Jamu dan Wabah
Bandung Mawardi
DI Jawa Pos, 20 Maret, 2020, halaman depan memuat keterangan Prof. Dr. Mangestuti Agil MS Apt: “Saya menyatakan bahwa temulawak, kunyit, dan jahe tidak berpotensi memudahkan penularan Covid-19. Bahan-bahan ini bahkan dapat meningkatkann kekebalan tubuh.” Pembaca memang harus merenung sejenak menghadapi kalimat mengandung “tidak” dan “bahkan”. Kita masih mengikuti berita-berita tentang jamu. Kita membuka Jawa Pos-Radar Solo edisi 22 Maret 2020. Tulisan sehalaman mengenai Sukoharjo sebagai “kota jamu”. Ingat jamu, ingat Nguter di Sukoharjo. Di rumah-rumah, produksi jamu diselenggarakan setiap hari. Petikan dari berita: “Dari luar memang terlihat biasa, namun dapur mereka menyimpan kekayaan Indonesia. Seolah apotek hidup yang lengkap dengan aneka empon-empon. Mulai dari kunir, jahe, temulawak, kencur, daun pepaya, dan lain-lain.” Dua berita terbaca saat orang-orang menanggungkan takut dan bingung.
Kini, kita mengerti ribuan orang di Indonesia mulai rajin minum jamu. Mereka berdalih demi melindungi diri dan terhindar dari wabah telah menimbulkan duka di pelbagai negara. Kita memastikan orang-orang Indonesia rajin minum jamu tak cuma kagetan seperti masa sekarang. Sejak dulu, kebiasaan meracik dan minum jamu berlangsung di pelbagai desa dan kota, terutama di Jawa. Jamu itu minuman tradisional diakui sebagai obat. Jamu tak selesai diminuman tapi bercerita pula sejarah Indonesia dan lakon keaksaraan di masa lalu.
Pada masa 1930-an, jamu turut memberi sokongan dalam terbitan majalah Daulat Ra’jat oleh Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir. Pengusaha beriklan jamu di majalah menggerakkan tema-tema kebangsaan. Daulat Ra’jat edisi 29 Februari 1932 memuat artikel-artikel politik dan berita krisis melanda dunia. Di situ, ada pula iklan: “Djamoe Djawa Tjap Goenoengan, soember kewarasan.” Jamu diproduksi oleh Woro Oetojo di Semarang. Iklan memang bergambar gunungan dalam pertunjukan wayang kulit. Pada masa 1930-an, kaum jelata semakin sengsara oleh krisis ekonomi dunia dan represi pemerintah kolonial. Orang sakit sulit mendapatkan obat akibat ketiadaan duit atau langka. Di tanah jajahan, kebiasaan minum jamu mengartikan orang ingin sehat, kuat, cantik, langsing, dan bergairah. Iklan jamu itu mungkin aneh tapi memungkinkan majalah terus terbit membawakan pesan-pesan nasionalisme ke pembaca di Indonesia.
Pada masa 1930-an, jamu turut memberi sokongan dalam terbitan majalah Daulat Ra’jat oleh Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir. Pengusaha beriklan jamu di majalah menggerakkan tema-tema kebangsaan.
Jamu semakin memberi identitas dan “ajaran” penting bagi orang-orang Indonesia pada masa 1950-an. Sekian terbitan koran, majalah, dan buku sering memuat iklan-iklan beragam jamu. Kita memastikan jumlah peminum jamu di Indonesia memang jutaan, mulai dari kaum miskin sampai para pejabat. Jamu diminum dengan pelbagai pamrih. Di buku berjudul Dimanakah Ada Tempat jang Tenang (1958) susunan Kwee Boen Hian, kita berjumpa sekian iklan jamu di sela-sela pemuatan artikel-artikel bertema kebatinan. Iklan terpenting dari Djamu Industrie Tjap Djago. Sekian bujukan di iklan: “Untuk pegel-pegel dan linu minumlah djamu no 27 Pegel-Linu Tjap Djago, pasti tertolong”, “Sehabis bersalin minumlah djamu Galian Pluntur, Beranak, Selapan, Galian Param, untuk kembalikan kesehatan dan membikin bajinja montok”, dan “Membasmi segala penjakit batuk, minumlah djamu no 33 Anti Batuk Tjap Djago, dibuat dari bahan-bahan jang istimewa.” Jamu merajalela dalam iklan-iklan dan mengundang orang-orang lekas jadi pelanggan jamu dalam kemasan. Industri jamu mulai membesar meski agak sulit menggantikan kemunculan obat-obat modern.
Di majalah Star Weekly masa 1950-an, kita pun rutin menemukan iklan-iklan jamu. Majalah itu mengingatkan kita pada PK Ojong. Pada 2020, tepat peringatan seratus tahun PK Ojong: tokoh penting di Star Weekly. Ia adalah pendiri Intisari dan Kompas. Iklan jamu teranggap penting, memberi pendapatan ke majalah dan memberi pengumuman ke publik untuk berpihak: jamu atau obat modern. Star Weekly edisi 14 Desember 1957 memuat iklan dari Djamu Iboe: “Djamu Galian Putri untuk gadis dan perempuan muda guna menjegarkan badan, menghilangkan kelesuan, melangsingkan tubuh, membikin paras muka bersinar terang, awet muda, dan memeliharakan ketjantikan.” Star Weekly edisi 9 Maret 1957 memuat iklan dari Pabrik Djamoe Tjap Portret Njonja Meneer: “Ke djurusan ketjantikan, di samping usaha-usaha lain untuk memperindah diri njonja pakailah Djamu Sorga. Djamu ini membawa kebahagiaan karena seluruh tubuh njonja akan tetap tinggal muda, segar, dan menarik.”
Iklan-iklan jamu di koran, majalah, dan buku membuktikan ada sasaran ke publik melek aksara. Bacaan-bacaan memungkinkan produsen jamu memberi bujukan bercerita dan pamerkan gambar-gambar memikat. Jamu semakin lazim untuk minuman dan obat. Orang-orang Indonesia suka jamu setelah mendapat warisan cerita-cerita dan bukti. Jamu-jamu kemasan seperti diiklankan di koran, majalah, dan buku disempurnakan oleh para pedagang jamu gendong berkeliling kampung. Jamu semakin rimbun cerita. Kita mengenang “wabah” minum jamu telah berlangsung ratusan tahun, tak cuma di masa sekarang saat orang-orang takut akibat wabah. Pemberitaan bahwa jamu bisa melindungi dan menangkal wabah mengakibatkan permintaan jamu dan empon-empon semakin meningkat. Harga pun naik. Orang-orang ingin minum jamu meski belum mengetahui sejarah dan segala cerita jamu, dari masa ke masa.
Puncak industri jamu di Indonesia tercatat pada masa 1980-an. Kita simak suplemen khusus di Tempo edisi 4 Mei 1985. Laporan mengejutkan: “Tercatat sudah 350 pabrik jamu besar dan kecil di seluruh Indonesia. Ada yang bahkan mencapai produksi 400 ribu pak sehari. Padahal menjelang lahirnya Orde Baru, industri jamu di Indonesia nyaris punah.” Kita ingat sekian perusahaan besar jamu memberi minuman berkhasiat di Indonesia masa lalu. Pada masa 1960-an, Njonja Meneer dan Djago menguasai pasar jamu. Disusul pada 1970-an, ada Air Mantjur. Kita juga ingat Sido Muncul dan Simona. Masa lalu jamu membuka album ingatan cara mereka beriklan, menjual jamu di pasar malam, keberanian jadi sponsor acara-acara besar, dan lain-lain.
Jamu mulai mendapat pengesahan melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1960 dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1963. Undang-undang itu memberi sebutan obat asli Indonesia adalah jamu Indonesia. Charles Ong mengingatkan: “Jamu itu tidak berkhasiat ces-pleng. Minum jamu adalah proses untuk memperoleh kesehatan.” Pada masa kelarisan jamu pada masa 1980-an, para produsen mampu menjual jamu ke pelbagai negara. Jamu diwartakan ke Eropa, Amerika Serikat, Jepang, Arab Saudi, dan negara-negara Asia. Jamu tetap tema besar di Indonesia berkaitan warisan leluhur, industri, politik, dan periklanan di media.
Pada masa 1960-an, Njonja Meneer dan Djago menguasai pasar jamu. Disusul pada 1970-an, ada Air Mantjur. Kita juga ingat Sido Muncul dan Simona. Masa lalu jamu membuka album ingatan cara mereka beriklan, menjual jamu di pasar malam, keberanian jadi sponsor acara-acara besar, dan lain-lain.
Masa lalu memang menentukan bagi pemaknaan jamu di zaman-zaman berbeda. Dulu, jamu adalah pengetahuan diajarkan melalui buku-buku, tak cuma omongan. Heri Priyatmoko (2011) dalam artikel berjudul “Orang Sakit Tidak Perlu ke Dokter: Kajian Serat Primbon Jampi Jawi” mencatat terbitan buku oleh Tan Khoen Swie berjudul Serat Primbon Jampi Jawi (1933). Jampi itu jamu. Buku dipelajari orang-orang ingin waras. Ramuan-ramuan jamu dalam buku dimaksudkan digunakan oleh orang-orang miskin sulit pergi ke dokter atau tak mungkin membeli obat modern. Semula, jamu-jamu diminum oleh keluarga keraton dan priyayi tapi orang-orang di golongan lemah bisa pula menerapkan asal sesuai petunjuk di buku.
Episode pengetahuan jamu di masa 1930-an dan kebesaran industri jamu pada masa 1980-an mungkin ingatan bagi kita bahwa jamu tak pernah punah di Indonesia. Sekian tahun lalu, Puan Maharani dan sekian menteri di Kabinet Indonesia Kerja I malah menganjurkan orang-orang minum jamu, sebelum berita-berita mengenai wabah memicu orang-orang minum jamu. Kita belum rampung mengerti dan menikmati (cerita) jamu tapi telanjur mendapat ketakutan akibat wabah telah beredar ke pelbagai negara. Jamu pun jadi perbincangan seru dan diminum orang-orang berharap waras, belum berpikiran cantik, langsing, atau perkasa. Begitu.
_________
Bandung Mawardi,
pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,
Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku
Pengisah dan Pengasih (2019)
FB: Kabut
コメント