Girang Berbahasa
MINGGU itu berbahasa. Di Suara Merdeka, 24 Oktober 2021, tulisan hampir sehalaman berjudul “Bahasa Gaul Pilihan Generasi Z”. Pembaca berpikiran bahasa saat hari libur. Bahasa itu milik kaum muda. Konon, bahasa tak pernah libur. Masalah-masalah bahasa selalu ada. Bahasa enggan absen. Hari demi hari, bahasa masih masalah. Di lembaran koran, bahasa dipermasalahkan dengan kegirangan kaum muda mencipta, mengubah, menggunakan, dan mengartikan kata-kata. Pendokumentasian dari keramaian kata sekian tahun, sebelum nanti berdatangan masalah-masalah baru.
Situasi atau lakon berbahasa masa sekarang mendapat tanggapan dari Ganjar Harimansyah sebagai “lanjutan” kemunculan bahasa prokem pada masa 1970-an. “Semula pilihan bahasa itu digunakan sebagai bahasa sandi untuk merahasiakan obrolan dalam komunitas tertentu, tetapi kata-kata tersebut lama-kelamaan menjadi bahasa sehari-hari dan dikenal banyak orang,” penjelasan Ganjar H. Masa lalu wajib teringat untuk mengetahui kehebohan bahasa Indonesia abad XXI.
Kini, produksi dan peredaran kata-kata khas kaum muda mencipta keramaian di media sosial. Kata-kata tergunakan dalam beragam acara televisi. Di obrolan keseharian, sekian kata itu menular cepat. Orang-orang mungkin senang atau merasa marem turut menggunakan kata-kata dianggap menandai kehebohan berbahasa. Mereka mungkin sumpek atau bosan dengan bahasa Indonesia hasil dari belajar di sekolah atau dilimpahi petuah-petuah pemerintah.
Dulu, bahasa prokem berperan dalam perkembangan bahasa Indonesia. Pada 1988, terbit Kamus Bahasa Prokem susunan Prathama Rahardja dan Henri Chambert-Loir. Buku kecil laris. Ikhtiar menjadikan lengkap atau sempurna diwujudkan dengan terbitan edisi kedua pada 1990. Pada masa 1990-an, pengaruh bahasa prokem masih tampak meski mulai ada geliat-geliat lain tak membiarkan bahasa Indonesia baik-baik saja.
Kamus kecil laris itu diterbitkan oleh Pustaka Utama Grafiti. Kita beruntung masih bisa mendapat dan mengingat. Pengantar dari penerbit: “Terlepas suka atau tidak suka, bahasa prokem telah banyak dipergunakan, terutama di kalangan kawula muda. Beberapa di antara kosakatanya bahkan sudah demikian populer mengisi perbincangan sehari-hari, dan hadir pula dalam beberapa karya tulis fiksi. Hal itu mengakibatkan munculnya desakan kebutuhan untuk lebih mengenal bahasa ‘mbeling’ ini.” Bahasa itu milik kaum muda tapi menular ke siapa-siapa saja. Di kamus, kita mengutip acak: bakul (pantat), cipoa (bohong), gaek (tua), imut (lucu), katro (kampungan), dan lalat ijo (tentara). Sekian kata masih ada. Sekian kata tak lagi digunakan. Kamus itu tetap penting atas kelahiran dan kematian kata-kata.
Henri Chambert-Loir menjelaskan: “Bahasa prokem adalah salah satu di antara sekian banyak gejala mengenai kaum remaja sebagai satu golongan masyarakat. Bahasa prokem menimbulkan pertanyaan. Gejala itu tidak boleh dinafikan atau dianggap remeh, tetapi juga perlu diamati sebagai akibat dan cerminan satu kenyataan sosial.” Anjuran baik berbarengan rezim Orde Baru memerintahkan penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar.
Dulu, orang-orang pernah sekolah mendapat pengaruh besar berbahasa Indonesia dari buku-buku (pelajaran) garapan Sutan Takdir Alisjahbana, JS Badudu, Gorys Keraf, Henry Guntur Tarigan, Harimurti Kridalaksana, Anton M Moeliono, Ramlan, dan lain-lain. Mereka adalah ahli bahasa. Sekian orang itu memiliki gelar kesarjanaan dalam linguistik. Pelajaran-pelajaran bahasa Indonesia menjadi berat dan serius. Bahasa Indonesia diwajibkan dipelajari dan nilai menentukan nasib di jenjang pendidikan. Orang-orang kesulitan menggemari (pelajaran) bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia sulit menjadi hiburan meski Indonesia masih memiliki lawak, dagelan, film humor, lagu lucu, puisi mbeling, dan lain-lain. Kemunculan bahasa prokem memiliki keinginan lolos dari pengawasan ketat dan anjuran-anjuran biasa memaksa. Di situ, ada kemauan, keberanian, dan hiburan. Kata-kata tergunakan tanpa ketakutan memicu kisruh dengan bahasa diakui resmi dan formal.
Pada 1996, Remy Sylado mengingatkan dengan tulisan berjudul “Bahasa Kita Bukan Hanya Diurus Sarjana Bahasa.” Judul sudah kritik. Ia mengumumkan: “Berangkat dari alasan itu, atas inisiatif sendiri, saya lebih suka menempatkan diri sebagai munsyi: suatu kata yang lebih tepat dipahami pada komprehensi ganda antara seseorang dengan inklanasi kesukacitaan berbahasa Indonesia, dan karena itu terpanggil untuk menguasainya, dan seseorang yang tertantang untuk menghasilkan bentuk bahasa tulis yang kreatif dalam idealitas kepujanggaan di atas sifat-sifat kedibyaan budaya.” Kita mengingat ia menulis novel-novel pop dan puisi mbeling. Ia rajin menulis esai-esai musik, sastra, bahasa, dan budaya pop. Pengumuman itu perlu, setelah kita membaca novel-novel terakhir gubahan Remy Sylado mulai “serius”.
Bahasa boleh diurus kaum muda. Konon, sekian pihak mengatakan itu merusak, menggagu, atau menghancurkan. Tuduhan-tuduhan mudah dibantah. Kaum muda dalam omongan memungkinkan pemunculan bahasa-bahasa meriah, berbeda dari kemauan mereka dalam tulisan. Kecepatan penularan bahasa makin membuktikan kaum muda tak main-main dengan bahasa (Indonesia). Lakon itu berbeda dengan rutinitas pemerintah mengadakan acara pemilihan duta bahasa Indonesia.
Kaum muda dalam omongan memungkinkan pemunculan bahasa-bahasa meriah, berbeda dari kemauan mereka dalam tulisan. Kecepatan penularan bahasa makin membuktikan kaum muda tak main-main dengan bahasa (Indonesia). Lakon itu berbeda dengan rutinitas pemerintah mengadakan acara pemilihan duta bahasa Indonesia.
Di Media Indonesia, 29 Oktober 2021, kita membaca: “Mendikbudristek berpesan pada Peringatan Bulan Bahasa dan Sastra dan Sumpah Pemuda kali ini, dia mengajak anak-anak Indonesia untuk terus menyalakan semangat untuk mencintai dan mengembangkan bahasa Indonesia sebagai identitas kebangsaan.” Kita mengangguk saja untuk melegakan pesan besar dari menteri. Dua diksi itu sulit dimengerti bagi orang-orang kecewa dan “berduka” belajar bahasa Indonesia sejak SD: mencintai dan mengembangkan.
Bahasa Indonesia sering mengingatkan buku pelajaran, guru, ujian, pidato resmi, dan lain-lain. Kaum muda ingin bahasa memberi hiburan selain memberi ikatan bersama di Indonesia. Pilihan diksi mungkin bukan “mencintai” dan “mengembangkan”. Kaum muda boleh menjadikan bahasa Indonesia itu “hiburan”.
Kita mengikuti penjelasan Remy Sylado (2005) saja ketimbang bingung, malu, dan ruwet dalam bersikap untuk bahasa Indonesia: “Maka, janganlah mengira bahasa Indonesia adalah bahasa yang steril dari pengaruh sana-sini. Malahan, kita dapat berkata bahwa bahasa Indonesia yang berciri modern dasarnya adalah centang-perenang juga.” Kita menggunakan bahasa Indonesia tak harus selalu dibebani kenangan-kenangan buruk selama belajar bahasa Indonesia di sekolah. Bahasa Indonesia itu mengundang kita bergirang, terhibur, dan sadar martabat tanpa keminderan dengan perintah-perintah kaum pejabat dan sarjana. Begitu.
Bandung Mawardi,
redaksi Majalah Basis, kuncen Bilik Literasi Solo, redaksi suningsih.net,
penulis buku Persembahan (2021) dan Terbaca: Sejenak Bertema Anak (2021)
Comments