Hari "Kesaktian" Busana
PADA 1 Oktober 2019, kita memiliki peristiwa-peristiwa penting. Kita sengaja ingin mencatat pembuatan sejarah di DPR. Hari itu anggaplah “hari busana nasional” dan “hari berpotret nasional”. Peristiwa resmi adalah pelantikan anggota DPR, 2019-2024. Kita mungkin jenuh dengan sekian acara resmi di gedung parlemen tapi jangan melupa 1 Oktober 2019. Pidato demi pidato diadakan mengesankan acara itu demi bangsa dan negara. Hal terpenting mungkin bukan di pidato atau upacara.
Puluhan tahun berlalu, kaum terhormat di DPR adalah orang-orang sadar busana memiliki selera diharapkan “nasional”. Kita melihat kaum terhormat berjenis kelamin lelaki dengan dandanan baku dan membosankan: jas. Busana mereka hampir tanpa pikat bagi kita membuat tafsir. Jas terlalu berkuasa di DPR. Konon, orang terhormat dibuktikan dengan mengenakan jas. Kita mengandaikan jas-jas pernah dikenakan para anggota DPR, dari masa ke masa, masuk ke museum. Jas itu “miskin” cerita dan sulit memicu penasaran.
Konon, orang terhormat dibuktikan dengan mengenakan jas. Kita mengandaikan jas-jas pernah dikenakan para anggota DPR, dari masa ke masa, masuk ke museum. Jas itu “miskin” cerita dan sulit memicu penasaran.
Selama puluhan tahun, DPR tetap saja cenderung kaum berjas ketimbang kaum berkebaya. Kita mengingat 1 Oktober 2019 sebagai “hari busana nasional” bagi kaum perempuan. Mereka mengenakan kebaya dan busana dicap “nasional” di hari pelantikan. Mata publik mengarah ke busana. Publik jeda dari politik ruwet, memilih menikmati busana mengandung sekian cerita dan gosip. Peristiwa akbar menjadi pameran busana ketimbang kita memikirkan misi-misi atau kemauan mereka menunaikan kerja besar. Busana itu penting!
Sehari setelah pelantikan, koran-koran memuat berita mengenai DPR. Berita belum tentu berpokok politik. Di Suara Merdeka dan Solopos, 2 Oktober 2019, kita melihat foto berwarna hasil jepretan Nova Wahyudi dari Antara. Dua koran mungkin tak membuat janji tapi di hari sama memamerkan foto para anggota DPR dari Fraksi PDIP. Kita memberi tatapan mata ke para perempuan berkebaya merah, tak perlu memikirkan deretan para lelaki berjas dan mengenakan dasi merah. Di tengah, tokoh terpenting dan dipilih menjadi Ketua DPR (2019-2024): Puan Maharani. Ia mengenakan kebaya merah, duduk dengan anggun, mesem, semringah, dan memamerkan simbol tiga jari. Kita melihat itu penampilan “sederhana” tapi tentu memiliki cerita-cerita mengejutkan meski belum dibeberkan ke publik.
Tokoh penting dengan busana memukau adalah Krisdayanti. Ia memang artis tapi telah resmi menempuhi jalan politik: menjadi anggota DPR. Di Gedung DPR RI, Krisdayanti tak sedang bersenandung. Ia menjadi pikat dalam acara resmi gara-gara busana dan pembawaan diri. Ia tampil berkebaya, pilihan berbeda dari kebiasaan mengenakan busana-busana pilihan di panggung musik. Hari bersejarah itu milik Krisdayanti meski bukan Ketua DPR RI.
Ia tampil berkebaya, pilihan berbeda dari kebiasaan mengenakan busana-busana pilihan di panggung musik. Hari bersejarah itu milik Krisdayanti meski bukan Ketua DPR RI.
Kita simak tabloid Nyata edisi II, Oktober 2019. Di halaman sampul: Krisdayanti. Ada penjelasan penting: “Kita memang harus melepaskan jabatan keartisan ketika duduk di parlemen.” Di gedung parlemen, orang-orang tetap menganggap Krisdayanti itu artis. Penampilan saja sudah memastikan ia artis pantas dikagumi. Kita belum mengurusi Krisdayanti berpolitik. Perkara terpenting adalah busana. Deskripsi untuk foto-foto Krisdayanti di hari pelantikan anggota DPR: “Ia mengenakan kebaya klasik yang membentuk lekuk tubuhnya dengan sempurna. Di bagian kutu barunya, ia menyematkan aksesori bros menjuntai berwaran emas. Untuk bagian bawah kutu baru, Krisdayanti menambahkan kain pinggang batik bermotif parang. Sedangkan di bagian bawahnya, ia menggunakan kain batik wiron bermotif parang kecil dengan list emas.” Ia pun berselendang memastikan memenuhi cap busana nasional. Pembaca belum perlu menambahi sibuk pikiran menebak jumlah menit atau jam digunakan dalam berdandan dan berbusana, sebelum jadwal pelantikan. Berdandan seperti tak mudah atau cepat. Semua demi sempurna.
Pengenaan busana itu hasil rapat di partai politik. Keputusan dianut para anggota DPR asal PDIP: mengenakan busana nasional dan memilih warna merah. Konon, merah sesuai semangat partai politik. Kerja politik memerlukan rapat-rapat busana. Keputusan dimaksudkan memberi pesan dan berpengaruh ke publik. Ingatlah 1 Oktober 2019 sebagai hari berkebaya merah. Bintang di situ tentu Krisdayanti. Kebaya apik buatan desainer kondang bernama Anne Aviantie. Selama dua puluh hari, kebaya itu dikerjakan dengan kesempurnaan. Kita sedang berpikir busana dan (anggota) DPR, belum berpikir ongkos untuk busana di hari pelantikan. Kita singkirkan dulu tebakan-tebakan ongkos para anggota DPR dalam pemilihan busana. Mereka sadar demi rapi dan terhormat. Busana saat hari pelantikan bakal menentukan tanggung jawab, kemauan kerja, dan keberpihakan ke agenda-agenda bermutu.
Kita singkirkan dulu tebakan-tebakan ongkos para anggota DPR dalam pemilihan busana. Mereka sadar demi rapi dan terhormat. Busana saat hari pelantikan bakal menentukan tanggung jawab, kemauan kerja, dan keberpihakan ke agenda-agenda bermutu.
Di DPR, kita mengenal perempuan memiliki kerja serius dan berani tampil di sekian perkara besar. Ia bernama Rieke Diah Pitaloka. Ia dilantik sebagai anggota DPR untuk periode ketiga. Semula, ia artis. Di DPR, ia memiliki dandanan dan tampilan busana khas. Kedirian sebagai artis belum menghilang atau luntur saat menempuhi dan sibuk di jalan politik melalui DPR. Deskripsi penampilan Rieke Diah Pitaloka di hari bersejarah busana, 1 Oktober 2019: “Mengenakan kebaya berwarna merah marun yang telah dimodifikasi dengan tenun Bali, dipadu bawahan kain hitam motif bunga yang dibordir.” Ia tampak anggun. Rieke Diah Pitaloka mengaku kebaya itu sederhana. Ia memesan pada desainer tanpa mengumumkan nama. Pembaca boleh menduga sederhana tetap saja mengandung pengertian ongkos tak sedikit.
Kita masih memikirkan DPR adalah busana. Para tokoh dipilih sengaja dari kalangan artis. Artis bernama Mulan Jameela pun menjadi anggota DPR RI. Kita tak lagi mengingat merah. Mulan Jameela bukan berasal dari PDIP tapi Partai Gerindra. Ia mengenakan pakaian adat Bugis telah dimodifikasi oleh Didiet Maulana. Baju bodo itu memenuhi ketentuan wajib berbusana nasional di hari pelantikan. Mulan Jameela membuat keputusan penting dalam berbusana nasional, berbeda kebiasaan saat masih sering berada di panggung musik. Ia memulai menunaikan kerja dengan busana memberi kesan anggun, santun, dan memikat.
Busana dikenakan Krisdayanti, Rieke Diah Pitaloka, dan Mulan Jameela diinginkan memenuhi selera busana nasional. Selama puluhan tahun, kita dibingungkan dengan busana nasional untuk perempuan. Kita tetap belum mau mengurusi busana nasional bagi lelaki melulu mengenakan jas. Kita mendingan mengingat perancang mode bernama Edward Hutabarat. Ingatan berkaitan busana. Edward Hutabarat melakukan riset di Palembang, Makassar, Bali, Jogjakarta, Solo, dan Pekalongan. Riset untuk menulis dan mengumumkan masalah busana. Ia berhasil menerbitkan buku berjudul Busana Nasional Indonesia.
Penjelasan sekian tahun lalu dimuat di Kompas, 1 November 1999: “… busana nasional untuk perempuan bisa berupa kebaya ala Jawa Tengah atau Bali hingga ke baju bodo dari Makassar. Kainnya bisa berupa kain panjang dengan wiru, tenun songket dari Palembang atau Bali, hingga sarung sutera dari Makassar. Artinya terbuka peluang busana dari daerah mana pun di Indonesia untuk tampil menjadi busana nasional, meskipun seperti ada kesepakatan umum bahwa busana nasional adalah kebaya atau baju kurung dengan padanan kain panjang dan sarung tenun.” Pemastian busana nasional belum diresmikan di undang-undang atau peraturan pemerintah. Kita mengusulkan agar ada komisi busana di DPR RI. Anggaplah busana itu (terlalu) penting bagi negara.
Pilihan busana-busana wajib diabadikan dengan berfoto. Kita membuat catatan bahwa 1 Oktober 2019 menjadi “hari berfoto nasional”. Kesibukan para anggota DPR (2019-2024) adalah berfoto: sendirian atau bersama. Konon, hari penting semakin bermakna dengan berfoto puluhan atau ratusan kali. Berfoto itu “kerja” dan “kewajiban” selaku orang-orang terhormat membawa amanah besar memajukan Indonesia. Bekerja di politik tanpa album foto tentu sulit melakukan nostalgia dan pembuktian ke publik. Foto-foto itu kerja politik. Publik wajib mengakui bahwa kerja memajukan Indonesia dimulai dari adegan berfoto sendiri atau bersama di hari pelantikan.
Foto-foto itu kerja politik. Publik wajib mengakui bahwa kerja memajukan Indonesia dimulai dari adegan berfoto sendiri atau bersama di hari pelantikan.
Kita membuka Kompas, 2 Oktober 2019. Di halaman depan, foto hasil jepretan Heru Sri Kumoro. Foto bersejarah di kerja politik. Kita membaca keterangan di bawah foto: “Mantan Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani berswafoto dengan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla seusai mengikuti Sidang Paripurna DPR/DPD/MPR di Gedung Kompleks Parlemen, Senayan, Selasa (1/10/2019). Rapat paripurna tersebut melantik anggota DPR, DPD, MPR periode 2019-2024. Malam harinya dalam Rapat Paripuna DPR, Puan Maharani menjadi ketua DPR periode 2019-2024.” Kita melihat berfoto itu penting di misi politik. Kaum parlemen jangan lupa berfoto untuk mengawali dan mengakhiri kerja besar selama lima tahun. Foto-foto itu bukti kerja dan pemberi imajinasi kesungguhan menunaikan misi-misi mulia.
Di halaman 2, kita masih disuguhi foto dari Heru Sri Kumoro memuat keterangan: “Anggota legislatif periode 2019-2024, Mulan Jameela dan Rachel Maryam bersama anggota legislatif lain, berfoto bersama sebelum dimulainya pelantikan anggota DPR, DPD, dan MPR dalam sidang paripurna di Gedung Kura-Kura, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (1/10/2019).” Kita semakin memastikan: 1 Oktober 2019 berhak disebut “hari berfoto nasional”. Kita mungkin bisa memberi sebutan agak serius: “hari kesaktian berbusana dan berfoto nasional.” Duh, ingatan kita terlalu picisan untuk mengawali kerja DPR dengan busana dan foto. Ingat, mereka bakal bekerja keras demi kita selama lima tahun dan berdampak untuk anak-cucu. Begitu.
Bandung Mawardi,
Kuncen Bilik Literasi Solo
FB: Kabut
Comments