top of page
Cari
Majalah Basis

Ingatan (Pelajaran) Bahasa Indonesia


PADA tahun 2019, kita mengartikan Oktober sebagai bulan bahasa dan sastra Indonesia “dimeriahkan” dengan Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia dan menteri baru masih berusia muda. Peraturan itu sejenak heboh di koran-koran dan media sosial. Indonesia sedang memiliki masalah-masalah besar. Bahasa Indonesia mungkin belum masalah besar meski terus bermunculan keluhan-keluhan di pendidikan, politik, pers, dan dakwah.


Pada 28 dan 29 Oktober 2019, koran-koran memuat berita dan artikel mengenai bahasa Indonesia. Jawa Pos dan Kompas menjadi pihak tampak memiliki misi besar menempatkan bahasa Indonesia sebagai masalah besar dan darurat di Indonesia. Jawa Pos memuat berita mengenai nasib bahasa Indonesia dan peran Ivan Lanin. Di Kompas, kita membaca opini berjudul “Itulah Bahasa Indonesia”. Kompas pun memberitakan bahasa-bahasa mau punah di Indonesia. Ingat, bukan bahasa Indonesia! Pada abad XXI, bahasa Indonesia terbaca memiliki sejarah tapi kehilangan pesona saat orang-orang mulai tergoda menggunakan bahasa bergengsi global. Sekian berita dan opini tak pernah mengingatkan pembaca pada mata pelajaran bahasa Indonesia. Ingatan atas buku pelajaran dan guru dalam mengajarkan bahasa Indonesia tak dimuat di koran-koran.


Kita berlanjut memberi perhatian meski tak serius untuk Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia, bulan bahasa dan sastra Indonesia, dan nostalgia buku pelajaran bahasa Indonesia. Kita membaca pasal 23: “Bahasa Indonesia wajib digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan nasional.” Kita tentu lekas paham. Pasal mengenai bahasa Indonesia di pendidikan tampak penting meski kita masih saja menemukan ada kesulitan-kesulitan di penerapan. Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar digunakan di semua jenjang pendidikan. Di peraturan, sekian pihak agak lega ada maklum: “Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar di sekolah dasar, madrasah ibtidaiyah, atau bentuk lain yang sederajat pada tahun pertama dan kedua untuk mendukung pembelajaran.” Kita simpulkan saja bahwa bahasa Indonesia penting dalam pendidikan. Penting semakin terbukti dengan pelajaran bahasa Indonesia.


Pada peringatan bulan bahasa dan sastra Indonesia, kita mengartikan secara lazim. Lomba-lomba biasa diadakan dengan peserta murid-murid (SD, SMP, SMA) bermisi memuliakan dan memajukan bahasa Indonesia. Diskusi-diskusi pun diadakan dengan tema membuat bosan. Sekian acara memastikan peringatan bulan bahasa dan sastra menjadi repetisi jarang mengajak kita bergairah memberi makna bahasa Indonesia di arus sejarah dan perkembangan mutakhir. Di sekian diskusi atau artikel di media, kita bakal diingatkan lagi tentang keprihatinan atas minat murid-murid untuk pelajaran bahasa Indonesia. Konon, pelajaran bahasa Indonesia tak (terlalu) bergengsi di kalangan murid. Pelajaran itu malah sering dianggap sulit saat murid-murid mengerjakan soal-soal ujian.


Di sekian diskusi atau artikel di media, kita bakal diingatkan lagi tentang keprihatinan atas minat murid-murid untuk pelajaran bahasa Indonesia. Konon, pelajaran bahasa Indonesia tak (terlalu) bergengsi di kalangan murid. Pelajaran itu malah sering dianggap sulit saat murid-murid mengerjakan soal-soal ujian.

Kini, kita belum ingin membuat pemaknaan rumit. Kita mendingan bernostalgia buku-buku pelajaran bahasa Indonesia di masa Orde Baru. Peringatan bulan bahasa dan sastra pun bermula di situasi dan kebijakan politik-bahasa dalam rezim Orde Baru. Kita masih beruntung bisa mendapatkan buku-buku pelajaran bahasa Indonesia, terbit dan digunakan puluhan tahun lalu. Semua buku belum punah. Di pasar buku loak, kita masih bisa berharap membeli buku-buku agak sulit jadi koleksi pantas dipamerkan ke kaum kolektor buku lawasan. Keinginan mengoleksi buku pelajaran mungkin disahkan di pemenuhan pamrih mengerti nasib (pelajaran) bahasa Indonesia di sekolah.


Ratusan buku pelajaran bahasa Indonesia itu menghuni di Bilik Literasi (Solo). Kita bernostalgia dengan sekian buku saja. Kita mulai dari buku berjudul Aku Cinta Bahasa Indonesia 1A (1987) susunan FX Surana. Buku diterbitkan oleh Tiga Serangkai (Solo). Buku sederhana dan khas. Gambar di sampul, dua murid SD berjalan dengan latar gedung sekolah. Mereka mengenakan baju putih dan bawahan berwarna hitam. Kita agak kaget tak melihat warna merah untuk rok atau celana pendek. Murid lelaki memegang buku. Dua murid tampak girang.

Buku pelajaran itu menggunakan pendekatan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Kita lupakan dulu nama-nama klasik: Budi dan Wati. Di buku terbitan Tiga Serangkai kita dikenalkan dengan nama-nama baru: Nana dan Nani. Dua anak itu kakak-adik. Nana (lelaki), anak tertua. Nani (perempuan) adalah adik Nana. Nama-nama lain bagi tokoh anak di buku pelajaran: Susi, Tuti, Didu, Ani, Peni. Di kelas 1 SD, murid-murid belajar membaca mengenai keluarga, sekolah, bermain, lagu, alam, dan lain-lain. Bahasa Indonesia diajarkan dengan sederhana ingin membuat murid-murid pandai. Misi penting adalah kecintaan murid belajar bahasa Indonesia.


Kita membuka buku berjudul Metodologi Pengajaran Bahasa (1993) susunan Sri Utari S.Nababan. Penjelasan penting: “Guru merupakan faktor penting dalam proses pemudahan belajar bahasa.” Di kelas 1 dan 2 SD, guru memang memerlukan kepekaan dan kesabaran dalam mengajarkan bahasa Indonesia. Modal itu digenapi dengan pemahaman linguistik, psikologi, dan ilmu pendidikan. Di hadapan buku pelajaran, murid-murid diajak “penasaran” atau memberi perhatian tapi diusahakan tak membuat mereka terbebani. Buku pelajaran bahasa Indonesia tentu tak melulu kata-kata di puluhan halaman. Gambar “mutlak” dihadirkan di buku pelajaran, mengantar murid ke imajinasi dan “pembenaran” saat membaca sekian kata berkaitan tokoh, peristiwa, benda, tempat, dan lain-lain.


Pelajaran agak sulit diberikan di kelas 5 dan 6. Kita mengambil contoh di buku berjudul Aku Cinta Bahasa Indonesia 5B. Di halaman 78, bacaan berjudul “Bahasa Indonesia”. Kita mengutip satu alinea mengenai dampak Sumpah Pemuda: “Bahasa Indonesia bukan hanya bahasa resmi di Negara Republik Indonesia, melainkan juga merupakan bahasa kesatuan, bahasa penghubung, bahasa pergaulan, dan bahasa pengantar di sekolah-sekolah, dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi.”


Kita membuka buku berselera pemerintah. Buku berjudul Aku Berbahasa Indonesia 4C (1990) disusun oleh tim beranggotakan 5 orang. Penerbit buku adalah Balai Pustaka, penerbit milik pemerintah. Di situ, kita membaca keterangan dari tim penulis buku: “Unsur-unsur pokok sebagai penentu dalam meningkatkan kemampuan siswa dalam berbahasa Indonesia ialah bahan yang harus diajarkan, cara belajar-mengajar dan cara guru dalam menilai kemampuan siswa berbahasa.” Kita mulai mengerti bahwa belajar bahasa Indonesia itu “sulit”. Murid-murid SD di kelas 4 mendapat materi pelajaran “lebih sulit” dibandingkan dengan saat berada di kelas 1, 2, dan 3. Belajar bahasa Indonesia perlu membuka kamus. Di halaman 62, murid mendapat dua tanda seru: “Jelaskan arti kata-kata berikut atau sinonimnya! Gunakan kamus!” Sekian kata dipikirkan murid: teladan, sabar, amal, beradab, ikhlas, sedekah.


Judul buku menentukan minat murid dalam belajar. Pada 1992, terbit buku berjudul Pandai Berbahasa Indonesia 6C susunan Imam S dan Iman Machfudz. Buku terbitan Balai Pustaka. Judul buku agak memikat meski menjelaskan ke murid ada tuntutan agar “pandai”. Di kelas 6, murid diharapkan sudah memiliki kemampuan mumpuni dalam pelajaran bahasa Indonesia. Murid mungkin beranggapan pelajaran bahasa Indonesia semakin sulit atau memikat. Cerita-cerita dihadirkan di buku, membiasakan murid memberi perhatian dan paham. Cerita menjadi bahan membuat soal-soal untuk dijawab. Murid dianjurkan teliti dan mahir menggunakan kamus. Di halaman 14-16, murid membaca cerita berjudul “Kebaikan Hidup Bertetangga”. Membaca selesai, murid memikirkan arti kata: derajat, musyawarah, berkenan, borongan, diperam, dan tuntunan. Belajar bahasa Indonesia memang wajib berbekal kamus.


Nostalgia buku-buku pelajaran bahasa Indonesia membuktikan kurikulum dan kebijakan bahasa memang tak gampang dalam capaian tujuan secara sempurna. Sekian ralat atau perubahan sering dilakukan dalam pembuatan buku pelajaran bahasa Indonesia. Situasi pada masa 1990-an mungkin lanjutan dari seruan-seruan masa 1960-an saat para ahli pendidikan atau ahli bahasa Indonesia menginginkan ada kemajuan dalam pengajaran bahasa Indonesia. Pada 1968, Oejeng Soewargana menulis artikel berjudul “Modernisasi Pengadjaran Bahasa Indonesia.” Kesulitan pengajaran bahasa Indonesia pada masa 1960-an gara-gara pengaruh bahasa daerah. Oejeng Soewargana mengingatkan: “Memang bahasa-bahasa pada berbagai daerah di Indonesia ‘serumpun’ dan ‘bersaudara’. Akan tetapi djanganlah dilupakan pula bahwa antara bahasa-bahasa itu banjak djuga terdapat perbedaan mengenai struktur kalimat, arti kata, dan sebagainja.”


Nostalgia buku-buku pelajaran bahasa Indonesia membuktikan kurikulum dan kebijakan bahasa memang tak gampang dalam capaian tujuan secara sempurna. Sekian ralat atau perubahan sering dilakukan dalam pembuatan buku pelajaran bahasa Indonesia.

Masalah itu masih dihadapi pada abad XXI. Kita diingatkan lagi dengan Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia. Di bidang pendidikan, pengajaran bahasa Indonesia masih mungkin menggunakan bahasa daerah di SD pada tahun pertama dan kedua, sejak dulu sampai sekarang. Nostalgia kita masih jarang membahagiakan. Kita masih bingung sejarah mengenai pelajaran bahasa Indonesia di SD, SMP, dan SMA jarang mencipta album cerah dan girang. Ingatan kita cenderung sulit dan bosan. Kini, murid-murid bakal mendapat seruan-seruan bermutu dari pemerintah dalam menerapkan segala peraturan di pemajuan pelajaran bahasa Indonesia. Kita menduga murid-murid belum “terjamin” bahagia dan terpikat belajar bahasa Indonesia. Mereka belum ingin mencipta nostalgia menggembirakan untuk masa depan. Begitu.


Bandung Mawardi

kuncen Bilik Literasi Solo


FB: Kabut

165 tampilan

コメント


bottom of page