Kerupuk Diwadahi Puisi dan Kamus
BUKU puisi berjudul Bulan Tertusuk Lalang (1982) memuat kejutan jika kita baca di bulan Agustus. Buku berisi puisi-puisi gubahan Zawawi Imron itu sering mendapat pujian. Para pembaca mungkin lupa memberi pujian khusus ke puisi berjudul “Kerupuk Udang” digubah pada 1977. Puisi mungkin digubah sebagai pengisahan dan pengakuan tanpa harus berkaitan peristiwa-peristiwa setiap Agustus. Zawawi Imron menulis: ketika udang-udang itu diangkat dari laut/ terdengar suara, “apa dosa kami?”/ dan rindu-rindu yang belum selesai/ lumat di atas lumpang kenyataan/ irisan tipis berbentuk hati/ digoreng minyak naluri// tiap kusendok nasi rawon bertumpang kerupuk udang/ tak pernah kuingat/ berapa korban yang jatuh. Puisi mengandung keluguan. Zawawi Imron mungkin pujangga awal memberi kemuliaan kerupuk.
Sejarah Indonesia mengandung kerupuk. Di majalah Bobo, 13 Agustus 1992, kita membaca lomba-lomba untuk peringatan Hari Kemerdekaan. Ada lomba makan kerupuk dengan peserta anak-anak. Kita membaca celotehan: “Nyam, nyam, asyiknya makan kerupuk. Tetapi, lebih asyik lagi kalau kita berlomba makan kerupuk. Hi, hi, hi, sulit juga ya makan kerupuk yang tergantung apalagi kalau mata kita ditutup dengan sapu tangan.” Gambar anak-anak mengikuti lomba membuat kita terhibur. Mereka ingin jadi pemenang dengan makan kerupuk besar berwarna merah.
Lomba makan kerupuk telah berlangsung sejak lama. Kita tak pernah mencatat nama pemberi ide dan pelaku-pelaku awal dalam lomba makan kerupuk. Catatan mengenai tanggal dan tempat lomba perdana makan kerupuk pun tiada. Lomba itu masih diselenggarakan di Indonesia setiap Agustus. Peserta lomba tak selalu anak-anak. Berita mengejutkan datang dari Istana Bogor, 4 Agustus 2019. Lomba makan kerupuk diikuti oleh para menteri. Presiden Joko Widodo dan cucu menjadi penonton. Suasana seru dan menghibur. Para menteri itu makan kerupuk digantung. Kerupuk berwarna putih. Mereka mungkin memiliki masa lalu sebagai bocah turut lomba makan kerupuk di kampung. Makna lomba makan kerupuk pun bertambah. Peristiwa itu menandai kita bakal melakukan peringatan dan pemaknaan Hari Kemerdekaan.
Peringatan pada 2019 memilih diksi maju. Para pembaca Kompas, 19 Agustus 2019, diharapkan kalem alias melarang diri untuk kaget. Tulisan panjang berjudul “Keyakinan Indonesia Semakin Maju”. Kita simak laporan dari Litbang Kompas: “Salah satu indikator masih tingginya rasa cinta tanah air adalah antusiasme masyarakat ikut serta dalam perayaan HUT RI tanggal 17 Agustus. Hasil jajak menunjukkan bahwa antusiasme responden dalam mengikuti berbagai kegiatan menyambut peringatan kemerdekaan masih sangat tinggi. Hampir seluruh responden mengakui terlibat dalam lomba-lomba, kerja bakti, dan kegiatan lain di lingkungan tempat tinggalnya. Bahkan, sekitara 62 persen responden rela meluangkan waktu untuk hadir mengikuti acara renungan malam kemerdekaan. Lomba makan kerupuk “wajib” ada di situ. Kerupuk semakin penting oleh ulah Litbang menampilkan gambar orang sedang turut lomba makan kerupuk dalam melaporkan hasil jajak. Kerupuk itu indikasi atau ilustrasi Indonesia maju?
Jutaan orang di Indonesia sudah pernah makan kerupuk. Di rumah atau warung, kerupuk menjadi kegemaran. Jelata atau pejabat mengaku suka makan kerupuk. Konon, kerupuk tak lagi memiliki kasta di Indonesia. Di koran-koran, kita lazim membaca berita para menteri, pejabat, dan artis mengaku keranjingan makan kerupuk meski sudah mendapat peringatan berkaitan kesehatan. Mereka makan kerupuk bukan untuk memecahkan rekor atau menambahi kemonceran. Sejak bocah, mereka terbiasa makan kerupuk. Bapak, ibu, kakek, dan nenek menjadi pihak berpengaruh dalam memperkenalkan kerupuk. Sejarah Indonesia memang memiliki bab berjudul kerupuk. Bab itu belum mendapat keterangan panjang dan lengkap. Kerupuk selalu ada, belum jadi masalah sejarah, kekuasaan, bahasa, dan hiburan.
Kita ingin mengetahui kerupuk dari kamus-kamus. Istilah kerupuk sudah dicantumkan dalam kamus terbit 1916. Kitab Arti Logat Melajoe susunan D. Iken dan E. Harahap memuat lema “keropok” berarti “nama semoea penganan dari pada oedang, koelit kerbau, ikan berlida, dll” dan “teman nasi dimakan.” Pengertian pertama tentang bahan-bahan untuk membuat kerupuk. Pengertian kedua memastikan kebiasaan makan kerupuk sudah berlangsung di Indonesia. Orang makan nasi “ditemani” kerupuk. Penulisan “teman” itu terasa unik dan akrab. Di Baoesastra Djawa-Melajoe (1916) susunan R. Sasrasoeganda, kita membaca lema “keropok” atau “kroepoek”. Kerupuk dibuat dari “loelang, oerang, legendar, dan kemiri”. Pada awal abad XX, kita menemukan dua cara penulisan: “keropok” dan “kroepoek”. Kerupuk dalam dua kamus semakin memastikan beragam krupuk dibuat, dijual, dan dimakan oleh orang-orang di tanah jajahan.
Pada 1939, kita membaca lagi pengertian kerupuk dalam Baoesastra Djawa susunan Poerwadarminta. Pengertian kerupuk: “lawoeh gorengan kang digawe glepoeng ditjampoer bleng, oerang, lan sakpitoeroete.” Orang-orang di Jawa terbiasa makan kerupuk sebagai “lawoeh” atau lauk. Kerupuk itu “teman” nasi terbenarkan. Kita mungkin harus melacak kebiasaan makan krupuk dalam novel-novel atau berita-berita di surat kabar. Kita menduga kerupuk bercerita keluarga dan pasar. Para penggemar kerupuk mungkin tak cuma bumiputra. Kalangan Eropa dan peranakan Tionghoa mungkin juga menggemari kerupuk untuk selalu dihadirkan di atas meja makan. Pada masa lalu, kerupuk masih bercerita makanan, belum sampai ke lomba makan kerupuk bermaksud memberi arti kemerdekaan.
Kita agak bingung mengartikan kerupuk dan kemerdekaan. Sekian orang menganggap kerupuk itu makanan kaum jelata. Di mata pengamat politik, kerupuk membuat orang jadi melempem dalam kerja politik atau memajukan Indonesia. Kerupuk memang dikodratkan bakal melempen setelah sekian hari atau terkena udara. Kerupuk memang mengartikan kenikmatan tapi memungkinkan mengandung pengertian buruk. Dulu, orang sempat mengenali “mental tempe”. Nasib kerupuk bisa mlempem pun menimbulkan ejekan “mental kerupuk”. Semula, kerupuk berukuran besar. Hari demi hari, kerupuk itu mengecil. Semula, kerupuk dimakan menimbulkan suara. Pada hari berbeda, kerupuk itu kehilangan suara saat digigit gara-gara sudah melempem.
Pada masa Indonesia sudah merdeka, kamus-kamus tetap memuat lema kerupuk. Makanan itu awet sepanjang masa. Hassan Noel Arifin dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1951) mengartikan “keropok” atau “kerupuk” adalah “sedjenis makanan jang dimakan bersama nasi, dimakan sebagai djuadah, dari pada ikan, udang, kulit kepala sapi, jang ditumbuk dan dikeringkan, kemudian digoreng.” Penulisan “keropok” atau “kerupuk” tak dianggap masalah. Kerupuk tetap “teman” dan “bersama” nasi. Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952) mengartikan kerupuk: “makanan dibuat dari tepung ditjampur dengan lumatan udang dsb lalu digoreng” atau “irisan kulit (lembu) dikeringkan lalu digoreng.” Kerupuk mustahil diusir dari kamus-kamus. Kerupuk malah semakin mendapat kehormatan. Kerupuk dalam kamus-kamus berbeda dari kerupuk digantung dalam lomba makan kerupuk dengan peserta para menteri. Indonesia memang bersejarah kerupuk. Begitu.
Bandung Mawardi,
Kuncen Bilik Literasi Solo
FB: Kabut
Comments