Indonesia Beroksigen
Kita lama tak belajar oksigen meski pernah mendapat pengetahuan secuil selama di sekolah. Kini, kita ingin berpikiran lagi oksigen. Thomas Hager dalam buku berjudul The Alchemy of Air (2014) sejenak memberi ingatan: “Kita mengirup oksigen dari udara ke dalam darah kita, sedangkan hidrogen masuk ke dalam tubuh kita melalui air (bersama oksigen), sebuah zat yang mengalami siklus tanpa henti di antara wujud-wujud gas, cair, dan padat, menguap menjadi awan, dan turun kembali akhirnya masuk ke dalam mulut kita. Ketiga unsur ini, karbon, oksigen, dan hidrogen, membentuk lebih dari 90 persen tubuh kita berdasarkan berat. Maka, kita dapat mengatakan bahwa kita adalah udara yang berwujud padat.”
Penjelasan sederhana tapi sulit bagi kita telanjur lama tak memikirkan raga dan oksigen. Semua tiba-tiba terlalu menginginkan oksigen selama wabah mengganas. Oksigen itu pengetahuan telat terpahamkan, jarang terceritakan atau muncul dalam perbincangan keseharian.
Hari demi hari, berita melulu oksigen. Kita agak bingung untuk mengetahui semua hal tentang oksigen. Kita tentu memerlukan buku-buku sains. Selama di rumah, kita mungkin melacak pelbagai informasi di internet demi mengerti oksigen dan wabah. Dulu, kita abai atau berjarak dari urusan oksigen. Pengetahuan masih mungkin ditemukan dalam pesan-pesan para leluhur. Mereka memiliki pengalaman dan pemaknaan udara meski tak tersampaikan dengan istilah oksigen. Kesadaran alam, kondisi tubuh, kekuatan tak kasat mata, dan ritual memungkinkan umat manusia hidup. Kewarasan diharapkan meski sakit kadang menimpa. Pengetahuan-pengetahuan tradisional bermunculan sebagai kata-kata bercerita, tembang, atau gambar. Mereka belum sampai pembahasaan oksigen tapi mengerti dengan keragaman bahasa silam.
Pada abad XXI, udara mulai bermasalah. Kota menjadi tempat terburuk bagi orang-orang ingin menikmati udara segar. Mereka berebutan dan berharapan. Udara mungkin malah petaka saat terlalu kotor gara-gara mesin-mesin di jalan, kantor, pabrik, rumah, dan lain-lain. Oksigen agak terpikirkan setelah orang-orang sering mengeluh bertema karbondioksida. Oksigen masih kata terucap. Orang berimajinasi oksigen selama tetap mengalami keseharian di kota. Impian udara bersih biasa beralamat di desa-desa atau pegunungan.
Kita belum perlu ke Jakarta untuk mengetahui hidup dalam derita dan petaka. Bacalah puisi berjudul “Suara dari Rumah-rumah Miring” gubahan Wiji Thukul (1987) berlatar di Solo! Kita tak menemukan diksi oksigen tapi mengetahui orang-orang miskin di permukiman padat-kumuh ingin sehat dan bahagia. Simak: di sini kami bisa menikmati cicit tikus/ di dalam rumah miring ini/ kami mencium selokan dan sampah/ bagi kami setiap hari adalah kebisingan/ di sini kami berdesak-desakan dan berkeringat/ bersama tumpukan gombal-gombal/ dan piring-piring… kami bermimpi punya rumah untuk anak-anak/ tapi bersama hari-hari pengap yang/ menggelinding/ kami harus angkat kaki/ karena kami adalah gelandangan. Mereka ingin mendapatkan “udara” membahagiakan dalam situasi sulit dan merana. Kemiskinan justru menjadikan mereka dihajar bau, bising, dan pengap. Di keseharian, mereka menginginkan tubuh waras dengan makanan dan minuman. Suasana pun diharapkan, selain matahari dan udara bersih. Mereka memang tak mengucap oksigen.
Para orangtua kadang mengajak kita berpikiran enteng tentang hidup. Tuhan terlalu baik bagi orang-orang tanpa kalkulator dalam menghitung duit bila segala sesuatu berongkos. Di desa, taman, atau pegunungan orang-orang merasa mendapatkan kesegaran. Mereka bisa menutup atau membuka mata saat bernapas. Peristiwa tanpa perhitungan duit. Di kalangan bijak, peristiwa bernapas mendapatkan udara segar dan menghidupkan termaknai dengan “balas budi”. Mereka menanam pohon, berdoa, bersih-bersih, dan membuat larangan-larangan demi udara adalah berkah.
Kita menjenguk puisi lama Emha Ainun Nadjib berjudul “Doa Syukur Sawah Ladang.” Kita mungkin membaca malu-malu: demikian pun betapa riang udara yang dihirup,/ air yang direguk, sungai yang mengaliri persawahan. Puisi bertahun 1988. Desa-desa di Indonesia masih teridamkan, sebelum ada perubahan-perubahan besar. Di akhir puisi, Emha Ainun Nadjib ingin menjadi manusia penuh keberuntungan: aku bersembahyang kepadamu, berjamaah/ dengan langit dan bumimu, dengan siang dan malammu/ dengan matahari yang setia bercahaya dan/ angin yang berhembus menyejukkan desa-desa. Ia tak menaruh diksi oksigen tapi kita mendamba hidup bersama segala pemberian Tuhan tanpa terlalu berpikiran kalkulator alias kapitalistik.
Di Indonesia, orang-orang kebingungan dan berharapan oksigen. Mereka belum perlu khotbah, puisi, atau risalah sains. Darurat! Kita mendapat berita-berita menakutkan dan memberi duka panjang. Sejak awal Juli 2021, berita-berita bertema oksigen bermunculan di koran-koran dan media sosial. Di Media Indonesia, 9 Juli 2021, terbaca di halaman muka: “Oksigen untuk Kehidupan”. di situ, tersampaikan pesan: “Persoalan pasokan oksigen di masa darurat adalah masalah kemanusiaan.” Di sekian rumah sakit, kebutuhan oksigen meningkat dalam usaha pelik melawan wabah.
Di Media Indonesia, 15 Juli 2021, dipasang foto berketerangan: “Warga menunggu untuk mengambil tabung oksigen miliknya karena stok isi ulang oksigen telah habis di toko pengisian oksigen di Jalan Kolonel Sugiyono, Yogyakarta.” Indonesia sedang darurat. Situasi lekas ditanggapi pemerintah dan pelbagai pihak dengan pengadaan oksigen demi keselamatan atau kesembuhan. Oksigen menjadi tema terpenting dalam usaha-usaha menanggulangi wabah. Begitu.
Bandung Mawardi
pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,
Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020),
Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020)
FB: Kabut
コメント