelajaran ini sebagai bahan esai pedoman bulanan seperti ditugaskan pak Browne.
Siapa juga mau terseret jadi bahan omongan memalukan? Anak-anak akan belajar dari sikapnya sendiri tentang cara memperlakukan anak seperti Auggie: apakah mereka menjauhinya? Apakah mereka mau bertukar bekal dan cerita dengannya? Apakah mereka akan mengundangnya ke pesta? Jika tidak, mengapa?
Membaca Wonder membuat saya makin mudah menangkap maksud beberapa studi mengenai kaitan antara membaca sastra fiksi dengan kemampuan empati dan atau teori pikiran. Di antaranya oleh P. Matthijs Bal, profesor manajemen, bersama Martijn Veltkamp, psikolog, pada 2013, yang menyatakan bahwa pengalaman membaca fiksi punya pengaruh pada kemampuan orang, misalnya empati. Empati kita kuasai manakala kita dapat merasakan yang dirasakan orang lain, berpura-pura jadi orang lain untuk mengerti motif pikiran, ucapan, juga tindakannya. Dan dari sinilah situasi saling memahami sebelum bereaksi lebih jauh akan menguntungkan semua. Persis yang dilakukan Wonder pada para pembacanya. Kesempatan melatih empati juga ditawarkan buku-buku seperti Charlotte’s Web (E.B.White, diterjemahkan dan diterbitkan dolphin, 2013) atau Keluarga Cemara (Arswendo Atmowiloto, GPU 2013).
Membaca fiksi dengan keterhubungan emosional yang cukup akan memperkaya pengalaman batin seseorang. Dia merasakan menjadi anak-anak, orang tua, laki-laki, perempuan, miskin, kaya, dan seterusnya. Keterlibatan emosi itu akan membuat pengalaman ini bertahan dan siap dimunculkan sewaktu-waktu. Menjadi Auggie akan menjadi pengalaman yang sangat menantang. Betapa kayanya seorang bocah yang bisa merasakan punya wajah demikian: “August tidak punya alis atau bulu mata. Hidungnya terlalu besar untuk wajahnya, dan agak lembek. Kepala August tertekuk masuk di bagian telinga seharusnya berada, seakan-akan ada tang raksasa dan menghantam bagian tengah wajahnya.” (halaman 124)
Apabila segalanya berjalan seperti seharusnya, seorang anak yang dilengkapi dengan kemampuan mental seperti ini akan berpikir panjang sebelum melakukan tindakan yang berpeluang menyakiti atau merugikan orang lain. Dia seolah-olah punya tuas kendali untuk menahan aksi keji. Untuk masa yang lebih panjang lagi, dia kembangkan bahwa perbedaan bentuk wajah baru satu dari sekian banyak perbedaan lain di sekitarnya. Seberapa perlu dia menonjolkan perbedaan itu, saat kapan ia harus melupakannya untuk menemukan persamaan sejati, dan seterusnya. Hingga sejauh dia kelak menyadari bahwa benar saja tidak cukup, bersikap baik harus juga dipertimbangkan sebagai pertahanan diri yang pamungkas.
Dia seolah-olah punya tuas kendali untuk menahan aksi keji. Untuk masa yang lebih panjang lagi, dia kembangkan bahwa perbedaan bentuk wajah baru satu dari sekian banyak perbedaan lain di sekitarnya.
Konsep rumit bagi pemikiran kanak-kanak tidak mustahil tetap sampai pada mereka. Asalkan diantarkan dengan cara alamiah. Misalnya istilah untuk kelainan yang disandang Auggie. Jika penjelasan itu keluar dari Auggie sendiri tentu terdengar berlebihan karena ia baru berumur sepuluh. Untunglah Via yang menceritakannya. Anak SMA tentu sudah cukup mengerti. Pertimbangan-pertimbangan semacam ini sering digampangkan dalam buku anak-anak lokal. Berbagai nasihat bijak atau ide canggih dititipkan begitu saja pada mulut-mulut imut.
Wonder juga terasa realistis mungkin sebab berangkat dari kejadian nyata penulis dan putranya. Setelah peristiwa mengenaskan itu, Palacio teringat lagu lawas, yang judulnya ia jadikan judul bukunya juga, oleh Natalie Merchant pada 1995. Buku yang terinspirasi dari kejadian nyata dan lagu ini pada gilirannya menginspirasi dibuatnya film pada 2017. Buku ini pun digunakan di kelas-kelas bahasa dan sastra, lengkap dengan lembar kerja siswa. Kiranya tuntas sudah penebusan sang penulis atas kekhilafannya dulu.
Dian Vita Ellyati,
penikmat sastra anak
FB: Vita Ellyati
Comments