top of page
Cari
Majalah Basis

Foto di Sawah, Sepatu di Sawah

Bandung Mawardi


atas padi yang engkau tumbuhkan dari sawah

ladang bumimu, kupanjatkan syukur dan

kunyanyikan lagu gembira sebagaimana padi itu

sendiri berterima kasih kepadamu dan bersukaria


lahir dari tanah, menguning di sawah, menjadi

beras di tampah, kemudian nasi memasuki

tenggorokan hambamu yang gerah, adalah cara

paling mulia bagi padi untuk tiba kembali di

pangkuanmu


(Emha Ainun Nadjib, Doa Syukur Sawah Ladang, 1992)


Senin malam hujan agak deras. Selasa pagi, terang tapi sumuk. Setumpuk koran dibeli di kios perempatan pinggiran Solo: Media Indonesia, Republika, Jawa Pos, Solopos, dan Suara Merdeka. Di rumah, Kompas langganan biasa tiba Bilik Literasi sebelum pukul tujuh. Koran demi koran dibaca sambil mendengar lagu-lagu Indonesia kenangan. Hari itu tetap sumuk. Pikiran memang sumuk gara-gara turut mengurusi pelajaran bocah-bocah di rumah menggunakan gawai. Sebal! Sumuk bertambah setelah rampung membaca tiga koran. Pilihan mengesahkan sumuk adalah foto di Suara Merdeka, 21 Juli 2020.


Lihatlah, foto berwarna bertempat di sawah! Tuhan, Indonesia terbukti masih memiliki sawah, tak cuma gudang-gudang beras dan toko berjualan pangan. Konon, Indonesia memang diberkati Tuhan dengan sawah-sawah subur. Sejak ratusan tahun lalu, sawah-sawah dikerjakan para petani. Mereka beribadah di sawah. Mereka mengucap doa-doa kehidupan. Tabah menerima cobaan-cobaan. Petani tak lupa menembangkan diri dan alam. Di sawah, raga bekerja. Pikiran dan perasaan menginsafi misi hidup di dunia, mengangankan “dunia sana” kelak bahagia. Keringat, kata-kata, gerak, dan segala hal di sawah seperti ritual tak pernah putus untuk menerima amanah Tuhan.


Ah, ingatan menjauh dari foto tampak di depan mata! Orang-orang di sawah itu berdandan rapi. Mereka bukan petani! Adegan foto di sawah beralamat di Ponggok, Polanharjo, Klaten, Jawa Tengah. Mereka biasa disebut “beliau-beliau” berkaitan jabatan dan kerja besar demi kemajuan Indonesia. Di sawah, mereka berfoto sambil memegang panenan padi. Setiap tokoh memiliki papan keterangan: Bupati Klaten, Kapolres Klaten, Kapolda Jateng, Komisi 3 DPR RI, dan lain-lain. Para tokoh berbusana rapi dan bersih. Mereka mungkin masih bersepatu saat memanen padi dalam hitungan menit. Adegan panen semakin “resmi” dengan mengenakan caping. Di belakang para tokoh penting, kita melihat spanduk besar bertuliskan kata-kata formal dan foto. Sawah sejenak menjadi tempat pemasangan spanduk, sebelum dibongkar agar tak bersaing dengan tanaman.


Para tokoh berbusana rapi dan bersih. Mereka mungkin masih bersepatu saat memanen padi dalam hitungan menit. Adegan panen semakin “resmi” dengan mengenakan caping. Di belakang para tokoh penting, kita melihat spanduk besar bertuliskan kata-kata formal dan foto. Sawah sejenak menjadi tempat pemasangan spanduk, sebelum dibongkar agar tak bersaing dengan tanaman.


Pada masa masih wabah, mereka hadir bersama untuk panen padi. Lihatlah, mereka bermasker, memberi contoh ke publik meski kita sulit memastikan para petani bekerja setiap hari di sawah mengenakan masker. Adegan di sawah itu bermisi besar, melampaui pentas teater. Pemotretan dilakukan Senin, 20 Juli 2020. Foto itu sungguh-sungguh bertokoh para pejabat, tak kelihatan ada petani.


Duh, foto itu membuat Selasa menjadi bimbang! Penokohan para pejabat berkebalikan dari sekian hari lalu merampungkan lagi buku berjudul Mata Air Bulan (1998) garapan Sindhunata. Sekian malam buku dibaca dengan cara mencicil berharap agar sebelum memejamkan mata teringat tokoh-tokoh cilik, pinggiran, lugu, miskin, tabah, beriman, tulus, dan sederhana. Buku bercerita religiositas, alam, dan manusia. Liris. Tulisan demi tulisan mengingatkan keinsafan atas pekerjaan, pengabdian, rezeki, ampunan dosa, kepatutan, dan ketakjuban. Buku itu justru teringat saat melihat foto orang-orang terhormat di sawah. Mereka tampak tapi para petani tak terlihat di foto. Puluhan, ratusan, dan ribuan hari, para petani berada di situ menunaikan ibadah. Kita “kehilangan” petani dalam foto.


Selasa semakin sumuk. Kutipan penting dari berita berdasarkan keterangan Bupati Klaten saat panen mengenakan pakaian dinas, berkalung selendang, dan berkaus tangan: “Klaten mampu memproduksi 227.000 ton beras pertahun, kebutuhan masyarakat 126.000 ton beras sehingga ada surplus 101.000 ton beras. Setiap desa di Klaten diwajibkan membuat lumbung pangan untuk menjaga ketahanan pangan.” Penjelasan membenarkan berita-berita berdatangan sekian hari lalu dengan dua tokoh besar: Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Mereka mengunjungi suatu tempat: melihat dan bercakap. Koran-koran memberitakan dua orang penting itu mengurusi lumbung pangan. Ah, para wartawan di sekian koran memilih menggunakan bahasa Inggris: food estate. Kasihan petani bila mendapat pidato mengandung istilah-istilah dari bahasa Inggris. Berita itu menggegerkan dan memicu polemik. Kita diajak berpikiran pangan, mengingat lagi sawah-sawah.


Berita besar membuat siang-malam sumuk. Hidup semakin “sumuk” setelah kebingungan memenuhi segala kebutuhan pokok dan anggaran sekolah. Sumuk tak rampung-rampung. Capek! Kita tak mau ikut dalam omelan lumbung pangan. Masalah besar dan ruwet. Para pejabat, pengamat, politikus, dan penguasaha berhak memikirkan itu secara saksama. Kita menanti berita saja di koran-koran, bukan ocehan-ocehan di media sosial mengikutkan gosip, kemarahan, bualan, dan lain-lain.


Sekian hari lalu, sawah itu sepatu. Sawah dan sepatu menjadi masalah di Sragen, Jawa Tengah. Kita singkirkan dulu masalah lumbung pangan diucapkan para pejabat dengan bahasa Inggris. Berita kecil di Radar Solo-Jawa Pos, 13 Juli 2020: “Tolak Pabrik, Pasang Spanduk di Sawah.” Spanduk tak bertuliskan panen besar oleh para pejabat. Spanduk memiliki kata-kata bersimpang jalan dari kerja birokrasi. Kutipan: “Sejumlah pemilih lahan pertanian di Desa Cepoko, Kecamatan Sumberlawang dan Desa Bonagung, Kecamatan Tanon memasang spanduk penolakan penjualan lahan untuk pabrik… Warga beralasan menggantungkan hidup dari bertani.”


Konon, ada pengusaha mau membangun pabrik sepatu di situ. Spanduk dan papan dipasang petani bertuliskan: “Tanah ini tidak dijual.” Pihak pemerintah menjelaskan bahwa dengan keberadaan pabrik sepatu “bisa menambah kesejahteraan warga” dan “mengatrol perekonomian”. Kepala desa dan camat bekerja keras mengurusi sawah dan memikirkan pabrik sepatu. Pemerintah mungkin membuat lelucon: “Sepatu itu penting ketimbang kaki telanjang berlumpur setiap hari di sawah.” Sejak dulu, petani memang tak bersepatu saat beribadah di sawah. Mereka bukan kaum sepatu alias bukan pejabat, pegawai, atau kaum profesional di kota-kota.


Hari demi hari, berita bertema sawah dan sepatu tersaji di koran-koran. Hari-hari tetap saja sumuk. Terbuka dan terbacalah Solopos, 16 Juli 2020 memuat berita tentang sawah dan sepatu. Pada saat membaca berita, kemurungan melanda gara-gara pernah membaca buku-buku bertema pertanian. Buku paling teringat gara-gara berselera sastra berjudul Serat Cariyos Dewi Sri dalam Perbandingan (2001) garapan Suyami. Buku dibeli dengan harga mahal di pasar buku loak Gladak (Solo). Sebiji buku setara beras 10 kilogram. Ah, pembaca terlalu sombong ketimbang memikirkan jatah makan untuk istri dan tiga anak!


Petikan berita di Solopos sebagai lanjutan polemik sawah dan (pabrik) sepatu: “Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Sragen, Marija, mengatakan sesuai Perda Rencana Tata Ruang Wilayah yang direvisi pada 2020, Desa Bonagung masuk zona industri.” Berita itu dilengkapi foto dua petani memasang papan pengumuman bahwa sawah tidak dijual.


Kita mendingan tak terlalu sibuk memikirkan lumbung pangan pernah dibicarakan Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Kita sumuk saja dengan berita sawah di Klaten dan Sragen. Pembaca boleh membatin: “Petani menanam, pejabat memanen.” Sambungan gosip: “Sepatu itu penting untuk kemakmuran Indonesia.” Ah, hari-hari bertambah sumuk. Bisikan terdengar agar segera mengalihkan sumuk dan omelan dengan membaca buku berjudul Babad Panambangan. Begitu.


_________

Bandung Mawardi,

pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,

Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020)

FB: Kabut


43 tampilan

Comments


bottom of page